07. Extraneous
🌷행복한 독서🌷
Hana sepenuhnya yakin bila dirinya sedang bermimpi. Bagaimana tidak? Ketika Hana merasa sedang berada di penghujung takdir, tahu-tahu ia mendapati dirinya terjaga di sebuah kamar kecil dengan dikelilingi tiga orang berpenampilan layaknya orang-orang dalam pekan kebudayaan. Lebih mustahil lagi, mereka menyebutnya telah berhasil sembuh dari penyakit khusus-apapun itu istilahnya-yang merupakan ujian untuk menjadi shaman.
Shaman. Hana menertawai diri. Belakangan ini ia banyak membaca topik seputar shamanisme untuk kepentingan penelitiannya. Barangkali karena itulah hipokampus menata ulang memorinya menjadi sebuah imajinasi acak yang diproyeksikan sebagai mimpi.
Hana bukan maniak sains, ia tahu peristiwa-peristiwa metafisika bukan tidak mungkin terjadi, tetapi semua hal baginya harus bisa dijelaskan secara rasional. Peranan shaman dalam memberantas penyakit cacar di masa lalu berhasil menggelitik logikanya untuk mengusut perkara tersebut, sampai kemudian terbawa mimpi. Alasan yang cukup masuk akal untuk menerangkan pengalaman ilusif yang baru saja ia alami.
Akan tetapi, semua pembenaran Hana lantas buyar ketika dirinya terbangun untuk kedua kalinya di tempat asing tersebut, masih dengan beralas futon dan selimut berwarna gading. Aroma wangi-wangian yang jenuh di udara menusuk saraf-saraf pembau di pangkal hidungnya, seakan menegaskan bila apa semua bukan ilusi belaka.
Hana kemudian mengambil posisi duduk tegak. Cermin perak di sudut ruangan memantulkan bayangan wajahnya yang pucat, tanpa sapuan riasan sama sekali.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" Hana bergumam seraya memegangi kepala, berusaha menemukan jejak luka atau hal apa pun yang mengindikasikan bila dirinya mengalami kecelakaan, tetapi nihil. Ia tidak menemukan hal yang ganjil selain urat yang timbul di pelipisnya akibat berpikir keras. "Apa mungkin ini lucid dream?"
Hana mencoba bangkit dan menyeimbangkan badan. Lucid dream adalah keadaan di mana seseorang sadar dan dapat mengontrol mimpinya. Meski masih menjadi kontroversi dan belum sepenuhnya terungkap, para ilmuwan menyakini bila lucid dream terjadi karena lobus frontal otak yang mengatur kesadaran tiba-tiba aktif saat manusia tertidur.
Kaki Hana tersentak sedikit begitu menginjak lantai papan yang berderik. Ia mengamati ruangan tersebut dengan cermat. Kerangka kayu menopang bagian atap yang terbuat dari anyaman jerami, sementara bagian dinding dan jendela tertutup oleh lembaran kertas berserat kasar, seperti sampul dokumen-dokumen sejarah yang dilihatnya di perpustakaan Gyujanggak.
Dengan jantung bedebar kencang, Hana berjalan menuju pintu. Kakinya dibuat menapak sepelan mungkin agar tidak menimbulkan derap. Ketika pintu tergeser, tampak di hadapannya sebuah ruangan luas yang kosong tanpa perabotan, bersambung dengan teras depan. Tidak butuh waktu lama bagi Hana untuk menyadari bila dirinya berada di dalam sebuah hanok.
"Kemana perginya orang-orang itu?" Hana melilihat kesekeliling, matanya tertuju pada setiap sudut. Hana masih ingat dua perempuan dan satu laki-laki yang menyambutnya ketika membuka mata sebelum ini. Akan tetapi, sampai beberapa saat kemudian Hana tidak menjumpai siapa pun. Rumah tradisional tersebut kosong.
Setelah celingak-celinguk sebentar, ia kemudian berjinjit ke arah teras. Hana ingin memastikan sendiri lingkungan tempatnya berada sekarang. Entah hanya mimpi atau memang ia-dengan acara apapun-terjebak di sebuah daerah asing, yang pasti Hana akan mencari jalan untuk kembali ke Seoul.
Begitu pintu depan berhasil terbuka, tanpa pikir panjang Hana bergegas keluar. Sebuah bakiak dalam bufet kayu di dekat tangga membuatnya mengerutkan dahi. Hana menunduk, mengamati kakinya yang telanjang. Akan sangat disayangkan bila tumit mulusnya jadi terkelupas karena tidak mengenakan alas kaki.
Hana mengambil bakiak tersebut dengan ragu. Sepatu kayu di tangannya sekarang tampak mengilap, seperti dilumuri film transparan. Ujungnya yang runcing dan melengkung keatas kelihatan seperti model perahu, sedangkan di bagian tengahnya terdapat ukuran sulur yang mengelilingi satu bagian sepatu.
"Bagaimana bisa ada dua ukiran sepatu yang sama persis begini?" Hana berdecak kagum. Bagian heel yang terbentuk sedemikian rupa membuatnya mengira-ngira bila sepatu tersebut dibuat khusus untuk satu orang. Hana hanya meminjamnya sebentar dan berniat akan mengembalikan sepatu tersebut pada tempatnya nanti. Namun, beberapa saat kemudian ketika ia mencoba bakiak tersebut, Hana kembali dibuat terkejut. Kakinya lolos ke dalam sepatu dengan mudah, bahkan bagian tumitnya merapat dengan sempurna.
"Mungkin hanya kebetulan!" Hana membatin, meski intuisinya mulai berkata lain. Sejenak Hana meratapi penampilannya yang berubah drastis. Gaun indahnya berubah menjadi setelan hanbok dengan atasan dan rok berwarna putih, sementara stiletto-nya berganti menjadi sepatu kayu. Sungguh, ini sangat tidak lucu.
Tidak ingin membuang waktu lebih lama, Hana mengembuskan napas dan keluar dari pekarangan sambil mengendap-endap. Bola matanya yang menyipit menghalau terik matahari seketika membola begitu menjumpai kawasan pedesaan asri yang tidak familiar. Di sepanjang mata memandang, hanya berderet rumah-rumah kuno. Tidak ada hotel ataupun gedung-gedung pencakar langit seperti di Seoul.
"Di mana ini?" Hana menelan ludah. Beberapa orang yang berlalu lalang di depannya mengenakan pakaian tradisional yang serupa. Sebagian di antaranya memikul hasil kebun dan mendorong gerobak. Mereka terlihat sibuk dengan urusan masing-masing sehingga Hana merasa sungkan untuk bertanya.
Tidak punya pilihan, Hana mengikuti sekelompok perempuan hingga tiba di sebuah pasar. Keramaian di sana sempat membuatnya terpaku sejenak. Hana melihat pedagang berjejer di sepanjang jalan, mulai dari penjual gerabah, aksesoris, sampai yang menjajakan makanan ringan. Beberapa kedai penuh oleh pengunjung, berbeda dengan toko penjual kertas yang lengang.
"Apakah perkampungan seperti ini masih ada di Korea?" Hana bertanya pada dirinya sendiri. Ia tahu ada beberapa desa yang masih memelihara budaya masa lampau, tetapi tidak ada yang aktif seperti apa yang ia saksikan sekarang. Desa-desa tradisional saat ini hanya dijadikan sebagai destinasi wisata, itu pun tidak semua situs yang dibuka untuk umum untuk menjaga warisan leluhur.
"Pengawal istana hari ini akan berpatroli!"
Seseorang menyeru di tengah kerumunan, hal tersebut membuat orang-orang yang berjudi di tepian pasar bubar dan berlarian. Hana yang terdorong memilih mengamankan diri dengan masuk ke sebuah toko kertas. Aroma senyawa volatil yang menyapa hidungnya membuat ingatan Hana tertuju ke satu hal.
"Jeogiyo," sapa Hana pada seorang wanita tua yang sibuk mengatur lembaran kertas.
"Omo!" Wanita tersebut menutup wajah dan serta-merta menghampiri Hana. "Assi, kedai ini baru saja akan tutup. Seharian ini tidak ada pelanggan. Mari, silakan masuk!"
Hana mengerjap cepat. Harapan di wajah keriput wanita tersebut membuat Hana tidak sampai hati untuk menolak tawarannya. Saat itu pula, Hana tersadar bila ia tidak hanya berganti kostum, melainkan juga kehilangan barang-barang pribadi. Hana teringat tas, dompet, dan ponsel yang luput dari perhatiannya lantaran terlalu syok berada di tempat asing tersebut.
"Mianheyo, Ahjumma. Tapi saya tidak membawa uang." Hana berujar penuh sesal, tetapi wanita pemilik toko itu tidak melunturkan senyuman padanya sama sekali.
"Tidak apa-apa. Lihat-lihat saja dulu." Wanita tua di hadapan Hana berujar antusias. "Assi mencari kertas yang seperti apa? Apa mungkin Anda ingin menulis surat cinta? Toko kami punya kertas harum dan berkualitas!"
Hana menggigit bibir dengan bingung. Ia sama sekali tidak berniat membeli kertas, apalagi menulis surat cinta. Menyatakan perasaan lewat surat adalah metode yang paling konservatif dan ketinggalan jaman.
"Ini kertas hanji terbuat dari kulit pohon murbei dan jerami." Sang wanita pemilik toko mengelus lembaran kertas yang tergantung.
"Pohon murbei!" Hana berujar spontan. Ia teringat pada penjelasan Do Hyun di perpustakaan Gyujanggak tempo hari. Aroma harum tadi pastilah berasal dari kertas-kertas yang tergantung di sana."
"Assi bisa mencoba yoyojong, jenis kertas ini paling kuat dan lembut." Wanita tua tersebut menatap Hana dalam-dalam. "Orang-orang istana menggunakan kertas ini untuk menyusun buku, sebab begitu tinta menyerap, semua rahasia yang ditulis di dalamnya akan bertahan sampai beribu-ribu tahun."
Hana mendengar penjelasan wanita pemilik toko dalam diam. Dokumen-dokumen yang dilihatnya di perpustakaan Gyujanggak berasal dari masa kerajaan ribuan tahun yang lalu. Tulisan-tulisan di sana memang masih bisa terbaca dengan jelas, hanya beberapa bagian yang sudah koyak termakan usia.
Sebentar! Apa tadi? Istana? Hana menoleh pada wanita tua di sampingnya. "Ahjumma, apa Anda baru saja menyebut istana?"
"Ne, Assi. Istana Changdeok agung yang menjadi pusat kota Hanyang."
"Istana Changdeok? Hanyang?" Hana terbeliak. Hanyang adalah sebuatan untuk Seoul di masa lalu. "Apa maksudnya kita sekarang berada di Seoul?"
"Seoul?" Wanita tua yang mendengar kata asing tersebut mengangkat bahu. "Desa ini terletak di pinggiran kota, Assi. Apa Anda pendatang baru di sini?"
Ya! Baru! Sangat-sangat baru sampai aku tidak tahu tenpat apa sebenarnya ini! Hana berteriak dalam hati. Bukannya mendapat pencerahan, pikirannya justru dibuat semakin membuntu.
"Omo! Ada pelanggan lain!" Sang pemilik toko berujar senang begitu beberapa orang masuk dan memilah kertas yang terpajang. Dengan cekatan wanita itu menghampiri pengunjungnya dan menjelaskan setiap jenis kertas dengan detail.
Hana memperhatian semua itu tanpa berkedip, termasuk proses transaksinya yang menggunangan kepingan uang logam.
"Terima kasih, Assi! Selain cantik, Anda rupanya pembawa keberuntungan. Toko saya jadi ramai!" Wanita tua pemilik toko kertas kembali pada Hana dan menggenggam tangannya. "Apa mungkin Assi seorang peramal?"
"Pe-peramal?" Hana tergagap. Ia melepaskan diri dan perlahan melangkah mundur sampai keluar dari ambang pintu. Dipandanginya toko kertas yang mendadak ramai dengan jantung berdebar kencang.
"Apa mungkin Assi seorang peramal?"
Hana menggeleng begitu pertanyaan sang pemilik toko berdegung di telinga. Ia berlari meninggalkan tempat tersebut dengan langkah tersaruk-saruk. Hana ingin kembali ke rumah tadi. Barang-barangnya bukan tidak mungkin disembunyikan di salah satu ruangan di sana. Hana akan menggeledah, berhubung rumah itu sedang kosong. Namun, situasi pasar yang tidak ia ketahui membuatnya tersesat dan berakhir di sebuah gang buntu.
Baru saja Hana ingin berbalik, segerombolan pemuda dengan penampilan urakan berjalan mendekatinya. Jumlahnya sekitar lima orang. Baju mereka tampak kumuh dan kotor hingga warna dasar pakaian tersebut sulit untuk ditebak. Hana berusaha menerobos, tetapi dua di antara mereka mencegat jalannya. Yang satu mengikat rambut, sementara satu yang lain membiarkan poni panjangnya turun melewati jidat.
"Siapa kalian?" Hana bersedekap dan memang sikap defensif. "Tolong beri jalan, aku sedang buru-buru!"
Perkataan Hana disambut dengan gelak tawa oleh pemuda tersebut.
"Kalian dengar apa katanya? Buru-buru?" Laki-laki dengan poni panjang menyeringai. "Assi, kalau kau sedang terburu-buru, kau tidak akan bermain-main di wilayah kami."
"Wilayah?" Hana memelihat sekitarnya. Botol minuman yang berserakan, tikar bekas, dan bangunan tua bekas kedai yang terbengkalai membuat ia yakin bila para pemuda di hadapannya adalah preman pasar.
"Aku sedang tersesat!" balas Hana berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. "Tolong minggir atau aku akan melaporkan kalian ke polisi!"
"Polisi?" Satu orang dari kawanan premen yang mencegat Hana bersuara. "Apa maksudnya orang-orang militer kerajaan?"
Hana menelan ludah. Ia lupa bila sedang terjebak di tempat asing tanpa ponsel dan barang-barang penting lainnya. Jika pun ada, orang yang harus ia hubungi pertama kali itu bukan polisi. Melainkan keluarganya di Seoul.
"Jangan banyak bicara dan serahkan uangmu sebagai denda karena memasuki wilayah ini!"
Laki-laki gondrong yang Hana yakini sebagai ketua geng berujar gusar. Hana sudah tahu maksud mereka sejak dua orang tadi mencegatnya, tetapi ia benar-benar tidak membawa uang. Lagipula, menilai perawakan mereka, Hana yakin tidak akan dilepaskan dengan mudah meskipun sudah membayar "denda" atas pelanggaran hukum wilayah yang jelas hanya dibuat-buat.
"Aku tidak membawa uang. Barang-barangku ketinggalan di rumah."
"Assi, kau pikir kamu orang bodoh? Tidak mungkin ada orang yang ke pasar tanpa membawa uang dan barang dagangan! Kau pikir mengapa kami berjaga di sini, hah?"
"Aku tidak bohong! Dibanding memalak orang, sebaiknya kalian mencari pekerjaan yang lebih terhormat!" Hana meraup udara dengan marah. Pemuda-pemuda itu masih tampak sehat untuk bekerja, tetapi mereka lebih memilih mabuk-mabukan dan berjudi. Tipikal orang malas yang mengiinginkan sesuatu serba instan.
"Apa katamu?!" gertak sang ketua geng gusar. "Periksa dia!"
Para pemuda di sana mengangguk serempak dan menarik Hana dengan kasar. Mudah bagi mereka untuk menyeret satu perempuan yang tidak berdaya.
Adapun Hana berusaha memberi perlawanan dengan menyikut dan memberi tendangan. Hana berhasil berkelit setelah beberapa kali mencoba, tetapi satu orang berhasil menahan tangannya. Hana berbalik dan mendapati sang ketua geng tersenyum miring kemudian mendorong tubuhnya hingga jatuh terjerembab.
"Aduh!" Hana meringis begitu lutut dan pergelangan tangannya beradu dengan jalanan berbaru. Besi rongsokan yang tertumpuk di pinggir gang menggores pelipisnya hingga merembeskan darah.
"Seperti kau tidak bisa diajak bekerja sama." Laki-laki dengan poni panjang meraih sebuah tongkat kayu yang ujungnya telah diruncingkan. "Karena kau buru-buru, jadi kita persingkat saja."
Hana memekik dan melindungi tubuhnya dengan kedua tangan ketika tongkat tersebut menghujam ke arahnya. Satu detik, dua detik, hingga hitungan detik ketiga, Hana tidak merasakan apa-apa selain bunyi kelontang yang bergema di telinganya.
Pelan-pelan, Hana membuka mata. Di hadapannya berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap yang mengenakan ikat kepala. Laki-laki itu baru saja menyampirkan pedang di samping badan. Pedang yang berhasil membelah tongkat sang ketua geng dan membabat poni panjangnya hingga tersisa kurang dari setengah jidat.
"Jangan coba-coba menyentuhnya bila kalian tidak ingin tubuh kalian bernasib sama dengan tongkat terkutuk ini!"
⌛다음에⌛
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top