11. Mystify
🌷행복한 독서🌷
"Ini mustahil! Aku benar-benar kembali ke Era Joseon!"
Hana membekap mulut dan membiarkan dirinya jatuh terduduk di atas tanah. Tungkainya terasa lemas, seakan sendi-sendi yang menghubungkan anggota geraknya bercerai-berai. Hana masih ingat betul pemandangan kota Seoul dari atas yang disaksikannya sewaktu makan siang bersama Siwoo di Namsan Tower. Gedung pencakar langit, apartemen dan kantor puluhan tingkat, hiruk-pikuk jalan raya yang padat kendaraan, dan segala hal yang sama sekali tidak tertangkap pandangannya saat ini.
Bukan. Bukan tidak tertangkap. Melainkan memang tidak ada. Kompleks istana Changdeok yang terhampar di bawah sana dilingkupi oleh gunung dan hutan lebat. Seperti yang tergambar dalam kitab maupun lukisan sejarah.
Tuk! Hana dikejutkan oleh buah berbentuk bulat yang jatuh di atas kepalanya. Ia mengamati buah seukuran kelereng tersebut dengan saksama kemudian mendongak. Di sekelilingnya berdiri pohon kayu dengan percabangan dikotom yang mencuatkan akar banir di atas permukaaan tanah.
Pohon murbei! Hana terkesiap. Kata-kata Do Hyun di perpustakaan Gyujanggak waktu itu kembali terngiang di telinganya.
"Buku ini adalah catatan sekretariat negara di salah-satu periode Joseon, terbuat dari serat pohon murbei yang saat itu banyak tumbuh di halaman belakang istana Changdeok. Itu fakta sejarah."
"Fakta sejarah ...." Hana bergumam kemudian menoleh pada Hoo Yeon yang menatap khawatir padanya. Belum sempat bersuara, laki-laki itu sudah bersimpuh lebih dulu.
"Agassi, kau tidak apa-apa?" Hoo Yeon berlutut dan menilik Hana dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Gwaenchana," ucap Hana seraya mengatur memundurkan badan untuk menjaga jarak. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu."
"Ye...?" Hoo Yeon tergemap sesaat sebelum mengangguk. "Ye, silakan saja," balasnya gugup.
"Pohon-pohon ini ...." Hana mengedarkan pandangan ke sekitar hutan. "Apakah ini pohon murbei kertas?"
Hoo Yeon agak terkejut, tetapi lekas mengamini. "Ya. Ini jenis murbei kertas. Orang-orang menggunakannya untuk membuat hanji."
"Apakah pohon ini juga tumbuh di belakang istana Changdeok?"
Di belakang istana? Apa maksudnya Huwon? Jangan-jangan agassi mengingat sesuatu! Mata Hoo Yeon membola mendengar pertanyaan Hana yang tiba-tiba mengungkit perihal istana Changdeok. "Ke-kenapa agassi mempertanyakan itu?"
"Aku ... aku hanya bertanya. Memangnya kenapa?" Hana mengamati gerak-gerik Hoo Yeon yang tampak lain. Sedetik kemudian, ia menduga alasan di balik gestur aneh tersebut. Hana bukan ahli sejarah, tetapi dari pengetahuan umum yang diperolehnya sewaktu sekolah dulu, pihak kerajaan sangat partikelir. Tidak heran bila Hoo Yeon tampak kaget. Laki-laki itu mengenalinya sebagai Byeol. Seorang shaman yang tidak seharusnya tahu banyak tentang lingkungan istana.
"Aniyo." Hoo Yeon menggeleng cepat. Pantang baginya mengungkit tentang kehidupan istana, tetapi ia tidak ingin membuat Hana curiga. Barangkali benar Hana yang ditahuinya adalah Byeol hanya sekadar ingin tahu. "Ya, pohon murbei kertas tumbuh terpelihara di taman belakang istana. Ada pohon juniper dan pohon cendekia juga di sana."
"Pohon cendikia?" ulang Hana.
"Benar. Itu adalah pohon cendikiawan. Bunganya sangat indah dan harum. Batangnya yang teduh membuat suasana menjadi asri." Hoo Yeon mengulas senyum. Ingatannya kembali ke masa lalu saat pertama kali ia menginjakkan kaki ke taman belakang istana tersebut sewaktu menerima penghargaan dari raja Sukjong setelah lulus ujian militer.
"Aku baru pertama kali mendengarnya." Hana bergumam. Pandangannya menyapu kompleks istana dengan mata berbinar. Dalam mimpi sekali pun, ia tidak pernah membayangkan detail istana Changdeok di jaman dahulu yang masih orisinal. Relief pengunungan dan daerah hijau di sekitarnya tampak begitu rindang.
"Ah, ya. Aku ... aku juga mendengarnya dari seorang sarjana yang pernah masuk ke istana." Hoo Yeon berdeham kecut dan merutuki diri di dalam hati. Ia terlalu larut dalam kenangan masa lalu sehingga tanpa sadar telah berbicara banyak.
Sementara itu, Hana termenung di tempat. Otaknya yang sempat "lumpuh" akibat terlalu syok mulai responsif untuk mempelajari keadaan–tepatnya kejadian aneh yang membuatnya harus terjebak dalam situasi tersebut. Berdasarkan keterangan dari Hoo Yeon dan informasi yang dijelaskan oleh Do Hyun di perpustakaan Gyujanggak tempo hari, besar kemungkinan dirinya terjebak di tahun-tahun terakhir pemerintahan raja Sukjong, sesuai catatan sejarah yang dibacanya hari itu.
Apa aku masuk ke dalam kitab sejarah seperti cerita-cerita fantasi? Hana nyaris menertawai isi pikirannya yang terdengar mustahil. Namun, segala kejadian aneh yang dialaminya sampai detik ini memang tidak ada yang bisa diterima akal sehat.
Atau mungkinkah aku benar-benar berpindah dimensi? Hana menggeriap. Pseudosains yang sering diangkat dalam film fiksi ilmiah sama sekali belum teruji kebenarannya, tetapi masih mampu diolah secara logis oleh akal manusia. Hana melirik Hoo Yeon yang sibuk memandang ke angkasa. Tapi laki-laki ini tidak mungkin salah mengenali wajahku!
"Assi, akan turun hujan lebat. Kita harus pulang." Hoo Yeon berseru sembari membentangkan jubah. Sebelah tangannya dibiarkan terentang guna memberi ruang bagi Hana untuk ikut berteduh.
Hana mengiyakan saja. Gumpalan awan kelabu memaksanya menurut. Semilir angin dan hujan yang semakin gencar merintik membuatnya bergidik. Setidaknya kembali ke hanok tempat ia terjaga tadi bisa melindunginya dari hawa dingin.
"Aduh!" Hana meringis. Belum juga tegak berdiri, perih akibat luka gores dilututnya membuat Hana mengaduh. Ditambah dengan denyut menyakitkan di pergelangan kakinya yang tidak terbiasa menggunakan bakiak kayu.
"Agassi, kau bisa berdiri?" Hoo Yeon tanpa sadar ikut meringis. Ia menudungi kepala Hana dengan jubahnya. "Kau kesulitan berjalan. Naiklah ke punggungku lagi."
"Tapi ...." Hana berniat menolak. Ia tidak senang diperlakukan seperti perempuan lemah yang tidak bisa melakukan apa-apa. Hana yakin masih sanggup menahan nyeri dan berjalan seorang diri. Namun menilai karakter Hoo Yeon yang terlalu loyal, keputusan tersebut hanya akan merepotkan mereka berdua. "Baiklah. Maaf membuatmu susah," katanya seraya menarik kedua sisi jubah Hoo Yoen sebagai pelindung hujan.
"Jangan meminta maaf lagi, Assi." Hoo Yeon tersenyum samar. Diperhatikannya Hana yang mengembangkan jubah untuk menutupi kepala mereka. "Dan kau tidak perlu repot-repot memayungiku."
Aku bukan orang yang setidak tahu diri itu. Hana berdecak dalam hati. Act of service pria di jaman Joseon ternyata sangat manis. Beruntung Hana bukan tipe orang yang mudah terbawa perasaan.
"Kita akan mengambil jalur memutar. Jalannya menurun. Berpeganganlah dengar benar, Assi."
Hana mengiyakan saja ketika Hoo Yeon menyebut nama salah-satu dusun yang kemungkinan besar tidak tercantum dalam Google Maps. Ia melingkarkan lengan di pundak Hoo Yeon, masih dengan mengait jubah yang melindungi mereka dari hujan.
"Hoo Yeon," panggil Hana tepat di telinga Hoo Yeon ketika mereka menuruni jalanan berbatu. Medan yang mereka lalui sekarang jauh lebih buruk daripada jalanan sebelumnya.
"Ya?" Hoo Yeon menoleh sedikit.
"Kenapa kita harus menghindari pengawal dari istana itu?"
Hoo Yeon tersentak. Bila bukan karena keseimbangannya yang sudah terlatih, kakinya mungkin akan tergelincir. Pertanyaan Hana sederhana, tetapi tidak bisa dijawabnya dengan mudah.
"Mereka kadang melakukan kekerasan dan bertindak semena-mena pada masyarakat." Hoo Yeon menghela napas. Ia tidak sepenuhnya berbohong. Beberapa prajurit istana--terutama orang kaum Yangban yang berkerabat dengan keluarga kerajaan memang seringkali menindas dan merampas hak milik kaum miskin.
"Begitukah?" Hana mendadak merasa kesal. Ia mengamati Hoo Yeon yang susah payah menuruni tebing. "Tapi kita tidak seharusnya takut pada mereka. Kita tidak punya salah apa-apa, bukan?"
"Ya. Kita tidak punya salah apa-apa. Aku hanya menghindar agar tidak berurusan dengan mereka." Hoo Yeon mengusahakan senyum di bibirnya yang bergetar. Ingatannya kembali pada suatu malam ketika udara dipenuhi oleh sisa bara api yang menusuk paru-paru, diselingi jeritan pilu dan suara kibasan pedang. Malam yang menghabiskan semua kenangannya menjadi debu.
Hujan yang turun semakin deras kemudian membuat Hana urung bertanya lagi. Ia disibukkan dengan rembesan rintik hujan yang mulai merembes di balik jubah.
Berkebalikan dengan itu, Hoo Yeon justru bersyukur sebab derai hujan bisa menyamarkan setitik air matanya yang jatuh. Ia menatap Hana yang merentangkan jubah lebar-lebar kemudian mempercepat langkah saat persimbangan menuju rumah mereka mulai tampak.
Hana tidak salah bertanya dan ia pun tidak menjawab salah. Sebab satu-satunya alasan yang membuat mereka harus menghindar dari pihak istana adalah karena tidak ikut menjadi abu di malam mengenaskan itu.
⏳⏳⏳
TBC
Ada yang mau berpendapat bagaimana Hana bisa masuk ke era Joseon? Yuk, tulis di kolom komentar.
Btw, aku akan double up malam ini. Terus ikuti kisah Hana sampai akhir, ya. Love, Kirey 💕💕💕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top