12 : Special

"Hei, Dad. Bagaimana kabarmu?"

Taylor bertanya pelan kepada sang ayah yang terlihat gusar dan benar-benar menghindari tatap mata dengan Taylor. Miris melihatnya. Dulu, yang mengajarkan Taylor untuk terus ceria dan bersemangat tiap saat adalah sang ayah, Scott. Tapi Scott yang ada di hadapannya saat ini jelas sangat berbeda.

Gadis itu menghela napas dan menundukkan kepala. Hening sesaat dan Scott memilih untuk bungkam sedari tadi. Bahkan saat petugas lapas memberitahu jika Taylor ingin mengunjungi Scott, pria itu malah menolak dan meminta si petugas memerintahkan Taylor untuk pulang. Taylor kekeuh menemui sang ayah.

"Hari ini tepat ulangtahun ke 42 Mom. Aku tak bisa pergi ke makamnya jadi, aku memutuskan untuk merayakan ulangtahun Mom di sini, bersamamu." Taylor mengangkat wajah. Hatinya sakit melihat Scott yang memburuk.

"Dad? Kau mendengarku, kan? Kita tak punya waktu banyak. Mereka hanya memberiku izin sepuluh menit untuk menemuimu. Itupun dengan kaca ini sebagai pembatas." Taylor menyentuh kaca yang memang menjadi pembatas antara dia dan Scott saat ini.

Perlahan, Scott mengangkat wajah dan hati Taylor mencelos. Matanya berair dan bibirnya bergetar. Tak butuh waktu lama, tangis Scott sudah pecah dan entah kenapa, Taylor juga ikut menangis.

"Aku menyesal tak bertemu dan mengantar Andrea ke peristirahatan terakhirnya." Scott berkata sesenggukkan. "Aku sudah berjanji padanya untuk membuktikan jika aku tak bersalah. Aku sudah berjanji padanya untuk...aku tak tahu lagi harus bagaimana."

Seandainya tak ada kaca sialan ini, mungkin Taylor sudah berhambur untuk menyeka air mata sang ayah lalu, memeluknya erat. Tapi jangankan memeluk, ruang gerak mereka terbatas.

Perlahan, Scott menyeka air mata dan tertawa dipaksakan kepada Taylor. "Bagaimana hidupmu? Bagaimana kuliahmu? Apa kau bisa tidur dengan nyaman? Apa kau makan dengan teratur?"

Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Taylor terkekeh seraya menyeka air matanya. Taylor tersenyum tipis dan menjawab, "Semua berjalan dengan baik, Dad. Aku mencoba peruntungan di bidang menulis. Aku mengirimkan beberapa cerita pendek atau puisi ke majalah. Setidaknya, itu yang bisa kulakukan untuk bertahan hidup."

Scott tersenyum tipis. "Kau terlihat buruk. Bagaimana jika kau makan lebih banyak dan juga istirahat saja? Tubuhmu juga semakin kurus. Andrea pasti akan kesal jika tahu anaknya melupakan jadwal makannya."

Taylor mengerucutkan bibirnya. "Ah, aku tahu. Mom akan menjadi orang pertama yang marah saat aku tak makan. Andai saja dia ma—," Taylor tak melanjutkan ucapannya dan menundukkan kepala. Tangisannya lagi-lagi pecah begitu saja mengingat sang Ibu.

*****

Setelah seminggu penuh dengan kegiatan dalam rangka ulangtahun kampus, akhirnya hari ini kegiatan kembali ke semula. Taylor seperti biasa datang lebih awal dari yang lain, meski sangat jarang dia bisa lebih awal dari seorang Harry Styles.

Taylor tahu Harry selalu datang lebih awal darinya. Tapi Harry tak langsung pergi melakukan absensi. Dia akan melakukan absensi atau mengambil jadwal setelah Taylor. Kemudian, mereka berbincang singkat sambil berjalan ke kelas sebelum akhirnya berpisah jika kelas mereka berbeda.

Hari ini, Taylor beruntung karena dia satu kelas dengan Harry. Setidaknya, Taylor masih memiliki satu orang teman, yaitu: Harry dan kehadiran Harry benar-benar merubah segalanya. Sadar atau tidak, baru seminggu mereka lebih dekat, sekarang Taylor tak ragu lagi menceritakan semua rahasianya kepada Harry.

"Cerita pendek pertamaku akan diterbitkan di koran terbaru! Kau harus membacanya, okay?" Taylor berkata penuh semangat saat Harry hanya tersenyum tipis kepadanya.

Harry terus melanjutkan langkah dengan Taylor di sampingnya. "Jadi, karena cerita pendek itu kau menolak untuk ke luar malam bersamaku? Padahal, seharusnya kita berada di taman bermain sampai malam. Justru puncaknya adalah malam hari."

Taylor memutar bola matanya. "Gara-gara kau! Aku benar-benar mual dan pusing! Jika aku menuruti kemauanmu untuk berada di sana sampai malam, mungkin sekarang aku berada di rumah sakit, bukan di sini! Istirahatku berkurang karena kau selalu mengajakku ke luar."

Harry terkekeh geli mendengar perkataan Taylor. Keduanya sampai di depan pintu kelas Bahasa Prancis mereka dan Harry langsung bergerak cepat membukakan pintu ruangan untuk Taylor. Sebenarnya, jika orang lain yang melihat perlakuan manis Harry kepada Taylor pasti akan mengira jika keduanya berpacaran. Walau fakta mengatakan tidak—atau belum?

"Harusnya kau senang diajak ke luar olehku. Sangat jarang aku pergi ke luar bersama teman." Harry berkata sambil meletakkan tasnya di atas meja terdepan kedua yang sejajar dengan meja dosen.

Taylor duduk di bangku paling depan dan menghadap dosen, tepat depan Harry. "Dulu kau tak punya teman."

Bibir Harry mengerucut mendengarkan perkataan Taylor. "Aku punya teman, sweetheart. Tapi mereka tak kuliah di sini. Eh, mereka bahkan sudah lulus dan bekerja. Mau kukenalkan pada mereka?"

Taylor memutar bangkunya menghadap Harry sambil menggelengkan kepala. "Tidak, terima kasih."

"Baiklah. Kalau begitu, bagaimana jika setelah kelas terakhirmu? Aku akan menghubungi mereka untuk pertemu di Sandy's. Jadi, kau bisa berkenalan dengan mereka yang bisa hadir. Mereka sangat sibuk." Harry menaik-turunkan alisnya.

"Apa kau tuli atau apa? Aku bilang, aku tak mau bertemu dengan teman-temanmu!"

"Nah, kau tahu aku, Swift. Aku tak menerima penolakan."

Setelah itu, Harry menyantolkan lagi earphone di telinganya sambil mulai memainkan lagu-lagu kesukaannya di iPod. Taylor mendengus kesal merasa tak berdaya jika harus berhadapan dengan pria sekeras kepala Harry.

*****

Kelas terakhir Taylor selesai pukul dua siang. Gadis itu harus menunggu di kelas sampai seisi kelas pergi meninggalkannya seakan-akan dia tak pernah ada di sana. Padahal dulu, Taylor terkenal dan akan selalu disapa terlebih dahulu oleh yang lain. Sekarang, sangat terlihat jelas mana yang teman sejati, begitupun sebaliknya.

Taylor menghela napas dan baru mulai merapihkan peralatannya di atas meja saat mahasiswa terakhir ke luar dan kali ini, benar-benar meninggalkannya sendirian. Dulu, Taylor tak pernah merasa nyaman jika harus sendirian. Tapi sekarang, dia justru lebih memilih sendiri.

"Swift!"

Taylor buru-buru menoleh saat namanya dipanggil tersebut. Harry Styles tengah tersenyum lebar kepadanya, berdiri di pintu dengan tangan yang dimasukkan ke saku hoodie merah yang dikenakannya.

"Apa?" Taylor bertanya jutek.

"Let's go!" Harry menggerakkan tangan, memberi aba-aba supaya Taylor ikut dengannya.

Jangan tanyakan kenapa Taylor menuruti perintah pemuda itu karena dia sendiripun tak tahu.

Sesampainya di halaman parkir, barulah Taylor menyadari apa maksud Harry.

"Hei, apa-apaan?! Kenapa aku harus ikut denganmu?"

Harry menghela napas sebelum mengenakan helm-nya. "Kita ambil helm di apartment-mu kemudian, pergi menemui temanku. Maaf, yang punya waktu luang sore ini hanya satu orang."

Taylor mengernyit. "Kapan aku mengiyakan ajakanmu? Aku sibuk dan harus menyelesaikan cerita pendek yang akan kukirim ke majalah."

"Bukankah sudah kukatakan? Aku tak menerima penolakan. Cepat naik, sweetheart."

*****

Sesekali, Taylor melirik Harry dan juga teman baiknya yang sudah memperkenalkan diri sebagai Liam Payne yang tampak mengobrol sangat akrab dengan Harry. Sudah tiga puluh menit mereka berada di restoran ini dan Liam masih belum selesai dengan cerita hal yang sejujurnya tak Taylor mengerti.

Tapi percakapan Liam dan Harry yang sama sekali tak melibatkannya benar-benar membuat Taylor jenuh dan sedikit merasa kesal.

"Bagaimana dengan Hawaii? Kita harus mempertimbangkan pergi ke sana lagi."

Suara Harry terdengar di telinga Taylor, tapi Taylor mengabaikannya. Permainan Subway Surf yang Taylor mainkan sambil menunggu Harry dan Liam melibatkannya dalam percakapan mereka secara perlahan malah membuat Taylor tambah bosan.

"Bagaimana jika kau ikut, Swift? Hawaii. Kau suka pantai?"

Taylor buru-buru mengalihkan pandangannya ke Harry yang saat ini menatapnya dengan satu alis terangkat.

"A-apa?" Taylor bertanya gugup, sejujurnya dia tak mengikuti percakapan Harry dan Liam.

Harry memutar bola mata dan meraih paksa ponsel Taylor. Harry mengeluarkan permainan yang tadi Taylor matikan sebelum memasukkan ponsel gadis itu ke dalam saku celananya.

"Tidak sopan memainkan ponsel di saat kita sedang berdiskusi." Harry berkata datar dan Taylor mendengus kesal. Harry tersenyum tipis. Dia selalu ingin tertawa melihat Taylor yang mengambek. Gemas. Sangat menggemaskan.

Berhubung Liam ada di hadapannya saat ini, Harry menahan diri untuk tak mencubit pipi gadis itu lalu, mengacak-acak rambut pirangnya.

"Kau ingin pergi ke Hawaii dengan kami, Taylor?"

Ini kali pertama Liam membuka percakapan dengan Taylor. Sedari tadi, pemuda itu hanya berbicara dengan Harry dan bersikap seakan Taylor tidak pernah berada di sana.

Taylor menggeleng. "Tidak, terima kasih."

Liam tersenyum sinis. "Baguslah. Aku juga tak yakin gadis baik-baik sepertimu mau ikut dengan kami."

Perkataan Liam seakan menohok hati Taylor. Bagaimana bisa Liam berkata seperti itu? Ditambah dengan tatapan tidak sukanya kepada Taylor.

Tubuh Taylor yang semula bergetar menahan amarah tiba-tiba merasa lebih tenang ketika Taylor mendapati sebuah tangan menggengam erat tangannya yang sedari tadi dia letakkan di atas paha.

"Nah, aku juga tak ingin pergi, Liam. Jadwal kuliahku sangat padat."

Taylor menoleh, menatap Harry yang menatap santai ke arah Liam yang kini memasang wajah kecewa.

"Tipe gadismu sangat turun drastis. Kupikir, semua orang juga dapat melihat jika Nadine jauh lebih baik dari segi apapun."

Taylor tambah mencelos. Apa Liam tak pernah belajar untuk menghargai perasaan orang lain? Dia benar-benar berkata seakan-akan tak ada orang yang dibicarakan di sekitarnya.

"Kupikir, kita sudah selesai berbicara sekarang. Aku harus pergi. Sampai jumpa lagi, Liam."

Harry melepaskan genggaman tangannya pada Taylor dan bangkit berdiri dari kursi. Harry menyentuh bahu Taylor seperti memberi isyarat agar gadis itu mengikutinya. Setelah itu, keduanya melangkah menuju halaman parkir tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada satu sama lain.

Sesampainya di halaman parkir, barulah Harry berbicara kepada Taylor.

"Maaf. Liam sepertinya sedang dalam mood yang tak baik sehingga dia berkata seperti itu."

Taylor berpikir sejenak sebelum mengangguk dan tersenyum tipis. "Tak apa. Lagipula, mungkin saja apa yang dikatakan Liam benar. Aku juga tak punya alasan untuk marah."

Harry diam sejenak sebelum mengambil helm Taylor dan membantu mengenakan di kepala gadis itu sambil berkata, "Dia hanya tidak tahu seberapa spesial dirimu di hadapan orang-orang yang mengenalmu."

"Benarkah?" Taylor bertanya setelah Harry selesai membantunya mengenakan helm.

Harry mengangguk dan tersenyum tipis. "Tentu saja."

"Orang-orang yang mengenalku? Termasuk kau?" Taylor bertanya lagi, memasang wajah polos yang setengah mati membuat Harry harus menahan tawa.

Harry meraih helmnya dan mengenakan helm itu tanpa menjawab pertanyaan Taylor. Harry langsung naik ke motor dan memberi aba-aba agar Taylor segera naik ke motor. Taylor menurut. Harry segera melajukan motornya menjauhi halaman parkir restoran tersebut.

Namun sebelumnya, Harry sempat berkata pelan kepada Taylor yang langsung membuat jantung gadis itu berdebar lebih cepat dari biasanya.

"Ya, termasuk aku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top