08. Conscious

🌷행복한독서🌷


Bunyi kelontang dari barang-barang rongsokan berdegum di antara gang sempit ketika para bandit lari tunggang-langgang. Berbanding terbalik dengan caranya menggertak, satu kibasan pedang rupanya berhasil membuat mereka ketakutan dan mengambil langkah seribu.

Hana masih menahan napas ketika pemuda yang mengenakan ikat kepala menghambur ke arahnya dengan khawatir. Hana mengenalinya sebagai pemuda yang berjaga di sisinya saat ia terjaga di tempat antah-berantah tersebut.

"Agassi, gwaenchanaseumnikka?"

"Ya-ya, aku baik-baik saja." Hana mengiyakan dengan cepat, meski luka gores di lutut dan pergelangan tangannya semakin terasa perih. Hana sempat teringat gel antiseptik dan krim penghilang bekas buka di ruang kerjanya, tetapi dirinya bahkan tidak di Seoul saat ini.

Pemuda dengan ikat kepala itu segera berlutut dan membersihkan chima Hana dari debu dan kotoran. Tautan di keningnya semakin dalam ketika menyadari goresan luka di telapak tangan Hana.

"Agassi, tanganmu terluka!"

Hana terkesiap ketika pemuda di hadapannya berseru panik. Dengan menggunakan sapu tangan yang diambil dari balik saku, sang pemuda lekas membalut luka di tangannya dengan cekatan.

Siapa orang ini sebenarnya? Hana bertanya dalam hati. Ia menggigit bibir sembari mengamati memar di telapak tangannya yang mulai membiru. Denyut yang berdetak nyeri di sana sangat terasa dan Hana tidak lagi menemukan alasan untuk menampik respon saraf otonom di tubuhnya sebagai sebuah ilusi. Barangkali dirinya benar-benar terjebak di sebuah daerah dengan pendudukan primitif yang masih berpegang teguh pada budaya masa lalu dan menolak modernisasi.

"Agassi, kau belum pulih. Tidak seharusnya kau keluar dari rumah." Pemuda yang membalut luka di tangan Hana menggeleng. "Tidak. Kau memang tidak diperbolehkan untuk keluar seorang diri. Shaman Min bilang kekuatanmu bisa berkurang."

Shaman Min? Hana menerawang sebentar. Ia ingat wanita bersanggul yang menyebutnya telah berhasil menjalani ujian sebagai shaman sesaat sebelum jatuh pingsan.

"Terima kasih atas bantuanmu." Hana menarik tangannya yang berbalut kain dengan rapi. Sejujurnya banyak hal yang berputar di kepalanya. Namun, ia harus mengkonfirmasi sesuatu yang lebih penting. "Jika aku boleh bertanya, siapa kau sebenarnya? Maksudku, siapa kalian dan di mana ini?"

Pertanyaan Hana membuat sang pemuda terkesiap. Sorot matanya terlihat penuh luka sehingga Hana menyimpulkan bila mereka punya hubungan yang cukup dekat sebelumnya. Bukan. Bukan dengannya. Melainkan dengan siapa pun yang dimaksud pemuda tersebut sebagai dirinya.

"Namaku Hoo Yeon. Perempuan yang lebih muda dariku bernama Soel Hee. Ini di desa pinggiran di sebelah timur Hanyang." Hoo Yeon yang telah memperkenalkan dirinya menarik sudut bibir dengan gemetar.

Mengapa orang-orang ini selalu menyebut Hanyang? Primitif sekali!Hana merutuk dalam hati, tetapi lekas ia melanjutkan pertanyaannya. Bagi Hana, terus mempertanyakan posisinya berada tidak akan membuahkan hasil apapun. Maka ia akan mengintrogasi pemuda bernama Hoo Yeon tersebut melalui pendekatan halus.

"Ah, begitu." Hana berdeham. "Lalu mengapa kau terus berbicara dengan formal padaku?"

"Sebab kami adalah pelayan shaman Min, yang berarti pelayan bagi agassi juga." Hoo Yeon mengusahkan senyum. "Assi mungkin tidak ingat apa-apa karena telah tidak sadar selama tiga bulan setelah menjalani ritual, tetapi kita tinggal bersama shaman Min di desa ini."

Tidak sadar selama tiga bulan? Apa maksudnya koma? Hana membuang napas dengan tidak sabaran. Ia sudah cukup lelah dengan segala keganjilan yang terjadi, tetapi penjelasan Hoo Yeon justru semakin membuatnya pusing. Satu hal yang pasti bagi Hana adalah ia tidak mengenali orang-orang tersebut bukan karena lupa, tetapi karena memang tidak pernah berada di sana.

"Sebelumnya maaf bila kata-kataku terdengar kasar," mengabaikan Hoo Yeon yang mengelus tengkuk dengan gugup, Hana melanjutkan perkataannya, "Tapi ada satu hal yang harus aku luruskan di sini."

Hoo Yeon mengerutkan dahi. Jantungnya mendadak berdegup kencang. "Apa itu?"

"Sepertinya kau salah orang." Hana membasahi bibir. "Aku bukan orang-siapa pun itu-yang kau maksud. Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya karena aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi pada tubuhku. Yang pasti, aku bukan dia. Aku orang lain. Sungguh."

"Apa maksudmu, Agassi?" Hoo Yeon tersenyum getir, berusaha menutupi bias dalam suaranya. "Aku berjaga di sampingmu setiap malam. Bagaimana mungkin aku salah mengenalimu?"

"Apa kau yakin? Coba lihat baik-baik lagi." Hana menunjuk wajahnya. "Kau yakin kami orang yang sama?" katanya penuh sangsi.

Hoo Yeon meneguk ludah dan mengangguk mantap. "Sangat yakin."

Hana bersedekap mendengar jawaban Hoo Yeon. Wajahnya yang otentik sama sekali tidak pasaran untuk dikenali sebagai orang yang salah. Bahkan setelah menjadi pembicara untuk sebuah produk kosmetik ternama di Korea, banyak pasien operasi plastik orang yang membawa potretnya sebagai rujukan. Namun, ahli beda di Gangnam sekali pun mengaku sulit memetakan kontur wajahnya.

"Apa kau punya bukti? Foto misalnya?"

"Foto?" Hoo Yeon memiringkan kepala. "Apa itu semacam dokumen persidangan?"

"Dokumen persidangan?" Giliran Hana yang mengerutkan wajah. "Apa kau tidak tahu foto? Potret yang diambil dengan kamera."

"Potret? Ah, semacam lukisan?" tebak Hoo Yeon.

Hana menepuk dahi. Tidak salah lagi, orang-orang di daerah tersebut pastilah sangat terisolir dan buta teknologi.

"Baiklah, terserah. Apapun itu, yang jelas bisa membuktikan bila kau tidak salah mengenali orang."

"Tentu saja ada. Soel Hee sangat pandai melukis. Dia pernah membuat potretmu sebagai hadiah. Akan kutunjukkan padamu di rumah nanti." Hoo Yeon bertutur lega.

Melukis potretku? Orang-orang ini semakin aneh saja! Hana menjerit dalam hati. Namun, ia tidak bisa menolak ajakan Hoo Yeon untuk kembali ke hanok tempatnya terbangun tadi. Berkeliaran di luar sendirian terlalu berbahaya. Lagipula, Hoo Yeon sudah menyelamatkannya dari para bandit. Dipikir berapa kali pun, pemuda itu adalah satu-satunya harapan Hana untuk saat ini.

"Kita harus kembali sebelum hujan." Hoo Yeon menengadah, menatap langit yang berlapis awan kelabu. Ia melepas pakaian luarnya dan melingkarkan jubah tersebut menutupi kepala Hana. "Kau tidak boleh dilihat orang banyak."

"Kenapa?" Hana bergidik sebentar ketika tubuh tinggi Hoo Yeon mengurung lengannya.

"Kekuatanmu bisa memudar."

Kekuatan? Yang benar saja! Hana merungus, tetapi tetap menutup kepala sesuai anjuran Hoo Yeon. Mengikuti langkah pemuda tersebut, ia mengayuh langkahnya keluar dari pasar.

Sementara itu, Hoo Yeon yang menajamkan insting untuk membaca situasi tiba-tiba menahan langkah begitu mereka keluar dari pasar. Tangannya mencegat lengan Hana yang berjalan di sebelahnya.

Gawat! Itu prajurit istana! Hoo Yeon terbeliak ketika melihat rombongan pengawal yang mengenakan jeol-lip dan rompi berwarna hitam. Seperti ramalan shaman Min, hari itu prajurit dari istana Changdeok turun untuk berpatroli.

"Ada apa? Kau ingin membeli sesuatu?" Hana berbisik. Mengelilingi pasar membuatnya merasa haus. Hoo Yeon mungkin akan berbaik hati membelikan minuman untuknya.

"Jangan tunjukkan wajahmu!" Hoo Yeon menoleh pada Hana yang mengintip keadaan sekitar dari balik jubah yang menutup kepalanya. "Kita harus pergi dari sini!"

Belum sempat Hana bersuara, Hoo Yeon langsung menarik tangannya untuk bersembunyi di balik sebuah kedai kosong. Hana tidak tahu apa yang terjadi, tetapi ia bisa melihat beberapa pria melintas. Mereka menggunakan topi berhias bulu burung merak dan seragam militer seperti yang dikenakan para penjaga istana peninggalan kerajaan Joseon di Seoul.

Ya, Hana ingat betul seragam tersebut. Sekali pun pada masa sekarang difungsikan sebagai destinasi wisata dan tour sejarah, istana yang ada di Seoul tetap dijaga oleh petugas keamanan dengan pakaian khas prajurit Joseon. Hana sering membawa teman-temannya dari luar negeri untuk berkunjung dan menonton prosesi pergantian shift para pengawal di sana.

"Mereka sudah pergi. Kita harus bergegas!" Hoo Yeon melongokkan kepala, genggamannya pada Hana semakin erat. Prajurit yang berpatroli hanya perwira kelas menengah, tetapi akan sangat gawat bila mereka tertangkap.

"Ada apa sebenarnya?" Hana memundurkan wajahnya yang nyaris bersinggungan dengan hidung Hoo Yeon.

"Tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Ikut saja!"

Hoo Yeon membawa Hana berlari menyusuri jalan setapak di belakang pasar. Di pinggir desa, mereka menapaki jalan terjal untuk masuk ke hutan. Hoo Yeon telah menjejaki kawasan tersebut selama berbulan-bulan. Area hutan adalah tempat yang paling aman untuk bersembunyi sampai para prajurit selesai beroperasi.

"Jamkkanman!" Hana yang mulai terengah berseru. Ia tidak bisa mengimbangi Hoo Yeon yang berlari sangat cepat. Bakiak kayu yang dikenakannya sudah berulang kali tersandung.

"Agassi!" Hoo Yeon memutar badan. "Naiklah ke punggungku!" katanya setengah membungkuk.

"Mwo?" pekik Hana keberatan, tetapi Hoo Yeon terus saja memaksanya.
Merasa terdesak, Hana akhirnya menurut. Pemuda tersebut berlari kencang sehingga membuatnya mau tidak mau mengeratkan pegangan. Sesekali ia menyembunyikan diri di balik pundak Hoo Yeon yang merunduk untuk menghindari ranting pohon.

"Siapa mereka? Kenapa kita harus kabur?" Hana mengatur napasnya yang tersengal ketika Hoo Yeon berhenti di pinggir tebing curam. Hana mengakui ketahanan Hoo Yeon bisa disandingkan dengan atlet nasional. Bahkan saat mendaki sekali pun, tungkainya bisa menopang dengan kokoh tanpa gemetar.

"Mereka pegawal dari istana Changdeok." Hoo Yeon mendudukkan dirinya di sebuah batang pohon rebah.

"Pengawal dari istana Changdeok? Apa yang mereka lakukan di sini?" Hana mengernyit bingung. Istana Changdeok memang harta karun nasional yang sangat dijaga, tetapi tidak pernah ada pengawal yang berkeliling untuk berpatroli.

"Sesuai aturan yang dibuat raja Sukjong, anggota militer kerajaan turun ke desa satu bulan sekali untuk memantau kinerja tentara daerah dan penjaga perbatasan." Hoo Yeon menilik baik-baik air muka yang ditunjukkan Hana. Meski masih kelihatan linglung, Hoo Yeon merasa luar biasa lega dan bersyukur. Bahkan di malam saat Hana membuka mata untuk pertama kali, Hoo Yeon kembali ke sungai dan menangis seorang diri di sana.

"Raja Sukjong?" ulang Hana tak percaya. "Apa maksukdmu raja Sukjong masih berkuasa saat ini?"

"Ya. Tentu saja." Hoo Yeon menelan saliva mendapati air muka tegang yang ditunjukkan Hana. "Raja Sukjong adalah penguasa istana Changdeok, penguasa Hanyang."

"Sebentar!" Hana memegang pelipisnya yang berdenyut. "Istana Changdeok masih digunakan untuk aktivitas kerajaan? Jangan bercanda!"

"Aku tidak bercanda, Agassi."

"Lalu, di mana tepatnya istana Changdeok berada?" Hana mendengkus pelan. Sepengetahuannya, istana Changdeok terletak di distrik Jogno. Bila Hoo Yeon bisa menunjukkan lokasi istana Changdeok, maka Hana bisa menemukan jalan untuk kembali ke rumahnya di Hannam Hills.

Hoo Yeon bangkit kemudian menuntun Hana menyusuri tepi hutan hingga mereka tiba di bagian hilir tebing. Hana menekuk wajahnya tidak mengerti, tetapi begitu Hoo Yeon menyibak semak yang menghalangi pandangan, pupilnya refleks berdilatasi.

"Apa-apaan ini!"

Hana membekap mulutnya dengan kedua tangan. Di bawah sana terhampar pemandangan kompleks istana Changdeok yang di kelilingi kawasan perbukitan. Tanpa gedung pencakar langit, kepadatan lalu lintas, dan segala hal yang mencirikan kota Seoul sebagai bandwith dunia.

"Ti-tidak mungkin! Ini benar-benar era Joseon?!"

다음에


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top