15 : I See You Again
Tak terasa, Ujian Akhir Semester akhirnya berakhir dan Taylor bisa menghabiskan waktu di apartment untuk belajar memasak. Setidaknya, itu yang memang menjadi rencana Taylor sejak awal jika waktu liburan tiba.
Taylor sudah men-download sangat banyak resep dan video tutorial masakan berbagai negara. Yang menjadi bahan percobaannya hari ini adalah masakan sederhana bernama omlet. Taylor sudah membeli bahan-bahan masakan kemarin, Harry yang menemaninya bahkan, Harry berniat untuk membayar semua belanjaan Taylor, tapi tentu saja Taylor menolak. Taylor baru saja mendapat honor atas tulisan barunya.
Membuat omlet itu mudah bagi sebagian orang, tapi tidak untuk Taylor. Gadis itu berjuang mati-matian untuk menggunakan bahan-bahan yang ada meski terkadang dia harus menyesal karena memilih bumbu dapur mentahan daripada bumbu masakan yang sudah jadi. Pasalnya, Taylor bahkan kesulitan membedakan mana yang dimaksud jahe, lengkuas, kunyit dan sebagainya.
Berkutat dengan pikiran, sibuk mencoba membedakan bumbu dapur itu, meski membuat omlet tidak menggunakan semuanya. Ya, dia menghabiskan tiga perempat waktu membuat omlet untuk mempelajari bumbu-bumbu dapur tersebut.
Omlet baru saja matang dan Taylor sajikan di atas meja satu-satunya yang ada di apartment-nya alias meja belajar, saat bel berbunyi. Taylor menyeka keringat di dahinya sebelum bergegas membukakan pintu yang tanpa ditebak pun Taylor tahu siapa.
"Harold!"
Taylor langsung menyapa ceria, bahkan pintu belum dibuka sempurna sementara, pria yang berdiri di depan pintu hanya dapat memutar bola mata. Harry melangkah memasuki apartment Taylor seperti memasuki apartment-nya sendiri sambil berkata, "Sudah kukatakan berulang kali, aku tak suka dipanggil Harold."
Wajah kesal Harry langsung berubah seketika mendapati omlet buatan Taylor yang tersaji di atas meja belajar gadis itu. Apartment Taylor memang kecil. Tapi itu memberi keuntungan tersendiri. Setidaknya tak banyak ruang untuk mencari ketika kita kehilangan sesuatu.
"Apa yang kau masak?" Harry bertanya dengan satu alis terangkat, menunjuk omlet di atas meja tersebut.
Taylor tersenyum lebar. "Menurutmu apa?"
"Terlihat seperti...tidak bukan. Bentuknya seperti...tidak juga."
Harry menggeleng-gelengkan kepala, berpikir. Bentuk masakan jenis apa itu? Memang tak terlihat seperti omlet. Taylor malah menjadikan omlet yang seharusnya berbentuk bagus itu menjadi tak berbentuk. Aneh untuk siapapun yang tak tahu jika itu omlet.
Sebelum Harry menjawab pertanyaannya, Taylor sudah menarik kursi dan mendorong Harry untuk duduk di kursi yang berada di dalam meja. Harry menatap Taylor dengan penuh tanda tanya.
"Itu omlet, bodoh! Aku baru saja selesai membuatnya. Kau beruntung karena masih hangat." Taylor melipat tangan di depan dada. Harry menahan tawa. Omlet? Dia serius?
Harry berusaha menormalkan wajah sambil mengambil garpu dan menyeringai kepada Taylor. "Jadi, aku akan menjadi orang pertama yang mencoba masakanmu? Ingin memberi jaminan apa jika tiba-tiba aku masuk rumah sakit?"
Taylor mengerucutkan bibir sebelum ikut meraih garpu. "Ya, sudah. Biar aku dulu yang mencobanya!"
Baru Taylor ingin menusuk omlet tersebut, Harry menggeser piring sambil menggelengkan kepala. "Tidak, Tay. Kau yang bilang, aku yang pertama mencoba. Jadi, aku dulu, baru kau, mengerti?"
Harry mulai menyendok omlet tanpa bentuk itu dengan garpu ketika Taylor lugunya berkata, "Aku butuh waktu hampir satu jam membedakan bumbu dapur. Aku belum yakin apa itu benar."
Gerakan Harry terhenti sejenak saat mendengar kejujuran Taylor sebelum terkekeh geli. "Baiklah, aku mengerti, Chef Swift."
"Kita bisa memesan pizza saja jika kau mau?" Taylor menawarkan dan Harry menggeleng.
"Coba yang satu ini dulu, baru pizza."
Kemudian, Taylor memejamkan mata ketika Harry mulai memasukkan omlet itu ke dalam mulut dan mengunyahnya perlahan seraya berusaha mempelajari rasa dari omlet tersebut. Harry terus mengunyah sampai habis dan tersenyum kepada Taylor yang masih memejamkan mata.
"Tidak buruk bagi seorang pemula."
Komentar Harry membuat Taylor membuka mata dengan heran. "Kau serius?" Harry mengangguk cepat.
Taylor berjalan mendekat dan menggunakan garpu Harry untuk mencoba omlet buatannya sendiri. Sama seperti Harry, Taylor butuh waktu untuk menerka rasa masakannya sendiri. Tak lama, senyuman juga muncul di bibir merah mudanya.
"Ah! Masakan pertamaku sukses! Yeah!"
Gadis itu melayangkan tinju ke udara sebelum lanjut memakan omlet buatannya sendiri sementara, Harry hanya dapat tersenyum menatap wajah bahagia Taylor.
Setelah menghabiskan omlet tersebut, Harry mengajak Taylor pergi ke luar. Tidak jauh, hanya berjalan di sepanjang trotoar. Melewati kampus mereka yang memang letaknya tak jauh dari apartment Taylor sebelum berhenti tepat di sebuah taman yang ramai oleh anak kecil yang tengah bermain perosotan, ayunan dan sebagainya.
"Hei,"
Taylor menyenggol bahu Harry, membuat pemuda itu menoleh dengan alis yang terangkat tanpa mengucapkan apapun. Taylor mengerucutkan bibirnya tak puas dengan ekspresi Harry.
"Kau lebih banyak diam hari ini. Jangan katakan kau menyesal datang ke apartment-ku."
Harry terkekeh geli sebelum merangkul Taylor sambil berkata, "Aku tak pernah menyesal saat punya waktu bersamamu. Semuanya patut untuk disyukuri."
Kenapa dia tiba-tiba saja merangkulku?
Pikiran Taylor yang mengalir begitu saja dalam pikiran Harry membuat pemuda itu buru-buru menjauhkan tangannya dari tubuh gadis itu. Tangan Harry hanya menyentuh sedikit lengan gadis itu dan pikiran itu langsung muncul dalam benaknya.
Harry menggeleng-gelengkan kepala. Tidak, aku tak boleh membuatnya risih dengan sikapku. Aku harus membuatnya nyaman dan tenang. Harry berkata kepada dirinya sendiri dalam hati.
"Maaf."
Taylor hanya tersenyum dan melanjutkan langkah kakinya. Harry mengikuti ke mana gadis itu melangkah hingga akhirnya, terhenti di antrian orang yang ingin membeli sosis bakar.
"Mau sosis bakar?"
Harry menggeleng singkat. "Tidak, kau saja."
Taylor mengangguk. "Aku akan mengantri. Kau tunggu di bangku itu saja, okay?"
Harry mengikuti arah telunjuk Taylor yang menunjuk ke bangku panjang kayu berwarna cokelat. Letaknya tak jauh dari gerobak penjual sosis bakar dan tepat berada di bawah lampu taman. Harry berjalan mendekati bangku itu dan duduk di sana. Matanya menatap fokus sosok gadis berambut pirang yang ikut mengantri bersama beberapa anak kecil hanya untuk mendapatkan sosis bakar.
Lima belas menit kemudian, Taylor menghampiri Harry dengan membawa dua tusuk sosis bakar. Sambil memakan yang satunya, Taylor menyodorkan salah satu sosis yang masih belum tersentuh olehnya kepada Harry.
"Bukankah kubilang aku tak ingin sosis itu?" Harry menghela napas, meraih sosis dan menatap Taylor heran.
Taylor menggeleng dengan mulut penuh sebelum duduk di samping Harry. "Sekali-kali, aku yang mentraktirmu. Walaupun hanya sosis bakar." Gadis itu tersenyum lebar dan kembali memakan sosis bakar miliknya.
Harry tersenyum lalu, mulai memakan sosis yang Taylor belikan untuknya. Sosis itu habis dengan cepat oleh masing-masing. Setelah itu, hening kembali menemani sebelum akhirnya, Harry memberanikan diri untuk memecah keheningan.
"Sebenarnya, aku menemuimu untuk menyampaikan banyak hal kepadamu."
Harry menatap Taylor yang duduk di sampingnya. Taylor menghela napas dan balik menatap pemuda itu.
"Apa?"
Senyuman muncul di bibir pemuda itu. Tangannya bergerak dan berhenti puncak kepala Taylor. Kali ini, Taylor diam saat Harry memainkan tangannya di rambut Taylor sambil berbicara, "Kau harus lebih sering keramas, Taylor."
Wajah Taylor berubah datar. Tangannya bergerak menepis tangan Harry dari kepalanya sementar, Harry tertawa kecil dan lanjut berkata, "Jangan lupa untuk makan. Minimal tiga kali sehari. Jangan terlalu sering makan makanan instan."
"Makanan instan itu enak, tahu!" Protes Taylor dan Harry menggeleng.
"Tetap saja, Taylor. Yang namanya makanan instan, belum terjamin gizinya. Kau harus banyak makanan yang bergizi supaya tubuhmu tak ceking seperti sekarang."
Harry terkekeh saat Taylor memukul lengannya, menunjukkan sikap tak terimanya pada perkataan Harry. "Aku tidak ceking!"
"Terserah kau saja, Taylor, tapi kau benar-benar harus lebih banyak makan. Tingkatkan kemampuan memasakmu. Dengan begitu, kau bisa menghemat biaya makanmu dan makan masakan hasil sendiri jauh lebih baik daripada memakan masakan orang lain di luar sana."
Raut Taylor berubah lagi. Gadis itu tiba-tiba saja berubah murung dan Harry menahan napas. Belum sempat Harry bertanya tentang alasan perubahan raut itu, Taylor sudah berkata pelan namun, cukup jelas terdengar oleh Harry.
"Kau akan pergi, ya?"
Hening sesaat. Harry memejamkan mata dan menunduk singkat sebelum tersenyum dan kembali menggerakkan tangannya mengacak-acak rambut Taylor yang hanya memilih untuk diam.
"Jika ada yang membully-mu lagi, jangan takut untuk melawan, Taylor. Jangan biarkan celotehan orang lain menahanmu untuk mendapat apa yang kau inginkan. Tunjukkan jika kau jauh lebih baik daripada mereka yang suka menjatuhkanmu."
Taylor menundukkan kepala dan Harry lagi-lagi diam sejenak sambil menjauhkan tangannya dari puncak kepala Taylor.
"Louis dan Eleanor sudah resmi menjadi temanmu juga. Aku sudah memberitahu alamat apartment dan kampus kepada mereka jadi, jangan heran jika sewaktu-waktu mereka akan datang apartment dan kampus." Lanjut Harry.
Harry ikut menundukkan kepala. Sekarang keraguan itu kembali muncul. Haruskah dia pergi atau bertahan?
"Taylor, jika kau seperti ini, aku jadi tak teg—,"
Harry tak melanjutkan kalimatnya dan melotot ketika merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirnya. Tubuh Harry melemas seketika meskipun, Taylor menciumnya sangat singkat. Tapi efeknya sangat luar biasa.
Taylor tersenyum tipis dan menggerakkan tangannya, mengelus pipi Harry sambil berkata tulus, "Do your best there, Harry and I will do my best here. Until I see you again."
Butuh beberapa detik sebelum Harry kembali ke dunia nyata dan memahami maksud perkataan Taylor.
Harry menarik napas dan balas tersenyum, menggenggam tangan Taylor yang tadi mengelus pipinya.
"Until I see you again, Taylor."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top