27 : Attack
"Lo—Louis?"
Harry menatap tak percaya pemandangan di layar laptop yang berada di hadapannya. Dari headphone, Harry dapat mendengar suara Mark yang mengancam akan menembak jika Louis tak menyerah sedangkan, Louis hanya diam dengan seringai di bibirnya.
Pemuda tampan itu menoleh kepada Liam yang kali ini sibuk membuat sesuatu di laptopnya. Harry menahan napas.
"Kau sudah tahu semua ini, Liam?" Harry bertanya tak percaya dan Liam mengangguk.
"Menurutmu, kenapa Louis memutuskan semua kontak denganmu? Karena dia tahu, berhubungan denganmu akan membahayakan keberadaan Black Snake." Liam menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
"Mari akhiri semua ini. Kau hanya perlu ikut dengan kami secara sukarela sehingga kami tak perlu menggunakan jalur kekerasan." Suara Mark kembali terdengar dari headphone yang Harry kenakan
Louis tersenyum miring dan mengedikkan bahu. "Justru, kalian yang harus mengakhiri semua ini dan punya sedikit waktu untuk bertahan." Lagi, dia menyeringai dan Harry bersumpah, pemuda di layar laptop yang tengah berbicara dengan Mark itu jelas-jelas tak seperti sahabatnya yang biasa.
"Menyerahlah." Mark terus berusaha membujuk meskipun, hasilnya pasti sia-sia.
Louis menghela napas dan melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangannya sebelum kembali menyeringai dan mengangkat tangan. Pemuda itu melambaikan tangan sambil tersenyum lebar mengatakan, "Selamat tinggal."
"Sialan! Mark cepat ke luar dari gedung itu! Mereka memasang bom di sana!"
Harry terkejut bukan main mendengar teriakan Liam yang ditujukan untuk Mark tentu saja. Jantung Harry ikut berdegup cepat melihat layar laptopnya, menunjukkan jalan yang Mark lalui dengan cepat. Harry berharap-harap cemas.
"Tiga puluh detik, Mark! Cepat!" Liam kembali memperingatkan dan Harry tahu Mark mati-matian untuk dapat ke luar dari gedung itu.
"Sepul—Mark! Kau sud—,"
Ucapan Liam terpotong saat bunyi keras terdengar bersamaan dengan pecahnya kaca jendela gedung, tepatnya pada lantai 5 dan 6, tempat Black Snack menyewa untuk menjadi markas sementara mereka. Bom itu tidak memiliki sekala besar, tapi tetap saja. Siapapun yang berada di ruangan tempat bom itu meledak, memiliki kemungkinan besar untuk mendapat luka bakar atau bahkan terlempar kencang hingga tulang mereka patah. Layar monitor Harry juga mendadak berubah menjadi hitam. Blank.
Harry tercekat, begitupun Liam.
"Mark, kau bisa mendengarku?" Harry mencoba tenang dan kali ini, tak ada balasan apapun dari Mark.
"Mark! Fuck!"
Kemudian, tanpa banyak berkata, Harry ke luar dari mobil dan berlari cepat menuju gedung, mengabaikan Liam yang terus memanggil namanya.
*****
Pandangan Taylor yang semula fokus menatap layar laptopnya teralihkan oleh suara decit pintu yang sudah satu jam lamanya sunyi. Gadis itu menahan napas saat menapati atasannya yang tampan muncul dengan pakaian setengah basah oleh keringat. Matanya memicing, menatap tajam Taylor sebelum melangkah mendekat.
Senyuman tipis terpatri jelas di bibir pria itu sambil berkata, "Sepertinya pria itu mati."
Taylor menelan saliva. "Pr—Pria itu?"
Sean O'Pry menganggukkan kepala. "Aku tak tahu, tapi markas kita kembali ketahuan dan FBI bersama antek sialan-nya melakukan penyergapan hari ini. Tebak siapa yang kukorbankan? Your ex bestfriend, Louis William Tomlinson."
Mata Taylor melotot mendengar nama Louis disebut oleh Sean. Tubuhnya melemas seketika. Ini bukan kali pertama Taylor mendengar tentang pengorbanan paksa yang memang berada di Black Snake. Tapi siapa yang dikorbankan sekarang benar-benar membuatnya kehabisan kata-kata. Tubuhnya melemas seketika.
Okay. Memang hubungan Taylor dan Louis tak berjalan begitu baik sejak Louis mendaftarkannya ke dalam Black Snake dan membuat Taylor harus terjebak dengan Sean O'Pry yang kejam. Bagaimana tidak? Dibalik sosok tampan nan menawannya, dia benar-benar pria otoriter dan jangan lupakan organisasi ilegalnya yang sudah beberapa tahun terakhir menjadi incaran FBI.
Tapi Louis tetap saja teman Taylor. Teman yang dikenalkan Harry untuknya.
"Chris membuat bom skala kecil. Mungkin hanya menghancurkan sebagian gedung, bersama manusia yang ada di sekitarnya." Sean melanjutkan perkataannya dan jantung Taylor berdetak lebih cepat.
Harry...
Nama itu langsung terlintas dalam benak Taylor mengingat Harry pastinya akan terlibat dalam penyergapan itu. Jafar sendiri yang menceritakan kepada Taylor jika Harry sangat dibutuhkan dan Harry akan selalu berada di lokasi seperti itu.
"Kudengar, Harry Styles juga ada di sana. Well, pacarmu, kan?"
Sean tersenyum mengejek sementara Taylor hanya menundukkan kepala dengan tubuh mulai bergetar.
"Jika kau membutuhkan informasi lebih lanjut, kau bisa menyalakan televisi di ruangan ini. Mungkin hampir seluruh saluran menampilkan kejadian tersebut. Kuharap, Harry-mu tak ada di sana. Selamat menjalani harimu, Taylor."
"Bajingan."
Sean baru saja berbalik dan hendak melangkah pergi namun, suara Taylor membuatnya berhenti sejenak dan menoleh. Lagi, seringaian bodoh itu muncul di bibirnya.
"Aku akan mengatur ulang jadwal kencan kita, Swift. Semoga harimu menyenangkan."
Setelah itu, barulah Sean ke luar dari ruangan, meninggalkan Taylor sendirian.
Taylor memejamkan mata dengan tubuh yang perlahan mulai bergetar. Gadis itu menatap sekeliling sebelum meraih tas dan memutuskan untuk melangkah ke luar dari ruangannya.
*****
Harry memejamkan mata dan menyandarkan punggung pada dinding di samping pintu ruangan tempat Mark tengah diatasi oleh pihak medis. Sudah hampir satu jam dan belum ada kepastian tentang apa yang terjadi pada Mark. Yang jelas, Harry menemukan pria itu tengah duduk dengan kulit tangan dan kaki yang melepuh. Jangan lupakan napasnya juga yang tak beraturan.
"Styles."
Harry menoleh dan tangannya secara refleks menangkap botol minuman yang baru saja Liam lemparkan kepadanya. Harry menghela napas dan mulai memutar penutup botol minuman tersebut. Liam bersandar di samping Harry.
"Satu anak buah Mark tewas karena dia berada sangat dekat dengan posisi bom. Sisanya terluka, hampir sama persis seperti Mark." Liam melaporkan dan Harry memejamkan mata.
"Bagaimana dengan Louis?"
Liam mengedikkan bahu. "Belum ada kabar. Sepertinya dia berhasil mengorbankan diri. Korban tewas yang ditemui hanya anak buah Mark itu."
Harry mengacak-acak rambut cokelat dengan tangannya. Wajah pemuda itu terlihat frustasi. "Seharusnya aku tak gegabah dan langsung meminta dilakukan penyergapan tanpa pemikiran matang-matang."
Liam memejamkan mata dan menggeleng. "Bukan salahmu juga. Setidaknya, hal seperti ini tak jarang terjadi. Setiap kita mencoba untuk mencaritahu tentang Black Snake, hal seperti inilah yang terjadi." Liam membuka mata dan lanjut berkata, "Aku masih akan terus menyelidiki markas tadi meskipun sudah hancur lebur. Kuharap, ada petunjuk untuk penyergapan selanjutnya."
Harry menghela napas lagi dan menjauhkan punggung dari dinding. Senyuman tipis muncul di bibir Harry, tapi tentu saja bukan senyum kebahagiaan.
"Terima kasih atas minumannya. Aku akan pergi mencari udara segar. Hubungi aku jika Mark sudah bisa ditemui."
Liam mengangguk kecil dan Harry mulai melangkah meninggalkan tempat tersebut. Berjalan ke luar dari rumah sakit yang benar-benar bukan tempat kesukaannya untuk berada. Tangan pemuda itu bergerak di layar ponsel, sedari tadi sibuk menscroll down atau menscroll up satu kontak.
Taylor.
Sudah berapa hari Harry tak bertemu dengannya dan Harry benar-benar mencemaskan gadis itu. Taylor memang terus mencoba meyakinkan jika dia baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Tapi tetap saja. Dia tak akan pernah baik-baik saja selama masih terlibat dengan organisasi sialan itu.
Tangan Harry nyaris saja menekan tanda lingkaran hijau di layar ponsel yang berarti memanggil namun, suara Taylor terngiang dalam benaknya dan membuatnya mengurungkan niatnya tersebut.
Untuk sementara waktu, jangan hubungi aku. Jangan temui aku. Nanti aku yang akan menghubungi dan menemuimu langsung.
Harry memejamkan mata dan menundukkan kepala.
"Please, be save, Taylor."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top