05 : Sleepless

Kuliah terasa jauh lebih baik dan tak sesuai dengan pikiran buruk Taylor sebelumnya. Mungkin, itu tak terlepas dari peranan seorang Harry Styles yang memang aneh, tiba-tiba bersikap baik dan bersahabat dengannya. Meski masih saja menyebalkan.

Tapi harus Taylor akui. Tanpa Harry dan ucapan menyakitkan tanpa diayaknya itu, Taylor pasti sudah memilih untuk membolos sejak kelas pertama dan mengurung diri di rumah, bahkan merencanakan untuk bunuh diri.

Sepulang kuliah, Taylor langsung pergi rumah tahanan tempat Ayahnya di tahan. Sejak Ayahnya ditahan, hampir dua bulan lalu, Taylor belum sekalipun menjenguk sang Ayah.

Taylor pergi seorang diri dengan taksi. Taylor masih memiliki tabungan yang mungkin masih bisa membiayai makannya sampai satu bulan ke depan. Taylor juga harus menahan diri untuk yang membeli barang-barang yang diinginkannya.

"Dad."

Taylor memanggil sang Ayah yang baru saja muncul dan dipersilahlan untuk duduk berhadapan dengan sang putri, meski terhalang kaca di hadapan mereka. Hanya ada lubang kecil di kaca dan Scott mengeluarkan tangannya di lubang tersebut, untuk menyentuh pipi sang putri yang sudah cukup lama tak dilihatnya.

"Bagaimana kabarmu?" Scott menarik tangannya kembali dan tersenyum kepada sang putri.

Taylor tersenyum tipis. "Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja."

Scott menghela nafas dan menundukkan kepala. "Maaf sudah membuatmu terlibat seperti ini. Aku sudah membuat keluarga kita hancur dan kita harus kehilangan Ibumu."

Gadis itu menggelengkan kepala, menggigit bibir bawah. Dia setengah mati mencoba menahan air mata yang bisa saja dengan mudah jatuh di pipinya. Matanya sudah cukup berair saat ini.

"Dad, aku percaya padamu. Pasti ada salah paham. Pasti ada kesalahan. Bukan kau yang harus berada di tempat ini."

Scott tersenyum tipis dan mengangguk. "Maafkan aku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Setiap malam, aku hanya berharap agar kau bisa hidup dengan baik meski, aku harus mendekam di sini selamanya."

Taylor menggeleng dan tak bisa menahan air matanya lagi. "Kau akan segera ke luar dari sini. Apapun yang terjadi, kebaikan pasti akan menang. Bukankah itu yang kau ajarkan padaku?"

Pertemuan anak dan Ayah yang sangat sebentar itu setidaknya membuat keduanya senang bukan main.

*****

Taylor menguap berulang kali selama dosen menerangkan mata kuliah yang diajarkannya. Kelas pertama sampai kelas kedua Taylor lalui dengan kantuk yang sangat. Bagaimana tidak? Gadis itu tidak dapat tidur semalaman karena apartment sederhananya yang kelewat sederhana.

Tak ada pemanas ruangan dan Taylor menghabiskan sepanjang malam untuk menghangatkan tubuh dengan cara duduk di dekat kompor listrik tempatnya biasa memasak. Menggosok-gosokan tangan tak jauh dari permukaan kompor listrik tersebut setelah memakai hampir tiga lapis pakaian.

Sekarang, tubuhnya melemas ditambah dengan kantuk yang luar biasa. Pagi ini, dia juga tak sempat memasak apapun untuk sarapan saking terburu-burunya.

"Class dismissed."

Ucapan Mr. Robert membuat para mahasiswa-mahasiswi mulai berhamburan meninggalkan kelas. Sementara Taylor sibuk menatap kepergian mereka dengan mata sayu dan gadis itu bahkan tak sadar saat seseorang datang, menyentuh dahinya dengan punggung tangan kanannya.

Mereka bahkan pergi begitu saja, seakan tak menganggap aku ada. Kalau begitu, sepertinya aku tak perlu minum obat dan makan. Biar jalanku menemui Mom lebih cepat.

"Hei."

Taylor tersadar dari lamunannya dan baru sadar jika sebuah tangan menempel di keningnya. Gadis itu terkejut mendapati Harry Styles yang sudah menarik tangannya menjauh.

"Kenapa kau—bagaimana kau—," Taylor tak dapat melanjutkan kalimatnya ketika Harry menarik kursi untuk duduk berhadapan dengan gadis itu.

Pemuda itu memperhatikan wajah Taylor dengan teliti sebelum menggeleng-gelengkan kepala. "Kau terlihat sangat buruk. Diam dan biarkan aku memeriksamu, okay?"

Harry kembali menempelkan punggung tangannya di dahi Taylor sambil bertanya, "Bagaimana kau bisa terlihat pucat dan demam seperti ini, sih?"

Aku terlalu bodoh untuk mengira jarak rumah tahanan dan apartmentku dekat jadi, aku memutuskan untuk jalan kaki dan baru sampai rumah pukul 11 malam. Aku menggigil dan tak ada penghangat ruangan. Aku baru bisa tidur pukul 5 pagi dan harus bangun satu jam kemudian.

"Hei, apa yang kau lakukan?!" Taylor menepis tangan Harry dari dahinya sedangkan, Harry hanya tersenyum tipis dan mengangguk-anggukkan kepala.

Pemuda itu kembali memakai tas yang semula dia lepaskan dan letakkan di atas meja lalu, bangkit berdiri.

"Aku ingin numpang tidur di ruang kesehatan. Bolos satu kelas juga tak masalah. Mau ikut?"

Ajakan Harry benar-benar menggiurkan, tapi membolos kelas? Taylor sudah absen selama lebih dari satu bulan dan dia tak mau ketinggalan banyak materi lagi.

"No, thanks. Aku masih ada kelas."

"Yakin? Tapi setidaknya masih ada satu jam sebelum kelas dimulai. Kau tidak mau tidur sebentar? Sepertinya kau kurang tidur." Harry mengangkat satu alis dan Taylor diam, bingung.

Satu jam untuk tidur itu sangat lumayan. Apalagi jika tidak ada yang mengganggu.

Taylor bangkit berdiri sambil menyelempangkan tali tasnya.

"Baiklah. Ayo, ke ruang kesehatan!"

*****

Harry menghela nafas dan meletakkan kotak KFC yang baru saja dipesannya di meja kecil di samping ranjang tempat Taylor tertidur pulas. Sudah lebih dari tiga puluh menit gadis itu tertidur dan Harry tahu, tubuhnya sedang dalam kondisi tak normal.

Senyuman tipis muncul di bibir Harry melihat wajah tidur Taylor. Damai dan tenang. Harry tak akan mengelak jika gadis itu cantik. Saat tertidur pun dia cantik.

Tangan kekar Harry bergerak, menyentuh kening gadis itu yang terasa sangat dan pemuda itu memejamkan mata saat mimpi yang dialami gadis itu langsung masuk ke dalam pikirannya.

Hanya sebentar. Dia bermimpi tentang keluarganya, masih komplit dan untunglah itu bukan mimpi buru yang mungkin akan sangat menambah beban pikirannya.

Pernahkah kubilang padamu? Harry Edward Styles adalah satu dari beberapa orang beruntung yang diberi kekuatan unik dari Tuhan untuk dapat membaca pikiran seseorang hanya dengan bersentuhan fisik dengan orang tersebut.

Makanya, Harry jarang berhubungan dengan banyak orang. Harry menghindari kontak fisik dengan banyak orang. Faktanya, membaca pikiran orang bukanlah hal menarik untuk Harry. Pikiran kebanyakan orang itu terlalu bodoh dan buruk.

Tapi apa yang ada di pikiran Taylor berbeda. Pikiran gadis itu penuh dengan masalah yang nantinya akan membuat Taylor pasrah dan memikirkan tentang kematian.

Mana mungkin Harry membiarkan gadis itu mati sebelum sempat...well biar waktu yang akan menjelaskan.

Tiba-tiba Taylor menggeliat dan membuka matanya perlahan. Gadis itu langsung menoleh dan matanya bertemu dengan iris hijau Harry. Gadis itu diam sejenak sebelum menguap dan bertanya, "Kupikir kau juga akan tidur. Kenapa kau malah duduk di sini?"

Harry tersenyum tipis dan menunjuk kotak KFC di atas meja. "Aku lapar jadi, aku bangun dan langsung memesan KFC. Aku memesan satu untukmu. Black pepper?"

Taylor menatap kotak itu dan menghela nafas. "Terima kasih. Berapa harga—,"

"Aku yang traktir karena kau sudah menemaniku tidur di sini." Harry memasukkan kedua tangan di masing-masing sisi kantung jaket merah yang dikenakannya.

Taylor mengerucutkan bibir. "Kau sudah mentraktirku roti kemarin. Sekarang, KFC? Aku bisa membayar sendiri, Styles."

"Aku tak menerima penolakan Swift. Habiskan makan siangmu. Masih ada lima belas menit sebelum kelas dimulai." Harry melirik jam tangan yang melekat di pergelangan tangannya.

Taylor pasrah dan mulai memakan menu makan siangnya tersebut. Senyuman muncul di bibir merah muda Harry.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top