16 : Ed

Gadis itu memainkan rambut pendek pirang yang panjangnya hanya sedikit melewati bahu. Sesekali iris birunya menatap berkeliling, berharap yang ditunggunya muncul sehingga dia tak perlu lagi hanya diam di sini tanpa ada yang dapat diajak bicara. Dia menyandarkan punggungnya pada sofa tempatnya duduk sejak satu jam lalu.

Tangannya meraih ponsel yang terletak di atas meja dan kembali berusaha untuk menghubungi yang sedari tadi ditunggunya. Taylor menunggu sampai nada tunggu yang sekarang didengarnya berubah menjadi suara seseorang.

"Taylor! Maafkan aku! Mobil Louis mogok di jalan dan baru selesai diperbaiki. Setengah jam lagi kami sampai, okay?"

Suara menggebu-gebu Eleanor langsung terdengar di telinga Taylor sebelum sempat Taylor mengucapkan salam atau bahkan berkata sepatah katapun.

Taylor menghela napas. "Damn it, Ele. Kau sudah membuatku menunggu satu jam, sekarang kau memintaku menunggu lagi setengah jam? Itu juga belum termasuk hambatan-hambatan lainnya."

"Jangan marah, Swizzle. Ayolah. Kami sedang dalam perjalanan. Tunggu sebentar, okay?

Taylor memutar bola matanya mendengar nada memelas Eleanor. "Iya, Ele. Beritahu Lou untuk lebih cepat, okay? Jika tiga puluh menit dari sekarang kalian tak datang, aku pergi."

"Iya, Sayang. Sampai bertemu, Swizzle."

Suara Louis-lah yang terdengar sebelum panggilan berakhir. Taylor menjauhkan ponsel dari telinga dan meletakkan di atas meja lalu, melipat tangan di depan dada. Dia masih punya tiga puluh menit lagi untuk menunggu.

Pandangan Taylor beralih pada pintu masuk restoran yang memang sedari tadi banyak orang lalu lalang. Kali ini, yang memasuki restoran adalah seorang gadis membawa beberapa buku yang Taylor ketahui sebagai modul seperti miliknya saat masih berstatus sebagai mahasiswi.

Senyuman tipis muncul di bibir gadis itu. Tak terasa, ini sudah tahun ke-dua sejak kelulusan Taylor dari UCLA. Sekarang, Taylor bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah peruasahaan swasta atas rekomendasi dari kampus saat itu. Untungnya, perusahaan tempatnya bekerja tidak begitu mempertimbangkan latar belakang keluarganya.

Taylor sudah dapat merelakan fakta jika Ayahnya masih menjalani hukuman atas sesuatu yang Taylor masih yakini tak dia lakukan. Sebulan sekali, Taylor mengunjungi Scott dan setidaknya, Taylor bisa lega karena melihat Ayahnya baik-baik saja selama berada di sana.

Ini juga sudah empat tahun sejak terakhir kali Taylor melihat pemuda berambut keriting dengan iris hijau serta lesung pipi tatkala dia tersenyum atau tertawa.

Taylor memejamkan mata. Sudah empat tahun dan dia masih juga belum bertemu dengan pria yang banyak membantunya bangkit dari keterpurukan. Sudah empat tahun dan pria itu seperti hilang ditelan bumi. Tak banyak yang Taylor ketahui tentang Harry Styles saat ini selain pemuda itu tidak lagi berada di Los Angeles. Bahkan, Eleanor atau Louis yang notabene adalah sahabat karib Harry tak tahu keberadaan dan apa yang dilakukan pria tersebut.

Itulah dia. Harry Styles dan semua misteri yang ada dalam dirinya.

Taylor berusaha menghapus ingatan tentang Harry dalam pikirannya. Gadis itu kembali menatap pintu masuk restoran dan yang kali ini memasuki restoran adalah sepasang kekasih yang paling malas Taylor temui.

Zayn Malik dan Amanda Corwell.

Tatapan Taylor sempat bertemu dengan Zayn namun, buru-buru Taylor mengalihkan pandangannya dari pemuda yang dulu adalah sahabat dekatnya.

Kabar burung yang Taylor dengar, Zayn sekarang bekerja di perusahaan keluarganya, menggantikan sang Ayah yang mulai sakit-sakitan sementara, Amanda bekerja sebagai model. Tak heran sebenarnya. Gadis seperti Amanda memang hanya memiliki peluang pekerjaan yang memanfaatkan wajah dan bentuk tubuh mengingat nilai akademis gadis itu sangat buruk.

Zayn dan Amanda sudah bertunangan. Kabarnya lagi, mereka akan menikah musim semi tahun depan.

"Swift."

Taylor menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Tubuh gadis itu membeku mendapati Zayn dan Amanda yang berdiri di dekat mejanya. Sebisa mungkin, Taylor berusaha untuk bersikap ramah meski, hatinya dongkol melihat pasangan ini.

"Hai, Malik. Hai, Corwell." Sapa Taylor balik, tersenyum tipis.

"Sendiri saja?" Amanda bertanya. Tangannya melingkar mesra di lengan Zayn yang masih memasang wajah datarnya.

Taylor menggeleng. "Tidak. Aku menunggu temanku. Mereka sedang dalam perjalanan."

"Oh, baiklah. Aku dan Zayn ke meja kami, okay?"

Dengan itu, Amanda menarik Zayn melangkah menuju meja tempat mereka akan duduk. Meninggalkan Taylor sendiri lagi, mengumpat dalam hati dan berharap supaya Eleanor dan Louis segera datang.

Pintu restoran kembali terbuka dan kali ini, Taylor dapat bernapas lega melihat Eleanor dan Louis yang melangkah masuk sambil melambaikan tangan ke arahnya.

"Maafkan kami. Si bodoh ini lupa untuk mengecek mobilnya sebelum berangkat."

Eleanor langsung berkata, duduk di samping Taylor sementara Louis mengerucutkan bibirnya dan duduk berhadapan dengan Eleanor.

"Mana aku tahu jika mobilku akan mogok, Darling. Kau juga tak membantu sama sekali. Hanya mengomel dan mengomel."

Mata Eleanor menatap galak ke arah Louis dan Taylor memutar bola matanya.

"Kenapa kalian yang memarahi satu sama lain ketika yang seharusnya marah adalah aku?"

*****

"Aku tak tahu apapun! Sungguh, tentang semuanya. Aku tak tahu!"

Pria berusia awal empat puluhan itu berteriak sambil menatap bergantian hampir semua pria yang berada di sekelilingnya. Barisan para pria berseragam polisi. Pria yang tadi berteriak tengah duduk dengan posisi tubuh terikat pada kursi yang didudukinya. Wajahnya pucat berkeringat.

Salah seorang anggota melangkah mendekat dan membungkukkan tubuh sambil malas-malasan berkata, "Jafar, let's make it easy. Kau hanya perlu mengaku jika kau terlibat dalam organisasi Black Snake dan memberitahu di mana markas kalian. Dengan itu, mungkin hukumanmu nanti akan mendapat keringanan."

Pria yang dipanggil Jafar itu menyeringai dan menggeleng. "Kau bercanda? Jaksa menuntutku untuk dihukum mati dan kau akan membantu meringankan? Maksudmu hukumanku akan diganti menjadi hukuman penjara seumur hidup? Tidak, aku lebih memilih hukuman mati daripada harus dipenjara."

Si pria berseragam polisi itu menggeram kesal. "Terserah kau saja. Kita akan tahu apa yang terjadi tanpa harus memaksamu bicara."

Kemudian, pintu ruangan yang semula tertutup rapat itu terbuka. Dua orang pria dengan jaket hitam melangkah masuk. Yang memimpin adalah seorang pemuda berambut kecokelatan dengan mata yang terhalangi oleh kacamata lensa hitam yang dikenakannya.

"Selamat siang, Mr. Moses."

Si pemuda yang baru saja datang menyapa si polisi yang tadi mencoba memaksa Jafar untuk berbicara. Polisi yang dipanggil Moses itu tersenyum lebar dan menarik si pemuda agar langsung mendekati Jafar yang menatapnya tajam.

"Informasi darinya pasti sangat penting untuk FBI dan CIA melacak pergerakan Black Snake. Dia satu-satunya anggota yang tertangkap setelah kita mengadakan pencarian hampir satu tahun. Tapi dia tak kunjung buka suara."

Mendengar penjelasan Mr. Moses, si pemuda mengangguk dan menoleh ke pria lain yang tadi datang bersamanya. Pemuda itu mengisyaratkan agar temannya mendekat dan dia menurut sambil mengeluarkan pena serta catatan kecil dari saku jasnya.

"Aku akan mempermudah segalanya."

Si pemuda berambut kecokelatan itu tersenyum tipis sebelum meraih lengan Jafar, mencengkramnya kuat, tapi tidak menyakitkan untuk Jafar yang masih tak mengerti maksud pemuda itu. Sementara, Mr. Moses melangkah mundur dan menjadi penonton.

"Aku tak melakukan apapun. Hanya ingin bertanya beberapa pertanyaan. Kuharap kau menjawab semua dengan baik dan mempermudah semua ini." Si pemuda berambut kecokelatan menarik kursi kecil yang ada di sana dengan satu tangannya yang bebas kemudian, duduk di sana. Tangan yang satunya masih mencengkram lengan telanjang Jafar.

"Siapa nama aslimu?" Pemuda itu mulai bertanya dan Jafar menyeringai sebelum menggelengkan kepala, memilih untuk bungkam.

Seringai Jafar namun, memudar saat si pemuda dengan santainya berkata kepada temannya yang langsung membuat Jafar membeku.

"Jason Michael Farady."

Jafar menganga sebelum menggelengkan kepala. "A—apa?"

"Apa posisimu di Black Snake?"

Pertanyaan selanjutnya ditanyakan oleh si pemuda dan Jafar bungkam, masih memberikan tatapan syok-nya. Pemuda itu baru saja menyebutkan nama lengkap Jafar. Nama yang bahkan teman-teman sesama anggota Black Snake tidak ketahui. Jafar sudah lama tidak mendengar nama itu, lebih tepatnya sejak dia bergabung dengan Black Snake.

Si pemuda menghela napas dan menoleh kembali ke temannya yang mencatat, "Dia distributor langsung untuk The Angels Club dan Zync Club di Las Vegas dan..." Pemuda itu beralih menatap Jafar yang kali ini benar-benar menatapnya dengan tatapan bingung. "Jangan bingung, Jason. Aku sama sepertimu. Manusia." Pria itu terkekeh setelah mengucapkan kalimat tersebut.

"Di mana markas Black Snake?"

Pria itu kembali bertanya dan kali ini, Jafar menutup mata dan menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak, aku tak akan memberitahumu! Menjauh dariku!" Jafar meronta dan membuat si pemuda langsung melepaskan cengkraman tangannya dan bangkit berdiri.

Dia meraih pulpen buku catatan kecil dari teman dan segera menulis di sana dengan cepat sebelum berkata, "Aku akan langsung melapor sendiri untuk eksekusi selanjutnya." Temannya hanya dapat menganggukkan kepala.

Pemuda itu beralih kepada Mr. Moses sambil berkata, "Aku selesai. Akan segera menghubungi kantormu untuk meminta bantuan. Terima kasih."

Kemudian, dua pemuda itu melangkah menjauhi ruangan yang mendadak sepi.

Mr. Moses tersenyum penuh kemenangan sebelum berjalan mendekati Jafar dan menepuk bahunya. "Kau mengerti maksudku tadi, kan? Tanpa kau bicarapun, informasi akan tetap kami dapatkan darimu. Beberapa minggu lagi, teman-temanmu akan datang dan bergabung denganmu."

"A-apa?"

Mr. Moses beralih dari Jafar ke anak buahnya yang berada di ruangan terisolasi tersebut. "Seperti yang disampaikan oleh Ed tadi, siapkan pasukan terbaik. Tak lama lagi, kita akan mengeksekusi markas besar Black Snake."

"Kau bercanda? Kau bahkan tak tahu di mana markas kami!"

Mr. Moses tersenyum miring sebelum menjawab dengan bangga, "Kau bercanda? Ed bahkan sudah memiliki informasi lebih rinci yang semua berasal darimu."

"What the fuck?! Kau berharap terlalu banyak. Black Snake tak akan dengan mudahnya ketahuan." Jafar tertawa pura-pura sementara, Mr. Moses melipat tangan di depan dada.

"Let's see."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top