09 : Strangers
Faktanya perlombaan antar fakultas per angkatan masih berlanjut hingga empat hari ke depan dan jika tahu hal itu sejak awal, Taylor tak perlu datang pagi ke kampus dengan niat sampai di kelas sebelum mendapati tatapan sinis para mahasiswa kepadanya. Sekarang, setelah diberi informasi oleh petugas tata usaha, gadis itu hanya duduk di bangku besi panjang di depan ruang tata usaha sampai dia merasakan kehadiran seseorang di sampingnya.
Taylor menoleh dan mendapati Harry yang duduk di sampingnya. Aroma tubuh Harry menguar dan Taylor tak dapat mengelak jika Harry punya selera bagus dalam memilih cologne. Di tambah lagi, hanya dengan kaus putih dan celana jeans. Sederhana, tapi tak dapat dipungkiri jika pemuda ini tampan.
"Kenapa terus memperhatikanku? Baru sadar jika aku tampan?"
Taylor tersadar dari lamunannya saat pria yang dilamunkannya itu berkata ketus. Taylor memutar bola matanya dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Ke taman kecil kampus yang hanya terdiri dari warna hijaunya daun dan cokelatnya batang.
"Apa kau punya cermin, Styles? Kau membutuhkannya untuk berkaca."
"Aku punya dan sudah berkaca berulang kali makanya, aku sangat percaya diri mengatakan bahwa aku tampan."
Taylor menatap pemuda itu dengan alis bertautan ketika Harry hanya tersenyum lebar kepadanya, menampilkan lesung di pipinya. Okay. It's funny when a man can be as cool, as hot, as handsome and as cute as him. Sempurna.
Harry terkekeh mendapati ekspresi Taylor yang menunjukkan jika gadis itu protes akan ucapan percaya diri Harry.
"Aku berpikir untuk pergi ke suatu tempat lagi. Mau ikut?" Harry mengajak dan Taylor menggeleng sebelum menundukkan kepala dan memejamkan mata.
Harry menahan napas. "Kau baik-baik saja?"
Taylor mengangguk. "Aku baik. Aku harus ke pengadilan hari ini. Sidang terakhir Dad sebelum hakim mengetuk palu." Taylor mengangkat wajah dan iris birunya menatap iris hijau Harry lekat.
Taylor diam cukup lama dan kembali melanjutkan, "Pengacara Dad menghubungiku semalam. Dia bilang, dia tak dapat berbuat banyak. Bukti-bukti yang menunjukkan jika Dad memang bersalah sangat banyak dan si Pengacara tak dapat menemukan banyak bukti jika Dad tidak bersalah."
Gadis itu memejamkan mata. "Jaksa menuntut untuk penjara selama lima belas tahun." Taylor membungkuk dan menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. "Kenapa masalah di keluargaku tak kunjung berakhir?"
Tangan Harry refleks bergerak, menarik Taylor mendekat hingga kepalanya bersandar di bahu Harry. Harry mengelus pundak gadis itu ketika Taylor menangis menyembunyikan wajah di pundak Harry.
*****
Kecemasan Taylor benar-benar terjadi. Sidang keputusan baru saja berakhir dan hakim menjatuhi hukuman untuk Scott Swift selama sepuluh tahun penjara dan denda sebanyak satu juta dolar. Lebih ringan lima tahun dari tuntutan jaksa. Tapi tetap saja itu membuat Taylor kecewa. Taylor masih percaya jika ayahnya mana mungkin melakukan hal tersebut. Tapi apa boleh buat? Tak ada yang dapat Taylor lakukan ditambah lagi, Scott juga sudah sangat pasrah dan seperti tak peduli lagi dengan hukuman yang harus dijalaninya.
Harry Styles hanya dapat diam menatap Taylor yang duduk bersandar pada dinding lorong pengadilan yang tampak sudah sepi. Gadis itu duduk dan menangis keras, menutup wajah dengan telapak tangannya. Dia terus saja menangis dan Harry tak dapat berbuat banyak. Mungkin, setelah ini gadis itu bisa lebih tenang. Untuk sekarang, biarkan saja dia menangis meluapkan segalanya.
Lima belas menit kemudian, suara tangisan Taylor mereda. Dia masih terisak dan perlahan menjauhkan tangan yang semula menutupi wajahnya tersebut.
"Sudah selesai menangisnya?" tanya Harry seraya melangkah mendekat dan berjongkok, menyamai tinggi dengan Taylor yang masih duduk.
Taylor menatap Harry sekilas sebelum menyeka air mata dari pelupuk matanya. Wajahnya terlihat lembab dan matanya terlihat sembab. Harry bersamanya sejak sidang dimulai sampai sidang selesai dan memang inilah akhirnya. Harry tahu sejak sidang dimulai, gadis ini menahan diri untuk menangis.
"Apa kau melihatnya tadi? Paman Yaser datang, tapi malah memberi pernyataan palsu yang memberatkan Dad!" Taylor berkata keras dan Harry diam. Mata Taylor masih berair. Gadis itu menundukkan kepala dan kembali menangis sambil berkata, "Maafkan aku."
Harry tersenyum dan menggerakkan satu tangannya, mengelus lembut rambut pirang Taylor yang masih menangis sambil berkata, "Sudahlah. Mungkin dia tak akan mendapat balasan sekarang, kita lihat apa yang terjadi nanti."
"Sekarang aku tahu apa alasan Zayn menjauhiku. Karena dia dan keluarganya memang...memang sudah sejak awal berniat untuk menjatuhkan keluargaku. Aku..aku pikir kami bersahabat. Keluarganya sudah seperti keluargaku sendiri."
Lagi, Harry hanya diam dan mendengar tangis gadis itu, entah sampai kapan dia akan menangis. Setidaknya, Harry akan terus di sampingnya sampai dia merasa lebih baik.
*****
Hari ini terasa berlalu sangat lama sekali, itulah yang seorang Taylor Swift rasakan. Dia harus terjebak di dalam kelas, menunggu perlombaan selesai untuk menghindari kerumunan orang. Salahnya sendiri datang terlambat dan menyebabkan dia harus terjebak sebelum sempat ke luar karena pintu gerbang kampus sudah dijaga oleh beberapa petugas untuk melarang siapapun yang sudah masuk ke luar begitu saja.
Sorakan-sorakan mahasiswa-mahasiswi di luar sana terdengar sangat keras dan mengganggu pendengaran Taylor. Sepertinya sekarang sedang masuk pertandingan semi-final futsal atau apapun itu, Taylor tak pernah peduli dan yang diinginkannya saat ini adalah ke luar dari kampus.
Taylor tak mendapati Harry di manapun. Harry pasti datang seperti biasa dan langsung pergi tanpa menunggu Taylor. Lagipula, kenapa Harry harus menunggunya? Toh, Taylor sudah banyak merepotkan pemuda berambut kecokelatan itu.
Tapi tingkah Harry belakangan ini memang sangat berubah drastis. Dalam waktu sekejap, dia berubah menjadi pria paling pengertian dan baik. Tidak menjengkelkan seperti dulu.
Taylor berniat untuk lanjut membaca novel yang dia pinjam dari perpustakaan saat pintu ruangan terbuka dan dia hanya terdiam mendapati seseorang yang sangat tak ingin dilihatnya, memasuki ruangan sambil menatapnya lekat.
Zayn Malik melangkah mendekati Taylor dan Taylor berusaha untuk tak peduli. Taylor membuka asal novel dan membacanya. Sebisa apapun, dia sedang tak ingin berhubungan dengan pemuda yang dulu dianggap sahabat olehnya.
"Taylor, aku ingin bicara." Suara berat Zayn terdengar dan Taylor hanya diam, berusaha mengabaikan.
Zayn memejamkan mata dan menundukkan kepala. "Aku minta maaf soal...ayahmu. Sungguh, aku tak tahu tentang kasus itu dan aku tak mengerti dengan maksud kehadiran Dad di sana."
Taylor tak bergeming dari bukunya dan Zayn mulai frustasi. "Aku menjauhimu karena kupikir kau tidak membutuhkan aku lagi. Kau mengabaikan panggilanku dan pergi sebulan menjauh tanpa mengabariku sama sekali. Kau tak tahu jika aku sangat mencemaskanmu."
Mendengar ucapan Zayn, Taylor menutup buku yang dia baca dan menatap pemuda itu dengan alis bertautan. "Apa aku mengenalmu? Jika kau sudah selesai, bisa tolong pergi? Aku sedang tak ingin diganggu."
Zayn menggeleng. "Taylor, dengarkan aku. Aku sama—,"
"Jika kau tak pergi, biar aku yang pergi."
Kemudian, Taylor meraih tas dan novelnya cepat. Gadis itu melangkah meninggalkan kelas sementara, Zayn hanya diam tak berkutik. Zayn mengumpat berulang kali sebelum berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan.
Baru melangkah melewati pintu, seseorang sudah menahan bahu Zayn dan membuat pemuda itu berhenti melangkah. Zayn berbalik dan mendapati Harry Styles yang kini berhadapan dengannya.
"Apa yang kau inginkan?" Zayn bertanya seraya menyingkirkan tangan Harry darinya.
Harry mengernyit dan tersenyum kepada pemuda berwajah Asia-Eropa tersebut. "Jangan menatapku sinis seperti itu, Malik. Aku hanya ingin—well, menjalin hubungan baik denganmu. Seperti berteman?"
Zayn berdecak. "Kau bercanda? Minggirlah. Aku harus pergi."
Zayn mencoba melangkah melewati Harry dan kali ini, Harry menahan lengan telanjang pemuda yang mengenakan kaus hitam tersebut. Harry menahan napas ketika Zayn menatapnya tajam sebelum mengelak tangan Harry dari lengannya.
"Jauhkan tanganmu dariku, Styles!"
Harry terkekeh dan mengangguk. "Tenang. Sudah selesai dan yeah, semoga harimu menyenangkan, Mama & Papa's boy." Harry menepuk bahu Zayn yang menatapnya bingung.
"Kau tahu, memang menuruti orangtua itu sesuatu yang harus bagi seorang anak, tapi kau juga harus memilah perintah, Malik. Jika orangtuamu memintamu untuk bunuh diri, kau akan melakukannya?" Harry tersenyum sinis, "Sampai jumpa lagi, Malik."
Kemudian, kini Harry yang melangkah menjauhi Zayn yang tiba-tiba membeku mendengar perkataan Harry. Zayn menoleh dan menatap punggung pria yang tak disukainya itu dengan penuh tanda tanya.
Sedangkan, Harry hanya melangkah begitu saja, masih mengingat jelas apa yang ada di pikiran pria berdarah Pakistan-Inggris tadi.
Aku sangat menyesal, Taylor. Orangtuaku mendesak agar aku menjauhimu dan kau tahu aku tak punya pilihan selain menuruti mereka. Aku sangat menyesal dan aku masih tak percaya dengan pernyataan Dad di persidangan kemarin. Maafkan aku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top