07 : Because of You
"Selamat pagi. Aku ingin mengambil jad—,"
"Pagi, Swift. Apa kau tak melihat papan pengumuman? Hari ini tak ada kelas. Ulangtahun kampus jadi, kampus mengadakan berbagai lomba untuk semua fakultas per angkatan." Belum sempat Taylor menyelesaikan omongannya, si petugas tata usaha sudah menjawab tanpa menoleh sedikitpun.
Taylor mengerucutkan bibir. "Kalau begitu, kenapa aku datang? Aku tak ikut lomba sama sekali."
"Bukankah rektor sudah memberitahumu? Absensi merupakan sesuatu yang sangat penting dan kau sudah mengambil libur terlalu banyak kemarin." Si petugas menjawab, tanpa mau menoleh.
Taylor menghela napas. "Baiklah. Terima kasih atas informasinya. Aku permisi."
Gadis itu melangkah pergi meninggalkan ruangan tata usaha. Taylor diam sejenak di depan pintu ruangan tata usaha sampai suara derap kaki terdengar dan langsung membuatnya menoleh ke sumber suara.
Biru kembali bertemu hijau.
Tak usah ditanya lagi, siapa yang tengah ditatap oleh Taylor saat ini. Pemuda itu memasang wajah datar dan mengalihkan pandangannya dari Taylor sebelum kembali melangkah mendekati ruangan tata usaha yang tengah Taylor belakangi.
Tangan Harry baru saja menyentuh knop ketika Taylor berkata cukup keras dan dapat didengar Harry dengan baik, "Tak ada kelas hari ini. Ulangtahun kampus. Lompa antar fakultas per angkatan."
Senyuman muncul di bibir Harry mendengar Taylor yang berbicara terlebih dahulu padanya. Harry mengurungkan niat untuk membuka pintu dan melangkah mendekati Taylor. Taylor menahan napas dan menghadap pemuda itu.
"Apa moodmu sudah jauh lebih baik dari kemarin?" tanya Harry.
Taylor tersenyum tipis. "Apa ucapanku terlalu berlebihan kemarin?"
Harry menggeleng. "Tidak juga. Lagipula, kau mengucapkan sesuatu yang benar. Jadi, kenapa harus menyesalinya?"
Gadis berambut pirang itu melangkah mendekati Harry dan menepuk bahu pemuda itu beberapa kali. "Aku salah. Kau temanku. Kau sudah kuanggap sebagai temanku sekarang."
"Aku temanmu karena kau tak punya pilihan lain? Yang masih mau berbicara denganmu hanya aku dan aku juga tak mengerti kenapa aku masih berbicara denganmu."
Harry menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal saat Taylor terkekeh geli.
"Apa kau ikut lomba nanti?" Taylor bertanya tiba-tiba.
Harry menggeleng. "Tak berminat. Aku ingin pergi dari kampus dan bersenang-senang di luar. Yang penting, aku sudah mengisi daftar hadirku." Pemuda itu nyengir kuda.
"Ke mana?"
"Jangan berbasa-basi, Swift. Bilang saja kau ingin ikut denganku."
Taylor tertawa dan menganggukkan kepala. "Baru kali ini aku bertemu pria yang cepat peka sepertimu."
Harry ikut tertawa dibuatnya.
"Kalau begitu ayo pergi! Belum banyak orang yang datang dan kita sudah absen." Harry langsung mengajak dan Taylor mengangguk setuju.
Harry melangkah di depan menuju ke halaman parkir tempat motornya berada. Taylor cukup terkejut saat tahu jika Harry pergi ke kampus menaiki motor. Taylor pikir, pemuda seperti Harry mana mungkin mau berlama-lama menaiki motor.
Taylor memperhatikan Harry yang langsung mengenakan helm yang disangkutkan di kaca spion motor ninja merahnya. Gadis itu melipat tangan di depan dada.
"Kau meletakkan helmmu begitu saja di sini? Bukankah di dekat pos keamanan ada rak penitipan helm?" Taylor mengernyit dan Harry yang baru selesai mengenakan helm, membuka kaca helm sambil nyengir lebar.
"Mana berani ada yang mencuri helm seorang Harry Styles. Lagipula, jikapun dicuri, aku bisa membeli lagi. Aku orang yang cukup berada."
Taylor terkekeh mendengar candaan Harry meski mengandung fakta. Harry naik ke motornya dan langsung menyalakan mesin motornya. Pemuda itu memutar bola mata saat Taylor hanya menatapnya dengan senyuman bodoh di bibirnya.
"Kau jadi ikut denganku tidak?" tanya Harry.
"Ke mana?"
"Kenapa kau banyak tanya? Kau kan yang ingin ikut. Jadi, kau hanya perlu menurutiku." Harry menjawab santai.
Taylor menghela napas dan mengangguk. "Baiklah. Aku ikut denganmu karena aku tak mau berlama-lama di sini. Aku akan meminjam helm di pos—,"
Taylor baru hendak berbalik dan melangkah menuju ke post keamanan ketika Harry menahan lengan gadis itu dan membuatnya berhenti. Taylor menatap pemuda itu heran.
Harry memejamkan mata dan membukanya cepat seraya terkekeh lalu, melepaskan tangannya yang menahan lengan gadis itu. "Naiklah. Kita akan membeli helm baru nanti."
Taylor memutar bola matanya. "Membeli helm baru? Duh, Styles. Aku tahu kau kaya, tapi hanya satu kali perjalanan untuk apa membeli helm baru?"
Satu alis pemuda itu terangkat. "Satu kali perjalanan? Kau yakin? Ini justru baru awal dari perjalanan kita, sweetheart. Sudahlah. Cepat naik!"
Taylor tak pernah mengerti apa yang ada di pikiran Harry, tapi dia memilih untuk bungkam dan menuruti kemauan pemuda itu.
Nyatanya, Harry benar-benar serius untuk membelikan Taylor helm baru. Di toko yang untungnya tak jauh dari kampus. Helm khas wanita berwarna merah muda. Harry yang langsung memilihkan meski Taylor mati-matian berkata tidak perlu.
Di sinilah mereka sekarang. Di sebuah rumah makan dengan nuansa alam yang sangat kental terasa. Harry bilang, dia lapar setelah menempuh perjalanan lebih dari satu jam untuk mencapai tempat makan ini.
"Pizza dan burger di sini sangat enak. Kau yakin tidak mau memesan?" Harry bertanya menggoda mengingat saat Harry memesan tadi, Taylor tidak ingin memesan apapun. Jadi, dia hanya memesan es lemon tea.
Tak lama kemudian, pesanan Harry datang. Satu loyang pizza ukuran small dan satu burger, tak lupa dengan green tea pesanannya dan es lemon tea pesanan Taylor.
"Walaupun ukurannya small, aku tak akan menghabiskan pizza-ku sendiri. Bantu aku menghabiskannya, Swift." Harry memerintah sambil mengambil satu potong pizza dan langsung memakannya.
Taylor menghela napas. "Aku tidak lapar."
"Tapi kau harus makan. Kujamin kau tak akan menyesal. Aku memaksa sekarang." Harry berkata dengan mulut penuh, membuat Taylor terkekeh.
Taylor melipat tangan di atas meja dengan mata yang hanya terfokus pada pria yang duduk berhadapan dengannya. "Orangtuamu pasti mengajarkan untuk tidak bicara saat makan."
Harry terkekeh. "Selamat makan juga, sweetheart."
Gadis berambut pirang itu tertawa seraya meraih satu potong pizza. Sesekali Harry melirik Taylor saat gadis itu tengah makan. Harry tak dapat menghentikan senyuman di bibirnya.
"Swift." Harry memanggil namanya, membuat Taylor menoleh dan berhenti makan.
"Ya?"
"Bagaimana perasaanmu sekarang? Merasa lebih baik dari kemarin?" Harry melipat tangan di atas meja, matanya fokus menatap gadis pirang di hadapannya.
Taylor bagian dalam bibirnya. "Kenapa kau bertanya?"
"Karena aku ingin tahu jawabannya."
Jawaban Harry membuat Taylor terkekeh geli. Harry hanya tersenyum melihat gadis itu, sangat berbeda dengan kemarin yang tampak lusuh.
Jantung Harry berdebar lebih cepat ketika Taylor tiba-tiba tersenyum padanya. Terasa tulus dan...hei, memang gadis itu cantik. Tak perlu dielakkan lagi.
"Aku merasa sangat lebih baik."
Harry mengangkat satu alisnya. "Benarkah?"
"Terima kasih."
Ucapan Taylor diiringi dengan senyuman manisnya membuat Harry diam sejenak, menahan napas. Sesaat kemudian, dia berusaha untuk menormalkan diri dan mengernyitkan dahi.
"Untuk apa?"
"Aku merasa jauh lebih baik dan itu semua karenamu."
Taylor menundukkan kepala, berusaha menutupi rona merah di pipinya. Tidak, Taylor hanya berterima kasih. Tapi rasanya tetap saja aneh saat harus berterima kasih dengan seseorang yang dulu sangat jauh.
"Aku tak punya siapapun lagi di sini selain kau. Aku tahu kita bukan teman sebelumnya ataupun sekarang, tapi aku merasa beruntung bisa mengenalmu. Setidaknya, aku tak merasa sendiri dan kesepian lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top