06. Awaken

🌷행복한 독서🌷

Pada suatu titik, Hana merasa terhempas jauh ke dasar bumi. Tubuhnya seperti terhisap ke dalam pusaran lubang hitam tidak berujung. Entah efek dari lonjakan adrenalin yang sedang menyiapkan diri menghadapi maut, atau mungkin sedikit hiburan dari endorfin menjelang akhir hidupnya. Hana tidak bisa lagi berpikir jernih. Satu-satunya harapan baginya sekarang adalah gesekan antara lift dan gerbong yang paling tidak bisa meredam momentum.

Near Death Experience. Hana pernah membaca artikel tentang pengalaman spiritual menjelang kematian di sebuah artikel. Namun, benarkah ini akhir hidupnya? Bagaimana dengan Siwoo dan ayahnya? Bagaimana dengan penelitiannya? Bagaimana … perjodohannya dengan putra walikota Seoul?

Setitik air mata mengalir di pelupuk Hana. Tidak bisakah ia hidup sehari saja lebih lama?

Hana merasa belum merampungkan banyak hal. Ia belum sempat memeluk ayahnya untuk yang terakhir kali. Ia belum sempat memukul dan memarahi Siwoo. Ia belum menyelesaikan artikelnya. Bahkan, di detik-detik terakhir hidupnya itu, Hana penasaran seperti apa gerangan sosok putra walikota Seoul yang seharusnya ia temui di waktu kematiannya.

🌷🌷🌷

“Dia sudah bangun! Ritual itu berhasil!”

Hana mendengar suara berisik di sekitarnya. Kelopak matanya berkedut beberapa kali sebelum perlahan-lahan membuka. Aroma minyak atsiri yang tercium samar-samar membuat kening Hana berkerut, seperti wangi akar tanaman.

Di mana ini? Apa aku dilarikan ke rumah sakit?

Hana berbicara dalam hati sembari menunggu nyeri mendera sekujur tubuhnya. Jika benar ia selamat dari kecelakaan lift di gedung tadi, maka paling tidak ia mengalami cedera di beberapa persendian, mungkin fraktur atau dislokasi tulang. Namun sampai beberapa detik kemudian, Hana tidak merasakan apa-apa kecuali bau wewangian yang semakin pekat.

Apa pengaruh anestesi? terka Hana mengira-ngira. Saraf yang baru pulih dari desensitasi obat bius memang butuh waktu untuj kembali berkeja. Tidak jarang orang akan mengalami kebingungan dan halusinasi pasca pembedahan. Hana ingat ketika Siwoo menjalani operasi usus buntu, kakaknya itu melantur ketika dibawa menuju recovery room. Siwoo mendadak lupa berbahasa Korea dan terus mengoceh dengan aksen British yang membuat dokter dan perawat di sana kewalahan. Beruntung saat itu jam kerjanya sudah selesai sehingga ia bisa membantu menenangkan Siwoo.

Sudah berapa lama ini? Obat bius apa yang diberikan?  Hana berusaha mengingat onset dan durasi sediaan anestesi. Kepanikan mulai menguasai dirinya begitu memikirkan kemungkinan terjadi cedera otak dan tulang belakang sehingga tubuhnya diberi bius total. Akan tetapi, kaki dan lengannya masih bisa digerakkan dengan leluasa. Apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku?

Agassi benar-benar sudah sadar!”

Suara lain berseru di sebelah Hana. Kali ini Hana yakin suara perempuan. Tarikan napas yang tersendat-sendat membuat Hana yakin bila orang tersebut sedang menangis. Namun, siapa orang itu? Bila ada yang menangisi keadaannya sekarang, seharusnya itu ayahnya dan Siwoo.

Hana mencoba bangun dari tidurnya. Pandangannya yang berpendar berangsur-angsur menampakkan kamar berdinding kayu yang tidak lebih luas dari ruang kerjanya di rumah sakit. Hana mengerjap beberapa kali, memastikan penglihatannya tidak keliru. Dibanding ruang operasi dan kamar perawatan, ruangan tersebut lebih mirip dengan vila bergaya tradisional. Ketika memundurkan badan untuk mencari posisi duduk yang pas, Hana pun tersadar bila sedari tadi ia tidur balas futon.

Agassi, tolong jangan memaksakan diri. Anda tidak bisa banyak bergerak dulu. Anda masih sangat lemah.”

Hana menautkan alis dengan bingung. Keterkejutannya semakin menjadi begitu mendapati tiga orang duduk saling berhadapan di sisinya. Mereka mengenakan pakaian yang tidak biasa, seperti baju tradisional orang-orang jaman dahulu. Hana menilik ketiganya bergantian. Di sebelah kirinya ada dua orang perempuan. Yang satu tampak lebih tua dari Siwoo, rambutnya dibelah dua dan disanggul ke belakang. Sementara yang satu lagi masih kelihatan belia, lebih muda darinya . Gadis itu mengepang rambut menjadi dua pilinan.

Hair style macam apa itu? Hana meringis. Ia menoleh pada satu laki-laki yang duduk di sisi kanannya. Pemuda itu berambut panjang dan menutup dahi dengan ikat kepala berwarna biru. Hana tanpa sadar mengerutkan wajah. Ia tidak suka dengan laki-laki yang memanjangkan rambut.

Apa mungkin Siwoo mengirim alamat yang tidak benar sehingga dirinya salah masuk ke pesta kostum? Hana bersekulasi kemudian membantah sendiri argumennya. Tidak, itu tidak mungkin! Festival Chuseok masih lama!

Sambil menggigit bibir, Hana berusaha keras menggali memorinya. Hana ingat limosin mengantarnya sambil ke pelataran gedung mewah tempat berlangsungnya acara makan malamnya dengan putra walikota Seoul. Ia yakin betul bila dirinya terjebak di lift yang macet. Namun, tahu-tahu saja dirinya terbangun di sebuah ruangan asing yang serba kovensional ini. Bahkan penerangan di ruang tersebut hanya mengandalkan pendaran cahaya suluh.

Atau mungkin ini mimpi? Apa jangan-jangan dirinya ketiduran di atas meja makan lantaran obrolannya dengan putra walikota Seoul terlalu menjemukan dan membuatnya mengantuk? Hana menggeleng. Ia tidak pernah jatuh tertidur di hadapan orang lain, bahkan ketika sedang mengantuk berat setelah begadang berhari-hari.

“Si-siapa kalian?” tanya Hana takut-takut. Ia menatap orang-orang di hadapannya bergantian. “Dan … kenapa kalian berpakaian aneh seperti itu?”

Agassi, kau tidak mengingat kami?" Laki-laki di sisi kanan Hana membalas dengan mata berkaca-kaca.

Hana terkesiap dan menggeleng. Ia bukan tidak ingat, tetapi memang tidak mengenali mereka sama-sekali.

“Anda berada di rumah, Agassi.” Gadis dengan rambut dikepang aneh tadi meneteskan air mata. Suaranya yang semakin serak terdengar memprihatinkan. “Tenang saja, kita aman di sini.”

“Rumah?” Hana mengatupkan bibirnya begitu berujar spontan. Ia tidak bermaksud merendahkan, tetapi tempat tersebut jelas-jelas bukan rumahnya. “Sillyehamnida, tapi aku rasa kalian salah orang.”

Agassi, kenapa Anda berkata seperti itu?”

Kenapa? Bukankah sudah jelas? Hana berusaha menahan diri dan bangkit. Dilihat sepintas saja penampilan mereka jauh berbeda. Orang-orang asing tersebut berpakaian tradisonal seperti hendak menghadiri festival, sementara dirinya mengenakan long-dress yang dirancang oleh desainer ternama.

Sebentar! Apa tadi? Longdress? Hana tergemap di tempat. Bola matanya menyeruak ketika menunduk dan mendapati gaun kesayangannya berganti menjadi setelan yang terdiri dari atasan lengan panjang dan rok lebar. Hampir seperti yang dikenakan dua perempuan di hadapannya, tetapi dengan kain licin dan jatuh.

Ige mwoya?” Hana memekik kaget. Ketika memutar badan, pandangannya tertuju pada sebuah cermin di sudut ruangan. Cermin tersebut memantulkan bayangan dirinya dalam balutan hanbok era Joseon, seperti yang biasa dilihatnya dalam buku-buku sejarah.

“Ada apa, Agassi?"Gadis di sebelah Hana ikut berdiri. "Seseummu-nim, tolong lakukan sesuatu!”

“Itu adalah cermin perak dari dinasti Ming.” Hana melihat perempuan bersanggul yang sedari tadi mengamatinya tersenyum tenang. “Cermin ini bisa melihat masa depan. Orang-orang menggunakannya untuk meramal. Kau mungkin tidak ingat apa-apa. Itu adalah efek dari penyakit Shinbyeong.”

“Penyakit Shinbyeong?” Alis Hana bertaut bingung. Bertahun-tahun belajar dan mengkaji patofisiologi penyakit, baru kali ini Hana mendengar istilah tersebut.

Shinbyeong adalah rasa sakit yang dialami oleh seseorang sebelum menjadi shaman.” Hana merasakan tepukan halus di kedua pundaknya. “Kau telah melalui itu dan berhasil menjadi shaman.”

“Apa? A-aku adalah seorang shaman?
 
Hana mematung di tempat. Akal pikirannya mendadak lumpuh. Diperhatikannya bayangan di cermin yang sesekali mengerjap, mengikuti gerakan tubuhnya. Semua terlihat nyata, tetapi mustahil terjadi. Hana menatap ngeri pada bayangannya sendiri dan jatuh pingsan.

다음에

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top