26 : The Truth
Sesekali, Mark menatap Harry dengan cemas. Bagaimana tidak? Pemuda yang biasanya banyak bicara itu sudah tiga hari belakangan tak banyak bicara. Dia hanya berdiam diri di kamar sampai Mark menemuinya dan memberitahu informasi lebih lanjut tentang penyergapan di markas Black Snake yang baru. Liam dan rekannya yang menyelidiki letak markas itu.
By the way, Liam tak juga bicara dengan Harry sejak adu mulut mereka. Harry juga tak terlihat berminat untuk mengajak bicara Liam terlebih dahulu. Tapi di sinilah mereka berdua berada. Mark sengaja meminta mereka duduk bersebelahan di mobil van yang akan membawa mereka ke lokasi yang berhasil Liam selidiki. Sudah hampir lima belas menit perjalanan dan suasana mobil yang berisikan enam orang itu benar-benar sunyi.
Liam melirik ke cermin dan mendapati pantulan bayangan Mark yang menatapnya tajam. Liam menghela napas dan mengangguk sebelum beralih menatap Harry yang tenang menatap ke luar kaca mobil.
"Maafkan aku."
Liam menunggu lama balasan dari Harry, tapi sahabatnya itu hanya bungkam seakan tak mendengar perkataan tulus darinya. Liam mengumpat dalam hati penuh kefrustasian. Sungguh, dia benci harus bertingkah seperti orang asing dengan seseorang yang dulu sangat dekat dengannya.
"Aku melihatnya tadi pagi. Di kantornya. Dia terlihat baik-baik saja—kuharap dia baik-baik saja." Liam lanjut berkata, memancing percakapan dengan membawa seseorang yang pasti sudah sangat Harry ketahui siapa.
Benar saja, Harry menghela napas dan memejamkan mata sebelum merespon, "Dia tahu tentangku. Dia tahu jika aku bisa membaca pikirannya dan pikirannya yang memberitahuku tentang Black Snake itu."
Liam menggigit bibir bawahnya. "Aku tahu itu juga. Maafkan aku karena tak percaya—bukan padamu, tapi pada gadis itu. Aku hanya—well, aku selalu punya firasat buruk dengan keluarga Swift semenjak...kau tahu ke mana arah pembicaraanku, kan?"
Akhirnya, Harry menoleh dan menganggukkan kepala. "Aku mengerti. Tapi Taylor bahkan tak tahu apapun tentang kasus keluargamu dan keluarga Swift lain yang memang bukan keluarganya. Taylor bukan satu-satunya Swift di sini. Aku harap kau paham akan hal itu."
Liam mengangguk. "Aku tahu, maafkan aku sekali lagi. Aku sangat menyesal."
Harry menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku mobil dan menatap Liam dengan tatapan yang paling Liam benci. Pemuda itu terlihat sangat pasrah dan tak ada cahaya lagi di matanya.
"Dia tidak baik-baik saja, Liam. Dia tidak akan baik-baik saja."
Liam menundukkan kepala. Liam jelas saja mengerti apa yang Harry rasakan saat ini. Mana mungkin Taylor baik-baik saja? Liam melihatnya datang ke kantor dengan pakaian sangat tertutup. Sangat jelas kentara, dia berusaha menyembunyikan luka di sekujur tubuhnya.
*****
"Taylor!"
Taylor Swift tersadar dari lamunannya. Buru-buru dia menoleh dan mendapati Megan dan Stephanie yang menatapnya cemas. Taylor belum bereaksi apapun saat Megan menarik kursi di dekatnya dan langsung memeriksa kening Taylor yang berkeringat.
"Kau sakit? Kau tak banyak bicara sejak kemarin? Kau baik-baik saja? Seharusnya jika masih sakit, tak usah dipaksakan masuk. Mr. O'Pry pasti akan memintamu beristirahat jika tahu kau terlalu memaksakan diri ke kantor."
Perkataan panjang lebar Megan membuat Taylor menundukkan kepala. Rasanya dia ingin berteriak saat ini juga. Terlibat dengan Black Snake jelas-jelas bukan keinginannya dan semua tentang Black Snake membuat kepalanya ingin pecah.
Gadis itu diam sejenak sebelum mengangkat kepala dan tersenyum tipis kepada dua rekan kerjanya tersebut. "Kalian ingin makan siang? Pergilah. Aku sudah memesan McDonald tadi."
"Serius? Kemarin KFC, hari ini McDonald. Kau tak akan membaik jika memakan makanan seperti itu, Taylor." Kali ini, Stephanie yang buka suara.
Taylor terkekeh geli dan mendorong pundak Megan yang duduk di dekatnya. "Sudah sana makan siang. Aku akan menjaga ruangan sampai pesananku datang. Selamat makan siang."
Megan memutar bola matanya dan bangkit berdiri. "Baiklah. Aku memang tak pernah bisa memaksamu. Tapi besok, kau harus makan siang dengan kami, okay?"
Taylor mengangguk cepat.
"Kami makan siang dulu, Taylor." Stephanie berujar ceria sebelum melangkah ke luar ruangan dengan Megan yang mengikuti dari belakang.
Setelah pintu ruangan tertutup lagi, Taylor menghela napas dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi tempatnya duduk. Gadis itu memejamkan mata sebelum melirik sekilas CCTV yang terpasang di ruangan tempatnya berada.
Dia tak bisa bergerak bebas. Setiap gerakan yang dibuat olehnya akan terekam jelas di CCTV tersebut. Ponselnya juga tak dapat digunakan sebagaimana mestinya. Mereka telah memasang pengintai juga di ponsel Taylor.
Taylor benci harus seperti ini. Taylor benci harus terlibat dengan Black Snake.
Semua berawal dari empat tahun lalu, sejak dia benar-benar ditinggal sendirian dan secara tak sengaja dipertemukan dengan seseorang yang nyatanya bukan seseorang yang tepat untuk dijadikan tempat mencurahkan segala perasaan Taylor.
Sekarang, Taylor sangat menyesal karena mengenal orang tersebut.
*****
Lagi, Harry hanya dapat melihat di layar laptop proses penyergapan markas Black Snake yang dipimpin oleh Mark. Liam juga berada di dekat Harry, dengan keahliannya di bidang teknologi, Liam membantu melacak lebih jelas keberadaan tiap anggota Black Snake, tak lupa juga meretas sistem jaringan yang mereka gunakan meskipun, tidak semudah yang dia kira.
"Mereka sangat rapih, aku tak menyangka sangat sulit melacak mereka secara detail." Liam berkomentar dan Harry menoleh sekilas kepada pemuda itu sebelum menatap kembali layar laptopnya.
Harry menahan napas. "Penyergapan kali ini, benar-benar rahasia, kan, Liam?"
Liam mengangguk. "Aku harap ini benar-benar rahasia. Tapi kau tahu sendiri Black Snake. Mereka sulit terlacak dan mereka bisa dengan mudah mengetahui tiap pergerakan kita. Aku takut, mereka sudah tahu dan kabur."
"Itu yang kutakutkan." Aku takut mereka membawa serta Taylor bersama mereka juga. Harry memejamkan mata dan mengeratkan tangannya yang mengepal menahan amarah.
Liam melirik sekilas Harry sebelum menghela napas dan tersenyum tipis, "Aku bertemu dengan Taylor kemarin. Kau tahu jelas itu, kan?"
Harry membuka mata dan menatap fokus layar laptopnya yang masih menampilkan gambar yang cukup gelap. Tidak begitu jelas. Harry memonitor pergerakan dari kamera kecil yang tertempel di saku pakaian milik Mark.
"Aku tak ingin menceritakan ini semua, tapi kau harus tahu jika dia bisa terlibat dengan Black Snake karenamu."
Pernyataan Liam membuat Harry menoleh dan mengangkat satu alisnya. "Apa?"
Liam tersenyum tipis. "Kau membuatnya beketergantungan denganmu dan meninggalkannya begitu saja. Kau tahu sendiri, dalam keadaan seperti itu, dia akan sangat mudah dipengaruhi orang lain. Kau tahu sendiri, dalam keadaan seperti itu, seberapa rapuhnya dia."
Hening sesaat sebelum Liam melanjutkan, "Kau juga tak tahu, kan, seberapa tambah hancurnya dia mengetahui fakta jika Ayah yang selama ini dipercayainya, nyatanya benar-benar bersalah. Meski, tidak sepenuhnya bersalah, kasus yang menerpa Ayahnya memang menunjukkan jika salah satu tersangkanya adalah Scott Swift dan Yaser Malik mengatakan yang sebenarnya."
Harry membulatkan matanya. "Bagaimana kau..."
Liam terkekeh. "Aku yang bertugas menyelidiki Scott Swift saat itu. Tapi aku tak menyalahkannya sepenuhnya. Dia benar-benar menyayangi keluarga dan saking sayang dengan keluarganya, dia memainkan laporan keuangan perusahaan tempatnya bekerjanya."
"Kau serius?" Harry bertanya tak percaya.
Liam mengangguk mantap. "Aku seratus persen serius. Dia membutuhkan uang dalam jumlah besar, sangat besar. Untuk melindungi seseorang yang sangat dia sayangi. Well, apa kau tahu jika Taylor mempunyai seorang adik bernama Austin?"
Harry baru mendengar nama itu sekarang. Taylor mempunyai adik? Austin? Taylor bahkan tak pernah membahasnya. Bukankah Taylor anak tunggal?
"Austin memang anak dari Scott Swift, tapi bukan Andrea Swift ibunya. Austin lahir dari kecelakaan one night stand Scott dengan seorang wanita Nashville. Andrea dan Taylor tak tahu tentang itu, mungkin sampai detik ini. Wanita itu menggunakan Austin sebagai alasannya untuk memeras Scott." Liam menahan napas sejenak sebelum melanjutkan, "Apalagi saat Austin tertangkap karena narkoba. Kau tahu sendiri seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk kasus tersebut dan jangan lupakan segala macam cara untuk menutupi atau menghapus jejak-jejak dari kasus tersebut."
Harry tercengang. Liam bahkan lebih tahu banyak tentang keluarga Swift daripada Harry yang sudah menjadi stalker Taylor sejak awal melihat gadis itu.
Harry baru ingin mengajukan pertanyaan lain saat sebuah suara yang berasal dari headset yang berada di lehernya terdengar. Harry buru-buru memasang headset itu kembali dan menatap fokus ke layar laptop.
Mata Harry terbelalak terkejut mendapati sosok yang sangat dikenalinya, tampak tengah menyeringai menatap ke arah kamera—atau ke arah Mark.
"Lo–Louis?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top