30 : Nashville
"Apa kau akan bertahan melamun di sana?"
Pemuda berambut cokelat ikal tersebut tak menoleh saat mendengar suara tersebut. Bahkan saat pemuda berambut cokelat cepak lainnya mendekat dan duduk di kursi kosong di sampingnya, dia tak jua menoleh. Masih sibuk menatap jalanan kota Los Angeles dari lantai dua sebuah restoran yang menyediakan masakan khas China.
Setelah berjibaku dengan lamunan yang cukup panjang, Harry Styles menoleh dan menatap salah satu rekannya tersebut. Pemuda itu menghela napas dan menundukkan kepala sebelum berkata, "Aku masih kesulitan untuk melupakan semua itu."
Liam Payne mengangguk kecil seakan memahami apa yang sahabatnya maksud. "Aku paham, Harry. Semua butuh proses, kan?"
Harry mengangguk dan kembali beralih menatap jalanan kota Los Angeles. Hingga matanya menangkap sesuatu yang langsung membuatnya bangkit berdiri untuk memastikan apa yang dipandangnya itu nyata, bukan khayalan semata.
"Hei, hei, apa yang kau lihat?"
Liam penasaran dengan apa yang sahabatnya lihat, tapi belum sempat Liam melihat apa yang Harry lihat, pemuda itu sudah kembali duduk dan menggelengkan kepala. Harry tersenyum tipis. "Bukan apa-apa, Liam."
Harry meraih cangkir kopi di hadapannya dan mulai menyesap kopi hitamnya yang sudah tak begitu panas lagi. Liam menyandarkan punggungnya pada sandaran kursinya sebelum bertanya, "Bagaimana pikiranmu? Sudah merasa lebih tenang."
Senyuman miris muncul di bibir merah muda Harry. "How can I? Semuanya masih terlihat sangat jelas dalam pikiranku."
Liam tiba-tiba bangkit berdiri dan menepuk bahu Harry. "C'mon, Mark meminta kita berkumpul di apartment-nya pukul dua dan sekarang sudah pukul dua lewat sepuluh."
Harry terkekeh dan bangkit berdiri. "Dia mana pernah marah pada kita? Bukankah kita agen kesayangannya?"
Kedua pemuda itu melangkah meninggalkan restoran tersebut.
*****
"Apa kau ingin ikut pesta penyambutan musim panas di rumah Leo? Dia menyiapkan banyak minuman dan makanan untuk siapapun yang mau ikut serta." Liam bertanya kepada Harry yang tampak memasukkan sesuatu ke dalam lokernya.
Harry diam sejenak sebelum menggelengkan kepala. "Tidak. Sampaikan salamku untuk Leo dan yang lainnya."
Setelah itu, Harry tersenyum tipis dan melangkah ke luar dari ruang loker. Meninggalkan Liam sendiri di dalam ruangan, menatap kepergian Harry dengan wajah sendu.
Bagaimana tidak? Liam merindukan sosok Harry yang dulu, yang selalu menjadi komedian di sela-sela seriusnya tugas yang tengah mereka jalani. Sekarang, Harry menjadi pemuda pemurung yang hanya akan duduk merenung tanpa melakukan apapun. Sibuk dengan pikirannya yang entah apa.
Liam meraih ponsel yang memang sengaja dia letakkan ke dalam koper dan memutuskan untuk melakukan panggilan.
"Hei, mau sampai kapan? Bisakah kita mengeluarkannya sekarang?
*****
"Kau datang lagi?"
Scott Swift cukup terkejut saat mendapati seorang pemuda berambut kecokelatan keriting itu muncul lagi di hadapannya, tengah tersenyum tipis sebelum duduk di bangku dengan tenang. Harry Styles menarik napas dan menghelanya perlahan.
"Bukankah aku sudah berjanji untuk menemanimu? Aku sudah berjanji untuk memastikan kau selalu dalam kondisi yang baik dan hari ini kau terlihat jauh lebih baik dari kemarin. Batukmu sudah sembuh?"
Pertanyaan Harry membuat Scott mengangguk singkat. "Sudah merasa lebih baik. Terima kasih kau sudah membawakan cookies nanas kesukaanku kemarin."
Harry mengangguk singkat. "Sama-sama, Mr. Swift. Aku senang bisa membantumu."
Hening. Harry terlalu fokus dengan pikirannya sementara, Scott sibuk menerka apa yang tengah pemuda itu pikirkan. Tapi raut pemuda itu jelas memberikan gambaran kepada Scott tentang apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Aku yakin dia baik-baik saja."
Harry menarik senyuman tipis di bibir. "Aku juga yakin, dia baik-baik saja. Aku hanya...kecewa? Ini sudah hampir satu tahun dan dia belum memberi kabar apapun. Keberadaannya sangat sulit untuk dilacak."
Scott tersenyum. "Sama seperti Ibunya. Dia memang misterius dan selalu menarik rasa penasaran orang-orang tentang hidupnya."
Dia yang Harry dan Scott bicarakan adalah Taylor Alison Swift. Gadis itu pergi, setelah mendapat pembebasan tanpa syarat atas bantuannya dalam mengungkap jaringan Black Snake yang selalu berhasil memusingkan pemerintah. Tapi setelah kebebasan itu, Taylor pergi dan hanya meninggalkan sebuah memo kecil di depan pintu apartment-nya yang berbunyi:
I will be fine, don't mind me & please enjoy your life.
Meskipun Taylor memintanya untuk tak memikirkan Taylor, tetap saja itu sangat sulit untuk Harry. Taylor masih menghantui pikirannya dan masih muncul dalam mimpi Harry.
"Aku bermimpi tentangnya lagi."
Scott terdiam, mendengarkan. Sebenarnya bukan rahasia lagi jika Harry seringkali mengunjungi Scott dan menceritakan harinya atau untuk menceritakan mimpi-mimpinya. Scott senang akan kehadiran Harry. Harry sudah seperti anak Scott sendiri mengingat Austin Swift yang merupakan anak kandungnya sendiri belum pernah menjenguknya, sekalipun.
"Ah, sudahlah. Aku hanya merindukannya. Sangat merindukannya." Harry menundukkan kepala, tersenyum tipis sementara, Scott memperhatikan pemuda itu. Scott bisa mengerti, seberapa besar rasa yang Harry miliki untuk putrinya.
Scott berdeham dan tak lama kemudian, Harry mengangkat wajah menatap pria paruh baya itu. "Aku lelah melihat wajah menyedihkanmu itu. Aku akan memberikan alamatku di Nashville. Kemungkinan besar dia pasti berada di sana."
Mata Harry melotot. "Kau serius?"
Scott mengangguk. "Maaf baru memberitahumu sekarang, tapi dia berada di Nashville. Seminggu lalu dia menghubungi dan mengatakan jika dia baik-baik saja. Dia sedang membantu adikku yang adalah pamannya untuk membuka sebuah tempat makan."
Harry menahan napas dan mengangguk. "Boleh aku menyusulnya ke sana? Damn, kenapa dia tak menghubungiku sama sekali?!"
Scott tersenyum tipis. "Tanyakan sendiri padanya, okay?"
*****
Harry mengerjapkan mata beberapa kali masih tak percaya dengan siapa yang berada di hadapannya saat ini. Gadis yang hampir setahun menghilang dari pandangannya itu ternyata ada di sini. Di sebuah restoran yang katanya baru buka sekitar sebulan lalu. Sedang berbicara para pria paruh baya yang dapat Harry yakini sebagai pamannya.
Senyuman tipis muncul di bibir pemuda itu saat pelayan menghampiri dan menawarkan menu makanan kepada Harry. Harry menarik kursi dan duduk sambil berkata, "Pesankan saja menu terbaik di sini."
Pelayan itu tak bicara banyak dan menganggukkan kepala sebelum pergi menjauh. Mata Harry masih terlalu fokus menatap Taylor yang masih bicara dan sangsi jika dia melihat Harry. Tapi dapat memastikan jika gadis itu baik-baik saja merupakan kebahagiaan tersendiri menurut Harry.
Sampai akhirnya, pembicaraan Taylor selesai dan gadis itu memutar tubuh. Seperti slow motion, iris birunya bertemu dengan iris hijau Harry. Taylor membeku di tempatnya dan akan terus diam di sana jika saja Harry tak melambaikan tangan dan memberi isyarat agar Taylor mendekat. Gadis itu melangkah menuju meja tempat Harry berada.
"Harry? Apa yang kau lakukan di sini?" Taylor bertanya sesampainya di sana.
Harry tersenyum. "Punya waktu luang? Banyak yang harus kau dan aku bicarakan jadi, bagaimana jika kau duduk dulu?" Harry menarikkan kursi untuk Taylor dan Taylor segera duduk di kursi itu.
Taylor menggelengkan kepala. "Kenapa kau menemuiku? Bukankah sudah kukatakan untuk jangan memperdulikan aku?"
Harry memicingkan mata. "Kenapa kau pergi begitu saja dan sangat sulit untuk dilacak? Aku mencarimu karena aku mencemaskanmu. Apa semua belum jelas?"
"Harry, akan lebih baik jika kau menjau—,"
Harry menggeleng cepat memotong ucapan Taylor. "Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang bukan kemauanku."
Taylor menghela napas pasrah dan menundukkan kepala. Harry diam dan Taylor mengerti maksud diam tersebut.
"Apa kau percaya aku dipenjara? Nyatanya, aku tak pernah masuk penjara. Aku masuk rehabilitasi dan saat aku bilang aku ke luar penjara, saat itu pula aku dipindahkan ke tempat rehabilitasi lain di Nashville." Taylor langsung menjelaskan dan Harry masih diam. "Aku tak tahu harus berkata apa, tapi kedatanganmu benar-benar membuatku terkejut. Apalagi saat aku menghubungi Dad dan Dad bilang kau menjenguknya nyaris setiap hari. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk berterima kasih padamu."
Harry menghela napas. "Aku tak peduli dengan alasanmu. Aku tak peduli kau dipenjara ataupun direhabilitasi karena mustahil untuk tak menggunakan obat terlarang ketika kau berada di organisasi seperti Black Snake." Harry memejamkan mata, "Tapi pergi tanpa berpamitan dan meninggalkan pesan bodoh seperti itu kepada seseorang yang sudah sejak lama mencintaimu itu sangat menyakitkan, Taylor."
"Kau agen rahasia FBI dan CIA sedangkan aku mantan anggota Black Snake dan mantan pengguna narkoba. Kau bisa mendapatkan seseorang yang lebih daripada aku, dari segi apapun."
Perbincangan serius Harry dan Taylor harus terpotong dengan kedatangan pelayan yang membawakan pesanan Harry. Setelah pelayan itu pergi, barulah mereka memulai perbincangan mereka lagi.
"Kau ikut denganku ke Los Angeles. Malam ini."
Mata Taylor melotot mendengar ucapan Harry. "Apa? Kau gila? Bagaimana mungkin aku meninggalkan pekerjaanku di sini?!"
"Aku sudah mempersiapkan segalanya. Kita akan menikah di sana. Lusa."
Taylor tambah terkejut. "Kau sungguh—gila! Apa-apaan?! Siapa yang akan menikah denganmu?!"
"Kau, tentu saja. Aku sudah berbicara dengan ayahmu, Scott. Bahkan, kau tak tahu jika hari ini dia ke luar dari penjara, kan?"
Taylor diam. Kesibukannya di Nashville jelas-jelas membuatnya seringkali melupakan sang Ayah di Los Angeles. Bahkan Taylor lupa jika ayahnya bebas hari ini. Kapan terakhir kali dia bertemu dengan sang ayah? Rasanya sudah lama sekali.
Harry baru saja menghabiskan minumannya dan hanya sedikit memakan makanan yang disediakan. Pemuda itu bangkit berdiri sambil memanggil pelayan untuk membawakan bill sambil mengeluarkan dompet. Saat pelayan itu datang, Harry langsung memberikan beberapa lembar uang sebelum beralih menatap Taylor yang masih tercengang di kursinya.
Senyuman tipis muncul di bibir Harry. "Pesawat berangkat pukul 10 malam. Kau punya sepuluh jam untuk bersiap. Aku akan menjemputmu pukul 9."
Taylor beralih menatap Harry tajam. "Aku tak pernah mengiyakan untuk ikut denganmu."
"Ini perintah Ayahmu. Aku harus memaksamu kembali ke Los Angeles."
Taylor menggeleng. "Aku akan kembali, tapi menikah denganmu? Lusa? Itu tak akan terjadi."
"Itu juga perintah Ayahmu." Dan kemauanku.
Taylor mengernyit heran. Masa iya ayahnya meminta Taylor menikah dengan Harry? Itu sepertinya sangat aneh dan mustahil. Pasalnya, Scott bukan tipikal ayah yang ingin anaknya menikah dengan cepat. Lagipula, dia baru bebas dari penjara. Mana mungkin dia berpikiran untuk menikahkan Taylor dengan Harry ketika yang harus dipikirkan adalah bagaimana menata hidupnya yang baru?
Taylor baru ingin kembali bertanya lagi, tapi Harry sudah melangkah meninggalkan restoran. Taylor memutar bola matanya dan bersedekap kesal.
Tapi lama-kelamaan, senyuman manis muncul di bibirnya.
THE END.
--------
Selesai, alhamdulillah xD
Ngaco parah ini endingnya. Bingung mau bikin ending gimana. Tadinya mau sad ending, tapi gajadi wkwk
Gue mana tega bikin Haylor sad ending. Mereka harus happy ending. Semoga di dunia nyata iya hehe
Masih bingung mau ngetik apaan lagi setelah ini. Ada ide? Bagi sini :3
Btw, thanks yang udah baca dari awal. Makasih banyak dan maapkeun atas segala kekurangan ff ini.
Sampai jumpa di ketikan selanjutnya (inshaAllah). All the love. A x
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top