17 : On The Way
Harry Styles menghela napas sebelum tersenyum tipis dan menganggukkan kepala setelah mendengar penjelasan panjang lebar rekan kerjanya yang baru saja ke luar dari ruang pimpinan beberapa saat yang lalu. Rekan kerjanya adalah Liam Payne yang saat sini tengah sibuk membaca sebuah pesan masuk di ponselnya.
"Aku akan menemui teman-temanku selama kita di Los Angeles. Sebaiknya kau juga melakukan hal yang sama. Identitasmu masih aman." Liam berkata santai, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
Harry mengedikkan bahu. "Aku tak tahu apa mereka masih menganggapku teman atau tidak. Sepertinya aku tak lagi memiliki teman di sana. Sudah hampir empat tahun aku pergi dan tak seorangpun mencoba untuk menggapaiku." Harry menyesap kopi yang sedari tadi ada di atas meja.
Liam meletakkan ponselnya di atas meja. "Bukan mereka tak menggapaimu. Apa kau lupa? Setelah ponselmu hilang, dengan bodohnya kau hanya menunggu mereka menghubungimu tanpa sadar jika kau tak melakukan apapun untuk menghubungi mereka."
Harry terdiam dan memejamkan mata sekilas. "Aku bertemu dengan Louis beberapa bulan lalu. Saat aku sedang berada di Los Angeles dan dia benar-benar mengabaikanku."
Salah satu alis Liam terangkat. "Kau menyapanya? Maksudku, bisa saja dia tak melihatmu makanya, dia mengabaikanmu."
Harry menggelengkan kepala. "Aku bahkan berusaha meraihnya, tapi dia menghindariku. Aku berusaha mendekat dan dia seperti tak ingin punya urusan lagi denganku. Padahal, banyak yang ingin kusampaikan."
"Kau pasti berbuat kesalahan yang membuatnya marah jika benar dia seperti itu."
Pemuda berambut kecokelatan dengan iris hijau itu mengedikkan bahu. "Tak tahu. Mungkin aku akan meminta penjelasan jika aku bertemu lagi dengannya." Lagi, Harry menyesap kopi panasnya.
"Bagaimana dengan gadis pirang itu? Bukankah dia masih berada di Los Angeles? Tak ingin menemuinya? Kau punya sangat banyak kesempatan untuk bertemu dengannya."
Senyuman tipis muncul di bibir Harry mendengar pertanyaan Liam yang selanjutnya. Harry mengedikkan bahu. "Ah, aku tak tahu. Aku menyesal, tapi aku juga tak lagi berkomunikasi dengannya semenjak ponselku hilang meski, memang sejak awal aku tak pernah meminta nomor ponselnya."
Liam menggeleng-gelengkan kepala. "Kau berstatus lajang selama hampir 4 tahun setelah bertemu dengan gadis pirang itu. Padahal, tak ada yang menarik darinya dan siapa tahu jika mungkin saja sekarang dia bersama pria lain?"
Harry tersenyum mengejek. "Aku juga tak mendapati ada yang menarik dari Sophia. Kenapa kau mau bersamanya selama ini?"
Liam memutar bola matanya. "Kau hanya tak mengenalnya seperti aku mengenalnya, Styles. Berhenti membahas tentang gadisku."
"Begitupun gadis pirang yang kau bicarakan padaku tadi. Alasanku sama seperti alasanmu, mengerti?"
Liam memutar bola mata dan memilih untuk bungkam, tak mau lagi membawa gadis pirang itu ke dalam percakapan ringannya dengan Harry karena nantinya percakapan itu akan berujung pada adu argumentasi tak terelakkan antara mereka berdua.
*****
"Bagaimana dengan Sabtu ini? Atau Minggu? Aku jamin, kau tak akan menyesal."
Taylor Swift memutar bola mata sebelum kembali fokus menatap layar monitor. Tangan kanannya sibuk memainkan mouse yang mengerakkan kursor pada layar monitor. Berusaha keras mengabaikan pemuda yang sedari tadi terus saja berbicara, mengajaknya pergi berkencan meski, ini bukan sekali-dua kali Taylor menolaknya.
"Kudengar Coldplay akan mengadakan konser mereka di Staples Centre malam Sabtu ini. Kau suka Coldplay, kan? Ayo, pergi. Aku akan memesan tiketnya dari sekarang."
Lagi, pria tampan berusia dua puluh sembilan tahun itu membujuk gadis yang sebenarnya adalah bawahannya sendiri. Well, pria itu memang atasan Taylor. Statusnya adalah sebagai seorang asisten manajer dan Taylor berada persis di bawahnya sebagai staf. Jika kau ingin tahu, pria itu bernama Sean O'Pry dan dari sekian banyak gadis yang menggilainya, saat ini dia tengah sangat tertarik dengan seorang gadis yang menolaknya.
"Taylor, ayolah..please?"
Sean kembali memohon, menarik kursi kerja staf lain yang biasa duduk di samping Taylor namun, staf itu tengah ke luar untuk makan siang dengan yang lainnya. Taylor menyesal tidak mengiyakan ajakan mereka untuk makan siang karena sekarang dia terjebak dengan asisten manajer keras kepala ini.
"Mr. O'Pry. Aku sangat sibuk. Bisakah sehari saja kau tak menggangguku? Kau membuatku jengkel." Taylor berkata tanpa memilah-milih kata terlebih dahulu.
Jika ada bawahan yang berani bersikap kurang ajar pada atasannya, itulah Taylor. Tapi Sean tak pernah mempermasalahkannya. Sama sekali tak pernah.
"Kau tahu sendiri aku tak akan berhenti membuatmu jengkel sampai kau mengiyakan ajakanku. Okay. Aku janji, ini bukan ajakan kencan. Hanya menonton Coldplay. Aku tak akan macam-macam."
Pemuda tampan itu menunjukkan dua jarinya yang membentuk huruf V kepada Taylor yang menoleh dan menghela napas. Sungguh, pria ini sangat menyebalkan. Jika dia tak membawa kata Coldplay yang adalah band kesukaan Taylor, mungkin Taylor sudah mendorong pemuda itu dari jendela lantai lima tempatnya bekerja.
"Baiklah."
Senyuman penuh kemenangan muncul di bibir Sean setelah berakhir mengajak staf kesukaannya itu ke luar dan ini akan menjadi kencan kedua mereka meski, Sean berkata tadi jika ini bukan kencan.
Percayakah jika dari seratus lima puluh ajakan kencan Sean kepada Taylor sejak gadis itu bekerja di kantor ini, Taylor hanya mengiyakan dua ajakan. Termasuk ajakan kali ini. Yang pertama adalah saat Sean mengajaknya makan malam di restoran baru masakan China hampir satu tahun lalu. Taylor juga mengiyakan karena masih anak baru yang tak enak menolak ajakan kencan atasan. Setelahnya, Taylor terus menolak ajakan kencan Sean.
"Aku akan menjemput—,"
"Tidak, kita bertemu di sana saja. Aku akan mengajak teman-temanku."
Mata Sean melotot. "Apa? Mengajak teman? Yang benar saja. Aku hanya mengajakmu dan aku akan menjemputmu, okay?" Sean berkata penuh penekanan.
Taylor memicingkan mata. "Iya atau tidak sama sekali?"
Sean mengumpat dalam hati sebelum memutuskan untuk mengalah dan mengangguk setuju. Sekarang, giliran Taylor yang tersenyum penuh kemenangan.
*****
"Informasi selanjutnya yang kami dapatkan, mereka terus berpindah lokasi. Markas pusat mereka memang di Los Angeles, tapi sangat jarang ada orang di sana. Sepertinya mereka cukup cerdas untuk berkamuflase sehingga, tak ada yang sadar jika markas pengedar narkoba terbesar di Amerika ada di sana."
Harry Styles menganggukkan kepala setelah mendengar penjelasan salah satu rekannya, Mark Orsand yang saat ini duduk bersamanya dalam pesawat yang membawa mereka ke Los Angeles.
"Apa aku harus ikut ke sana saat kalian melakukan penyergapan langsung? Aku akan menggunakan blackcard-ku sebagai agen rahasia CIA."
Mark menggeleng. "Tidak. Robert akan membunuhku jika tahu aku membuatmu terlibat dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan fisik. Seperti biasa, kami akan maju dan mencari tahu lebih lanjut. Kau akan bertugas jika kami memang tak punya pilihan lain selain menggunakan kemampuanmu untuk menggali informasi."
Harry mengerucutkan bibir. "Kalian selalu membuatku terlihat tak keren. Aku ingin menjadi agen yang terjun langsung dalam area pertempuran. Kenapa aku harus menjalani pelatihan fisik ketika ujung-ujungnya aku tak pernah terjun langsung?"
Pemuda berambut dirty blonde berusia tiga puluh lima tahun itu memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya. "Kau tak tahu seberapa berharga kemampuanmu jika orang-orang mengetahuinya. Dalam hal ini, pemerintah Amerika yang beruntung karena kemampuanmu sangat berguna bagi CIA, FBI dan organisasi lain."
Harry menundukkan kepala dan menghela napas. Membaca pikiran mungkin adalah kemampuan langka yang memang sangat jarang dimiliki seseorang. Terlebih lagi, kemampuan yang Harry miliki dapat menggali informasi lebih detail tentang seseorang hanya dengan menyentuhnya. Ditambah lagi dengan kecerdasan, semuanya terasa sempurna. FBI dan CIA adalah dua organisasi besar yang sangat membutuhkan Harry dan Harry terlibat di dua organisasi itu.
Setelah hening beberapa saat, Harry kembali membuka percakapan dengan Mark.
"Hei, kau mau menginap di rumahku? Ada kamar kosong di sana. Daripada harus menyewa kamar hotel atau apartment."
Mark menggeleng. "Tidak. Mereka memberiku uang untuk tempat tinggal sementara selama dua minggu. Jadi, aku akan menggunakan amanat mereka dengan baik."
Harry memutar bola mata. "Seriously, you are the most serious person I've ever met."
Kemudian, Harry memilih tidur untuk menunggu pesawat tiba di Los Angeles ketika Mark mulai membaca koran yang ada di sana.
----
Mulmed : Sean O'Pry aka my man:*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top