09. Impress

🌷행복한 독서🌷

📍Istana Changdeok-Paviliun Putra Mahkota

Pangeran Yun duduk bersila di balik meja. Matanya menatap kosong pada setiap rembesan tinta dari kayu cemara yang melukis satu demi satu huruf hanja dalam kitab pengobatan tradisional Tiongkok. Pangeran Yun sesekali menyingkap halaman ketika pandangannya mulai jenuh, tetapi ia tidak sungguh-sungguh membaca. Satu-satunya alasan yang membuat sang putra mahkota betah melakukan kegiatan tersebut berulang-ulang adalah untuk mengenang seseorang.

"Jeoha, sampai kapan Anda ingin membaca? Anda sudah mengulang sampai sepuluh kali hari ini."

Kasim Song bersimpuh di hadapan pangeran Yun. Sejak peristiwa kelam beberapa bulan lalu, pangeran Yun kembali menjadi sosok yang pendiam. Pangeran Yun lebih sering berdiam diri di kamar untuk membaca kitab-kitab dari Tiongkok ketimbang mengunjungi Huijeongdang untuk menerima pelajaran filsafat dan paham konfusionisme.

Teguran kasim Song sama sekali tidak menggoyahkan atensi pangeran Yun. Ia tidak ingin beranjak lama dari paviliunnya kecuali untuk hal yang sangat mendesak. Terlalu banyak hal di luar sana yang membuatnya perasaannya sesak. Pangeran Yun tidak ingin kehilangan kendali setiap kali mendengar desas-desus yang berdedar dan memperkeruh situasi istana-yang memang tidak pernah tenang.

Adapun Young Jeong hanya bisa menahan napas begitu melihat pergerakan halus di bibir pangeran Yun. Sebagai pengawal pribadi yang setia berjaga di sisinya, Young Jeong menyadari bila putra mahkota tersebut tidak tidur dengan baik belakangan ini, meski dengan mata terpejam terpejam. Young Jeong tahu bila pangeran Yun berusaha menahan diri, sebab ia pun demikian.

Ada yang datang. Young Jeong berujar dalam hati begitu telinganya yang peka menangkap suara langkah. Dari derapnya yang ringan dan suara chima yang diseret, Young Jeong menduga sekelompok orang yang mendekat tersebut adalah pelayan dari dapur istana. Sebab saat ini tidak ada lagi alasan bagi para dayang untuk datang ke paviliun putra mahkota.

"Jeoha, pelayan istana mohon izin untuk masuk." Kasim Song membungkukkan badan dan mempersilakan pelayan masuk.

Pangeran Yun hanya menatap dari sudut mata kemudian meletakkan kitabnya di pangkuan. Sembari bersedekap, ia membuang pandangan. Pangeran Yun benci tatapan prihatin dari orang-orang, tetapi tidak berselera menyantap kudapan apapun saat ini. Ia merasa terlalu berdosa untuk bahagia, bahkan untuk menikmati hidangan yang tersaji di hadapannya. Orang-orang boleh saja tidak mengerti, tetapi begitulah caranya menghukum diri sendiri.

Sementara itu, Young Jeong memicingkan mata begitu menyadari sang pelayan menuangkan minuman dengan tangan bergetar. Tangannya bersiap menarik pedang ketika aroma teh menguar dari teko. Young Jeong lekas memutar pandangan pada pangeran Yun yang menekuk dahi. Dalam sekejap, ia tahu apa yang akan terjadi.

"Siapa yang mengganti minumannya!" Pengeran Yun menggebrak meja dengan gusar begitu ekstrak gingseng merah kegemarannya berganti menjadi seduhan daun teh.

"Ampuni kami, Yang Mulia. Ini ... ini perintah. Kami tidak diperbolehkan menyeduh gingseng merah lagi."

Para pelayan serempak bersujud dan menghaturkan permohonan maaf, tetapi pangeran Yun tidak mengindahkan. Urat yang menjejak di pelipisnya tampak semakin kentara saat tangannya menyapu gelas keramik di atas meja hingga pecah menjadi serpihan kasar.

"Beraninya kalian melawan orang yang akan menjadi raja kalian di masa depan!" Pangeran Yun mengepalkan tangan dan kembali melayangkan tinjunya pada permukaan meja yang dipenuhi beling. Perih dari telapak tangannya yang merembeskan darah tidak sepadan dibanding sakit hati yang ia terima. Setelah merebut kebahagiaanya, para petinggi istana ingin menghilangkan kenangan manis yang ia pertahankan setengah mati.

"Jeoha, hamba mohon berhenti ...!" Kasim Song berujar panik begitu melihat darah segar menitik di lantai. Ia berteriak pada para penjaga di depan untuk memanggil tabib istana. Para pelayan yang belum berani mengangkat wajah ikut memohon agar sang putra mahkota tidak menyakiti dirinya lagi.

"Aku tidak perlu bantuan siapa pun!" Pangeran Yun ingin menggebrak meja lagi, tetapi Young Jeong menahan lengannya.

"Yang Mulia, jangan menyakiti dirimu." Young Jeong bertutur pelan. "Dia ... tidak akan menyukai ini."

Pangeran Yun mendengkus, bahkan menyebut nama orang yang ia kasihi sepenuh hati adalah larangan di istana saat ini. Namun begitu, ia tetap mendengar perkataan Young Jeong. Selain kasim Song, Young Jeong adalah satu-satunya orang yang ia percaya.

"Aku butuh udara segar."

Pangeran Yun berdiri sambil melonggarkan bagian kerah jubahnya. Diikuti Young Jeong dan kasim Song, ia melangkah keluar ruangan. Pangeran Yun berniat menenangkan diri dan mengambil haluan menuju Huwon, tetapi belum jauh kakinya melangkah, rombongan dewan negara membuatnya berhenti.

"Seja Jeoha. Rupanya Anda di sini." Para dewan membungkuk dalam-dalam.

Pangeran Yun hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Tatapan dibiarkan lurus ke depan, tanpa sedikit pun intensi untuk meladeni majelis dewan di hadapannya.

"Kebetulan Yang Mulia Raja ingin bertemu dengan Anda." Satu di antara dewan tersebut mengulas senyum begitu seorang pengawal dari istana raja menghampiri mereka.

"Jeoha, Yang Mulia Raja memanggil Anda untuk datang ke balai utama," lapor sang pengawal raja yang baru tiba.

"Ya. Aku baru saja mendengarnya." Pangeran Yun menghadap pada pejabat menteri sayap kiri yang mengulum bibir, seakan merasa terpuji dengan kata-katanya. "Pastilah kau sangat giat bekerja."

Menteri sayap kiri memasang wajah puas, tetapi kata-kata pangeran Yun selanjutnya membuat ia terkesiap.

"Kau repot-repot menjalankan tugas orang lain." Pangeran Yun mendengkus dengan tatapan dingin. "Atau memang seperti itu sifat aslimu?"

"A-apa maksud Anda, Yang Mulia?"

"Dwaesseo." Pangeran Yun mengangkat sebelah tangannya dan berbalik pada kasim Song. "Aku akan mengahadap pada Yang Mulia Raja. Kasim Song, berjagalah di paviliun. Aku tidak ingin ada seseorang yang mengambil milikku lagi saat aku tidak ada di sana."

"Jeoha, tapi Anda tidak bisa pergi sendirian." Kasim Song memandang mawas pada rombongan dewan negara yang mulai berkasak-kusuk.

"Kurasa sebab itulah Young Jeong dinobatkan sebagai pedang Joseon." Pangeran Yun menilik tajam pada majelis dewan kemudian melirik Yong Jeong di sebelahnya.

"Algesseumnida." Mengerti maksud pangeran Yun, Young Jeong mengangguk pelan kemudian mengiringi langkah sang putra mahkota menuju istana raja.

Sementara itu, kasim Song membungkuk pada rombongan dewan negara yang berlalu dari hadapannya tanpa suara. Pria berumur tersebut berjalan gontai menuju paviliun putra mahkota dan menghentikan langkahnya di depan beranda. Sebuah memori terlintas di benaknya ketika selayang pandang matanya bertuju pada balkon.

"Kasim Song, saat aku tidak ada nanti, paviliun ini mungkin akan sangat sepi. Kumohon tetaplah di sisi putra mahkota. Jangan biarkan dia sendirian. Aku akan menjaga diriku baik-baik, jadi pastikan dia bahagia di sini."

Kasim Song mengerjap cepat, menghalau air matanya agar tidak tumpah. Sepanjang hidupnya, kasim Song telah menyaksikan berbagai pemberontakan kejam yang mewarnai politik istana, bahkan sebelum raja Sukjong berkuasa. Namun, tragedi beberapa bulan lalu adalah peristiwa paling nahas yang akan tercatat dalam sejarah.

Tatapan kasim Song tidak lepas dari corak naga di punggung pangeran Yun yang semakin menjauh hingga hilang dari pandangannya. Kasim Song tahu, kepergian putri Shim tidak hanya menyisakan duka bagi mereka, tetapi juga merenggut sebagian jiwa sang putra mahkota.

"Sejabin mama, putra mahkota tidak baik-baik saja."

🌷🌷🌷

Kertas jimat dan dupa yang diletakkan warga di sekitar kuil semakin hari semakin banyak. Belakangan ini, masyarakat digemparkan dengan rumor wabah cacar yang mematikan. Para warga pun beramai-ramai membuat sesajen dan memohon perlindungan dari langit. Mereka yang memiliki uang cukup tidak jarang mengundang shaman Min untuk melakukan ritual penolak bala.

Setelah menyelesaikan doa, shaman Min berjalan keluar dari kuil. Hari ini ia melaksanakan ritual persembahan kepada dewa sebagai rasa terima kasih atas kesembuhan Byeol. Shaman muda tersebut mulai pulih, meski masih terlihat kebingungan. Hal yang wajar mengingat Byeol kehilangan ingatan tentang kehidupannya sebelum ini.

Begitu keluar dari hutan, shaman Min mengambil haluan menuju sungai. Ia menyusuri tepi sembari mengamati setiap celah sempit di antara batu kali. Matanya memicing begitu mendapati logam yang membiaskan pantulan air hingga kelihatan berkilau dari kejauhan.

"Itu dia!" seru shaman Min lalu menitih di atas batu dengan hati-hati. Setengah membungkuk, tangannya meraih sebuah lencana berwarna keeemasan yang untungnya tersangkut di batang teki. Lencana milik Hoo Yeon.

Shaman Min melirik keadaan sekitar kemudian memasukkan lencana tersebut ke saku di balik chima-nya. Benda tersebut sangat berharga bagi mantan prajurit istana seperti Hoo Yeon. Namun, shaman Min tidak akan menyerahkannya sekarang. Ia tahu bila pemuda tersebut berusaha berdamai dengan dirinya sendiri dan melupakan peristiwa yang membuatnya melawan perintah raja hingga dipecat secara tidak hormat. Shaman Min akan menyimpannya sementara untuk dikembalikan di waktu yang tepat.

"Kabarnya wabah sudah sampai ke desa sebelah."

Suara orang bercakap-cakap membuat shaman Min memasang telinga. Tampak dua orang perempuan menuju sungai dengan membawa ember kayu dan gentong air.

"Kita harus berhati-hati. Jangan sampai ada anggota keluarga kita yang terjangkit. Pihak istana bisa menyeret kita ke pengasingan."

"Bukannya mereka yang sakit dibawa ke sana agar dirawat oleh tabib?"

"Kabarnya memang begitu. Tapi kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.

"Musun? Memang apa yang terjadi?"

Wanita yang memikul gentong tadi menengok kanan-kiri dan memelankan suara. "Ada satu tempat pengasingan yang sengaja dibakar agar wabah tidak menyebar. Pihak istana yag memerintahkan itu agar keluarga kerajaan tidak terancam."

"Omona! Apa yang harus kita lakukan kalau seperti ini?"

"Mollaseo, kita rakyat kecil ini bisa apa selain berharap pada langit."

Shaman Min yang bersembunyi di balik pohon mendengar percakapan tersebut sambil melipat bibir. Tangannya menengadah pada langit yang mulai membagi rintik hujan. Berharap pada langit. Kalimat yang sama pernah didengarnya dari seseorang.

Selintas visiun berkelebat di kepala shaman Min ketika perlahan kelopak matanya tertutup. Sebuah memori di suatu malam yang gelap saat dinginnya malam terasa menusuk tulang.

"Shaman Min, apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana bisa kau masuk tanpa sepengetahuan penjaga di perbatasan?"

Shaman Min yang semula membungkukkan badan perlahan mengangkat kepala. Seoarang pria berparas kharismatik menatapnya terkejut. "Maaf, aku datang tiba-tiba. Kudengar ada wabah yang menyebar dari daerah ini."

"Ya, beberapa hari yang lalu ada orang sakit yang dibuang ke tempat ini. Namun keadaannya sudah membaik. Putriku menyembuhkannya dengan ramuan herbal."

"Sejabin mama ...." Shaman Min mengelus dada. Bahkan dalam keadaan susah, putri mahkota mereķa masih bersedia merawat orang sakit. "Kendaeyo, berita tentang wabah ini sudah tersebar luas dan menggemparkan istana."

"Geurae?" Sang pria tertawa ringan, tetapi shaman Min bisa mendengar hela napasnya yang dibiarkan tertahan sebelum menjadi uap di udara. "Sepertinya mereka tidak puas hanya dengan menyingkirkan keluargaku dari istana."

"Apa yang kau pikirkan? Kalian harus pergi dari tempat ini. Orang-orang itu jelas punya niat buruk!"

"Tidak ada tempat untuk pergi, Shaman Min. Ini takdir yang harus kuhadapi."

"Seonsaengnim!" Shaman Min berseru. Pangkal hidungnya mulai terasa perih. "Kumohon jangan putus asa. Kau adalah orang paling cerdas di seluruh penjuru Hanyang. Kau yang mengajariku membaca. Kau yang menyelamatkan hidupku dan berpesan agar aku tidak pernah putus harapan!"

"Aku tahu itu. Namun, melarikan diri hanya akan menegaskan tuduhan orang-orang terhadap keluargaku. Kami tidak bisa hidup dalam persembunyian terus-menerus." Pria di hadapan shaman Min menatap langit malam yang bertabur bintang. "Lagipula, ada banyak di dunia ini yang tidak bisa diubah manusia. Pada beberapa keadaan, kita hanya bisa berharap pada ketetapan langit. Bukankah begitu, shaman Min?"

Shaman Min meneguk dengan kecut. Ketika pria tersebut berbalik, ia melihat bias cahaya api yang berkobar dari balik matanya. Tubuh shaman Min membeku ketika teriakan pilu dan erangan menyayat hati berdegung di telinganya. Firasat buruk tersebut adalah sebuah pertanda.

"Aku tidak punya kekuatan untuk melihat masa depan, tetapi aku tahu kau menyaksikan sesuatu." Sang pria menepuk pundak shaman Min kemudian menggenggam tanganya. "Shaman Min, apapun yang akan terjadi nanti, permintaanku padamu hanya satu. Lindungi putriku. Dia sedang mengandung penerus takhta kerajaan."

Shaman Min jatuh terduduk dengan tubuh gemetar. Setitik air mata dipipinya diseka dengan cepat sebelum jatuh. Di malam ketika tragedi mengenaskan tersebut terjadi, ia bersumpah untuk tidak membasahi bumi dengan kesedihan.

"Shaman Min, kau satu-satunya orang yang bisa kupercaya."

Dengan membekap mulut, shaman Min menahan tangis hingga bahunya berguncang. Bukan hanya Hoo Yeon, sesungguhnya ia pun tidak tidak berhasil menepati janjinya di malam itu.

다음에

Part yang mengandung bawang. Misterinya mulai muncul. Penasaran apa yang terjadi pada keluarga putri mahkota? Ikuti terus Joseon Witchdoctor. Jangan lupa vote, komen, dan share. ❤❤❤



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top