Clawless Luna 26
Sebelumnya aku minta maaf karena Februari kemaren aku lenyap dari peredaran. Aku benar-benar keteteran dengan hal tak terduga yang datang di luar rencana. Jadi, terima kasih untuk pengertian kalian. Semoga bulan ini semua lancar dan terkendali.
Selain itu, karena bulan ini udah memasuki bulan puasa, jadi jadwal update aku sesuaikan ya. Kali aja kalian mau perbanyak ibadah atau ada aktifitas lainnya di siang hari. Jadi, aku update pukul 21.00 WIB biar kalian ga kepikiran sama cerita aku.
◌⑅⃝●♡⋆♡LOVE♡⋆♡●⑅⃝◌
Butuh waktu cukup lama untuk Garth bisa mengendalikan diri sepenuhnya. Ia memejamkan mata dan berulang kali menarik napas sedalam mungkin. Ditenangkannya diri dan jiwa serigalanya yang gelisah di dalam sana. Walau demikian, tak urung juga benaknya terus berkata. Itu adalah Alpha.
Garth bangkit sesaat kemudian. Ia masuk kembali ke mobil, tetapi tujuannya sekarang berubah. Diputuskannya untuk kembali ke Istana terlebih dahulu. Ia harus memastikan sesuatu sebelum menemui Ayla.
Tiba di Istana, Garth segera menuju ke kamar Usher. Ia masuk dan langkahnya yang semula cepat berubah menjadi pelan secara serta merta.
Usher tengah terbaring di tempat tidur. Persis seperti kemarin, ia bergeming dan benar-benar tampak tak berdaya.
"Alpha," lirih Garth sembari mengulurkan tangan. Disenggolnya tangan Usher, tetapi tak ada respons sedikit pun. "Kumohon, Alpha. Kalau itu memang adalah kau, kumohon, bangunlah."
Permohonan Garth serupa harapan kosong. Nyatanya Usher tidak bangun, bahkan sekadar sedikit bergerak pun tidak.
Garth menundukkan kepala. Perasaannya benar-benar kacau. Jadilah kedua tangannya mengepal dengan kuat dan semua ingatan itu berputar-putar di kepalanya.
Tato itu, Garth yakin tidak salah melihat. Tadi ketika ia berkelahi dengan pria itu, beberapa kali angin berhembus. Jadilah hoodie pria itu sempat tersingkap dan ia melihatnya. Memang tak jelas, hanya sekelebat saja, tetapi ia yakin bahwa itu adalah tato tanda alpha, persis tato yang ada di leher Usher.
Namun, keyakinan Garth dipermainkan oleh fakta yang sekarang terpampang di depan mata. Usher benar-benar tidur, jadi rasanya mustahil bila pria itu adalah dia.
Garth merasa pusing hingga memutuskan untuk keluar dari kamar Usher. Ia tak ingin mengganggu istirahat Usher.
"Garth."
Langkah Garth terhenti. Ada Cora mengadang jalannya. "Cora."
"Ada apa denganmu?" tanya Cora sembari mengamati keadaan Garth yang berantakan. "Mengapa kau terlihat kacau begini?"
Garth tak bisa menjawab. Ia hanya mengusap kasar wajahnya dan malah balik bertanya. "Apakah sekacau itu?"
"Sangat kacau." Cora mengiris, lalu dilihatnya Garth dari atas hingga bawah. Dari rambut yang berantakan, wajah suntuk, keringat di leher, kemejanya keluar dari lingkar celana, dan ia menyipitkan mata, apakah itu tanah di celana Garth? Ia mendeham. "Aku tak pernah melihat kau berantakan seperti ini, Garth. Keadaanmu sekarang benar-benar definisi berantakan yang sesungguhnya."
"Baiklah. Itu sepertinya cukup menjadi alasan untukku mandi sekarang juga."
Cora mengangguk. "Kau benar dan ah! Aku hampir lupa melaporkan sesuatu padamu."
"Apa?"
Cora melirik sekitar terlebih dahulu. Dipastikan olehnya tak ada orang lain di sana. Setelahnya ia mendekati Garth sambil memberikan isyarat agar sedikit menunduk, lalu ia berbisik. "Mireya pergi."
"Pergi?"
"Ya. Dia pergi ke rumahnya dan kau tahu? Firasatku mengatakan kalau dia pulang ke rumahnya karena ada hubungannya dengan tamunya waktu itu."
Garth diam sejenak. Lalu kembali menegapkan punggung. "Sepertinya, kau terobsesi sekali pada Mireya. Apa sebenci itu wanita terhadap perselingkuhan?"
"Sangat," jawab Cora dengan wajah mengeras. Bahkan ia pun sampai mengepalkan satu tangannya. "Kau tahu? Setiap ada perselingkuhan di depan mataku, rasa-rasanya seperti aku yang diselingkuhi."
"Kalau begitu, kuharap pria yang mendekatimu nanti sudah tahu hal itu."
Cora mengerjap. "O-oh. Sepertinya dia sudah tahu."
"Baguslah," ujar Garth sembari melihat jam tangannya sekilas. "Aku ke kamar."
Garth kembali melanjutkan langkah. Ia menuju ke kamarnya dan segera mandi. Dibiarkannya air dingin mengguyur tubuhnya dengan harapan itu bisa menenangkan dirinya.
Tuntas mandi, Garth merasakan tubuhnya lebih segar dan sejuk. Semua emosi yang membuatnya kacau berhasil diredam. Ia kembali tenang dan pikirannya terasa lebih jernih.
Garth segera meraih ponsel dan menghubungi Berg. "Halo, Berg."
"Halo, Garth. Ada apa?"
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu, sangat penting. Apakah kau bisa ke kamarku sekarang?"
"Tentu saja. Aku akan segera ke sana."
Panggilan berakhir dan setelahnya Garth menghubungi Storm. "Datang ke kamarku, Storm. Ada yanng harus kita bicarakan."
Garth tak menunggu lama. Nyaris tak sampai lima menit kemudian, pintu kamarnya terketuk. Storm dan Berg datang bersamaan.
Garth menyilakan Storm dan Berg untuk masuk. Lalu mereka duduk bersama.
"Jadi, apa yang terjadi, Garth? Mengapa kau memanggil kami?"
Garth membuang napas terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Storm. "Aku ingin membicarakan sesuatu dengan kalian. Ini menyangkut kawanan."
Jadilah Storm dan Berg saling bertukar pandang.
"Ada apa, Garth?"
Garth beralih pada Berg. "Aku ingin kau menyelidiki sesuatu, Berg."
"Siapa?" tanya Berg sembari menatap Garth dengan mata menyipit. Lalu ia menebak. "Apakah tamu Mireya waktu itu?"
"Ya," angguk Garth. Ia balas menatap Berg. "Perasaanku tak enak. Aku merasa ada yang tak beres dengan mereka berdua."
"Baiklah, Garth. Aku akan menyelidiki pria itu."
Setelahnya, Garth kembali melihat Storm. "Bagaimana dengan pencarianmu? Apakah kau telah menemukan Vione?"
"Belum, Garth. Kami benar-benar kehilangan jejak mereka. Namun, kami akan terus mencoba menemukan Vione."
Garth tahu, Storm pasti sudah berusaha semaksimal mungkin. "Aku tahu, Storm. Kau pasti sudah mengupayakan semua kemampuanmu. Namun, kalau dugaanmu tempo hari benar maka aku bisa memaklumi kalau kau menemui jalan buntu."
"Garth."
"Sejujurnya, aku bertemu dengannya hari ini."
Bola mata Storm membesar. "Pria itu?"
"Ya," jawab Garth sembari mengangguk sekali. "Persis seperti yang kau katakan." Ia menarik napas dalam-dalam. "Dia persis Alpha. Tidak." Ia menggeleng. "Aku yakin, dia memang adalah Alpha walau aku masih tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Kita semua sama mengetahui bahwa Alpha sedang sakit. Alpha terbaring di tempat tidur dan sudah tertidur selama berhari-hari."
Storm tak mengatakan apa-apa. Di lain pihak, Berg tak menanyakan apa-apa, ia bisa meraba arah percakapan tersebut.
"Jadi, mengingat kita belum mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi maka kita harus bersiap untuk segala kemungkinan. Untuk itulah aku ingin kalian mulai waspada." Garth melihat bergantian pada Storm dan Berg. "Prioritas kita adalah menemukan dan menjamin keselamatan Vione, serta memperkuat pertahanan kawanan. Storm, aku ingin kau mempersiapkan tim terbaikmu. Begitu juga dengan kau, Berg. Keselamatan Istana ada di tanganmu."
"Tentu saja, Garth. Kami akan mengusahakan semuanya demi Kawanan."
Garth mengangguk berulang kali. Paling tidak, ia sudah mulai membuat langkah antisipasi. Selanjutnya, ia harus segera menemui Ayla.
*
Pagi-pagi sekali, Mireya telah meninggalkan Istana. Tak seperti biasa, ia yang terobsesi untuk menjadi penguasa justru menolak sopir yang biasanya selalu mengantarnya pergi ke mana pun. Untuk kali ini, ia sendiri yang mengendarai mobilnya setelah sekian lama dirinya tinggal di Istana dan yang menjadi tujuannya adalah rumah lamanya dulu.
Tiba di rumah, Mireya segera turun dari mobil. Ia melihat sekeliling untuk sejenak seolah khawatir akan adanya orang yang mengikutinya. Lalu barulah ia masuk ke rumah.
Satu pelukan langsung menyambut kedatangan Mireya. Jadilah ia terkejut sekilas, kemudian malah terkekeh senang, dan balas memeluk. "Oh, Torin. Kau mengejutkanku."
Torin melabuhkan kecupan di bibir Mireya dengan kedua tangan yang lantas menggerayangi semua lekuk tubuhnya. Mireya tak tinggal diam dan melakukan hal serupa. Jemarinya yang lentik meluncur ke bawah dan ditangkupnya kejantanan Torin.
Geraman Torin menggema di mulut Mireya. Kemudian ia membawa Mireya ke kamar dan semua pakaian yang ada di tubuh mereka lepas, semuanya mendarat di lantai.
Torin dan Mireya bergumul dengan penuh nafsu di tempat tidur. Torin tak melewatkan satu bagian pun dari tubuh Mireya untuk tak dirasainya, semua ia sentuh dengan penuh hasrat yang bergelora. Begitu pula dengan Mireya, ia menikmati semua sentuhan yang didapat dengan penuh kesenangan, ia mendesah, dan kemudian menjeritkan nama Torin.
Napas keduanya menjadi tak karuan ketika kenikmatan telah menghantam. Mereka merasa pening oleh sensasi menggetarkan itu dan jadilah sekujur tubuh mereka dipenuhi oleh rintik-rintik keringat.
"Oh, Mireya," ujar Torin dengan napas terengah-engah. Ditariknya Mireya ke dalam pelukannya, lalu ia kecup kepala Mireya. Wajahnya tampak amat puas. "Aku sangat mencintaimu."
Mireya tersenyum di dalam pelukan Torin. Mata terpejam dan ia bersandar nyaman di dada Torin. "Aku juga sangat mencintaimu, Torin."
Untuk sesaat, mereka tak melakukan apa-apa, selain berpelukan sambil sesekali kembali saling mencium. Agaknya kerinduan benar-benar membuncah dada mereka mengingat sudah terlalu lama Mireya tinggal di Istana Frostholm.
Selang sepuluh menit kemudian, Torin bangkit dalam ketelanjangannya dan mengambil segelas air. Kerongkongannya terasa kering akibat percintaan yang menguras tenaga itu.
"Jadi, bagaimana keadaan Kawanan Frostholm sekarang? Kuharap, kedatanganku tempo hari tidak membuat kacau rencana kita."
Mireya tak langsung menjawab. Alih-alih ia bangkit terlebih dahulu dan duduk dengan bersandar pada kepala tempat tidur. Dibiarkannya selimut jatuh sehingga payudaranya bebas terpampang. Jadilah Tori menyipitkan mata. "Keadaan Kawanan Frostholm sama seperti biasa. Mereka masih fokus pada keadaan Usher," ujarnya sembari menyambut segelas air yang ditawarkan oleh Torin. Ia minum sejenak, lalu menaruh gelas itu di nakas. "Apa kau tahu? Mereka rutin mendatangi hutan Amerotha untuk mendoakan kesembuhan Usher."
Torin menghampiri Mireya dengan dahi berkerut, agak tak percaya. "Benarkah?" tanyanya dan Mireya langsung mengangguk. "Oh, astaga. Aku tak mengira mereka senaif itu."
"Itulah yang sempat kupikirkan dan aku pun tak bisa berbuat apa-apa, selain ikut-ikutan mendoakan Usher agar tak ada yang mencurigaiku sebagai dalang dari penyakit Usher," ujar Mireya sembari membuang napas panjang. Lalu kedua tangannya naik dan ia menyugar rambutnya yang berantakan. Mulailah ia merapikan rambutnya dengan penuh kehati-hatian. "Namun, sebenarnya ada hal lain yang membuatku merasa geli dan juga kesal."
"Apa?"
Mireya melirik Torin yang duduk di sebelahnya. "Garth ingin memanggil Ayla ke Istana. Dia ingin meminta Ayla untuk meramal Usher,"
"Wow!"
Kekehan geli pun tak mampu ditahan Mireya. "Jujur saja, aku tak mengira kalau Kawanan Frostholm masih sangat mempercayai hal mistis semacam itu."
Begitu juga Torin. Namun, ia tak bisa mengabaikannya begitu saja. "Aku juga terkejut, tetapi apakah itu tidak akan mempengaruhi rencana kita?"
"Kurasa tidak." Mireya tampak berpikir sejenak sebelum lanjut bicara. "Kalaupun Alya mengetahui penyebab keadaan Usher sekarang, itu tak akan berdampak apa pun untuk kita. Ayla hanya bisa meramal, dia tak bisa menyembuhkan penyakit karena sihir."
Senyum miring tercetak di wajah Torin. Dibelainya pipi Mireya. "Kau benar-benar cerdas, Mireya. Sungguh, kau membuatku takjub."
Pipi Mireya yang berona merah akibat percintaan tadi semakin memerah karena ucapan Torin. Terlebih lagi karena setelahnya Torin pun kembali mencium bibirnya dengan begitu lembut.
Kebahagiaan merebak di dada Mireya. Rencana yang disusun olehnya dan Torin sudah mendekati garis akhir. Bisa dikatakan bahwa semua telah berada di dalam kendalinya dan yang terpenting adalah Usher sedang dalam keadaan tak bisa berbuat apa-apa.
Di mata Mireya, Kawanan Frostholm tak ubah predator menakutkan yang tak lagi memiliki taring dan cakar. Tanpa seorang alpha, Kawanan Frostholm pasti akan sangat mudah mereka taklukan.
Namun, Mireya menyadari bahwa mereka tidak boleh gegabah. Ia memang telah memegang kendali, tetapi ada beberapa orang yang jelas tidak mampu dikendalikan olehnya. Selain itu, ada satu misteri lain yang belum terungkap hingga sekarang.
"Torin, bagaimana dengan penyelidikanmu?" tanya Mireya sesaat kemudian. "Apakah kau sudah menemukan jejak serigala emas dan Vione?"
Torin menggeleng. Sekilas, ada sisa keringat di dahinya yang lantas tergelincir di sisi wajahnya. "Aku dan yang lainnya sudah menyisir lokasi yang kau katakan, tetapi kami tak mendapatkan jejak sedikit pun. Walau begitu aku mendapatkan satu informasi penting untukmu."
"Informasi apa?"
"Sepertinya bukan hanya kita yang mencari keberadaan serigala emas dan Vione," ujar Torin yang disambut dengan membesarnya bola mata Mireya. Ia mengangguk. "Tebakanmu benar. Kawanan Frostholm juga sedang mencari mereka."
Geraman menggetarkan dada Mireya. Tangan terkepal dan ia pun memukul bantal saking kesalnya. "Sialan kau, Storm. Kau tak mendengarkan perintahku dan malah mencari Vione. Aku tak akan mengampunimu nanti."
"Sepertinya ada beberapa orang yang tak tunduk padamu, Mireya."
Mireya semakin kesal. Ucapan Torin tak ubah validasi untuk pemikirannya tadi, memang ada beberapa orang yang tak bisa dikendalikan olehnya. "Kau benar dan sekarang malah kupikir kalau memang tak ada dari mereka yang benar-benar tunduk padaku. Bukan hanya Storm, melainkan Garth juga. Bahkan Cora si pendek itu pun tak segan-segan menunjukkan ekspresi tak sukanya di hadapanku."
"Sudahlah, Mireya. Tak perlu kau pikirkan," ujar Torin sedikit merasa geli. Diraihnya tangan Mireya dan ia mengelus dengan lembut. "Lagi pula kau tak memerlukan mereka."
"Kau benar dan itu membuatku menjadi tak sabar untuk menghancurkan mereka. Aku ingin melihat mereka kesakitan, menderita, dan meminta ampun padaku."
Torin mengangguk. "Sebentar lagi, Mireya. Kita hanya perlu menunggu sebentar lagi." Ia mengangkat tangan Mireya dan mengecup punggung tangannya. "Kita akan menghancurkan Kawanan Frostholm dan setelahnya, Kawanan Nimbria akan menguasai semua. Selain itu, kita akan memimpin Kawanan Nimbria bersama-sama. Jadi, bersabarlah. Jangan sampai rencana dan usaha yang telah kita bangun dari lama menjadi sia-sia."
"Kau benar." Mireya pun menyadari hal tersebut dengan amat baik. "Terlebih lagi, firasatku juga tak enak mengenai Garth. Aku merasa seperti dia tengah merencanakan sesuatu. Aku yakin, dia tak mungkin tinggal diam setelah melihat keberadaanmu di kamar Usher. Dia tampak sekali menaruh curiga padamu."
Torin diam. Begitu pula dengan Mireya. Agaknya mereka sama berpikir demi menemukan cara untuk menyingkirkan Garth. Disadari oleh mereka, Garth akan menjadi batu sandungan untuk rencana mereka.
Pada saat itulah, ponsel Mireya berbunyi halus. Diulurkannya tangan dan ia mengambil ponselnya dari atas nakas. Ada pesan yang masuk dan ia sontak tersenyum setelah melihatnya.
Torin menjadi penasaran. "Ada apa?"
Mireya tak langsung menjawab, melainkan tersenyum semakin lebar. Lalu, ia berkata. "Sepertinya, keberuntungan memang berpihak pada kita."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top