03. Proposal

🌷행복한 독서🌷

📍Departemen Farmasi, Royal Medical Center

"Praktek shamanisme? Bagaimana bisa?"

Hana menyanggah pelipis dengan sebelah tangan. Kaki jenjangnya yang berbalut pantofel loafer mengetuk-ngetuk lantai dengan konstan untuk meredakan keram. Pancaran radiasi dari monitor komputer yang perlahan menyusup lewat filter screen tidak menyurutkan konsentrasinya untuk terus melakukan penelusuran pustaka. Meski sesekali dibuat berkedip, Hana terus saja menggulirkan bola matanya mengikuti baris demi baris dari literatur yang ia baca. Bahkan ritme kontraksi otot-otot lambung yang sedari tadi mengindikasikan kebutuhan biologis untuk mencerna makanan tidak Hana hiraukan.

Sudah seminggu sejak pengumuman proposal Osong Public Health dikeluarkan dan Hana masih mendapati dirinya terpaku pada satu topik yang jauh dari pembahasan, "shamanisme". Barangkali terdengar aneh, tetapi Hana benar-benar dibuat penasaran dengan ritual yang disebut sebagai metode penyembuhan cacar pada zaman kerajaan tersebut.

进入朝鲜王朝第三世纪后 巫俗信仰再次发挥了强大的影响力甚至得到了王室的支援

"Memasuki abad ketiga dinasti Joseon, shamanisme kembali memiliki pengaruh kuat, bahkan mendapat dukungan oleh keluarga kerajaan." Hana mendikte artikel sejarah yang dibacanya dalam hati sambil mengelus dagu. Tatapannya terpaku pada layar yang menampilkan deretan huruf hanja, seakan berusaha menemukan rahasia yang tersembunyi di balik sana. Sebentar kemudian, ia beralih pada buku catatan dan menorehkan garis imajiner lewat ujung telunjuk pada kalimat yang diberi highlight.

Pada era Joseon, penyakit yang susah diobati diusir dengan praktek shamanisme.

Vaksin cacar baru ditemukan di akhir pemerintahan kerajaan Joseon.

Ritual untuk mengusir penyakit cacar disebut sonnim-gut.

"Maldo andwae! Bagaimana mungkin suatu penyakit bisa diusir dengan ritual?" Hana memijat pelipis. Semua referensi yang ia peroleh menunjukkan hasil yang saling berkorelasi, bahkan catatan sejarah sekali pun. Namun, bagaimana mungkin virus bisa dimusnahkan hanya dengan merapalkan mantra? Demi Tuhan, ini bukan dunia sihir!

"Apa mungkin efek plasebo?" Hana menjentikkan jari sembari melenggut yakin. "Bisa jadi! Pada saat itu belum ada pengobatan yang memadai. Kepercayaan dan harapan orang-orang pada shaman menstimulasi neurotransmitter di otak mereka untuk membentuk meningkatkan mood psikologis!"

Dengan semangat yang tersisa, Hana menuliskan hipotesa di buku catatannya. Namun, belum rampung satu kalimat, gerakan tangannya terhenti.

"Ani! Meski efek sugesti sekalipun, cacar adalah virus yang mematikan! Virus ini bekerja dengan cepat dan bisa menimbulkan komplikasi bila tidak segera ditangani!" Hana menggeleng, menampik kesimpulannya beberapa detik yang lalu. "Aish! Ini sungguh membingungkan!"

Suara Hana menyentakkan para anggota departemen farmasi di luar ruangan. Sebagian dari mereka menggeleng diselingi cekikikan geli, sebagian lagi kompak memperingatkan rekannya agar tidak berisik. Meski loyalitas Hana tidak diragukan, ketua tim mereka bisa berubah menjadi sosok yang sangat tegas bila sedang fokus memecahkan masalah. Dalam mode serius, tidak ada satu orang pun dari mereka yang berani membuat polusi suara di ruangan, apalagi mengetuk pintu ruang kerjanya.

Kecuali satu orang yang celakanya sedang mengintip lewat sekat kaca. Pria dengan lesung pipi manis paling manis seantero Korea, berdasarkan pengakuan pribadi.

"Kim Siwoo sajang-nim!" Asisten apoteker berseru tertahan.

"Ne, annyeonghaseyo!"

Siwoo menyapa dengan ucapan formal yang dibuat bercanda. Meski begitu, para staf farmasi di sana langsung menunduk dalam-dalam. Bagaimana tidak, Kim Siwoo adalah putra pertama presdir yang saat ini memegang jabatan krusial sebagai CEO dari Royal Medical Group.

"Annyeonghaseyo, Sajang-nim."

Siwoo menangguk ringan kemudian memutar kepala untuk menemukan keberadaan seseorang. "Apakah ada di antara kalian yang melihat adik kesayanganku?" tanyanya setengah tertawa.

"Itu ...." Asisten apoteker mengigit bibir dan bertukar pandang dengan stafnya yang lain. Belum sempat melanjutkan, Siwoo sudah lebih dulu menunjuk ke arah ruangan Hana dengan sebelah sudut bibir tertarik.

"Eotteoghge ... kita dalam masalah setelah ini." Salah seorang staf berujar rendah. "Hana-ssi sedang tidak bisa diganggu."

"Tapi tidak ada yang bisa melarang sajang-nim," timpal satu staf yang lain menggaruk kepala. "Nasib kita ada di tangannya."

Siwoo yang mendengar itu setengah mati menahan tawa. Selagi para staf sibuk berbisik dan merembukkan alasan, ia melenggang dengan santai ke ruangan Hana dan mengejutkan sang adik yang sedang bergelut dengan isi kepalanya sendiri.

"Aigoo ... adikku rajin sekali!" Siwoo menarik kursi Hana hingga nyaris terjungkal.

Hana dengan sigap menahan kedua kakinya di lantai dan berteriak. "Ya, Oppa! Geumanhae! Kau membuatku jantungan!"

Siwoo tertawa dan mengacak rambut Hana. Beberapa gurat samar terbentuk di dahinya begitu pandangannya tertuju pada kayar monitor. "Apa ini? Sejak kapan kau belajar sejarah?"

"Bukan apa-apa! Oppa jangan mengganggu, aku sibuk!" Hana mencebik kemudian mendorong tubuh Siwoo agar menjauh dari komputernya. "Kalau tidak akan kuadukan pada ayah!"

"Ayah?" Siwoo terkekeh. "Justru karena itu aku ada di sini."

"Ayah? Ada apa?"

"Ayah ingin menyampaikan sesuatu." Siwoo menarik kursi dan duduk di hadapan Hana. "Ini hal yang sangat penting."

Hana menautkan kedua alisnya. "Mwonde? Kenapa ayah tidak mengatakannya langsung padaku?"

"Ayah baru pulang dari New York lusa nanti. Masalah ini harus dibicarakan langsung."

Tautan di kening Hana semakin dalam, membuat alisnya terlihat nyaris menyatu. Ia mengamati gerak-gerik Siwoo sebelum memutuskan untuk percaya. Meski sering bercanda, Siwoo tidak pernah main-main bila urusan tersebut menyangkut keluarga, apalagi ayah mereka. "Jadi, ada apa sebenarnya?"

Siwoo menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. "Walikota Seoul mengajukan lamaran untuk putranya."

"Mworagu? Lamaran? Untuk siapa?"

Hana memekik dengan nada naik sekian oktaf hingga suaranya terasa tercekat di pangkal tenggorakan. Sorot matanya terpaku pada Siwoo yang meringis sembari menutup sebelah telinga. Sungguh, Hana sudah jenuh mengurusi masalah percintaan, apalagi langsung dihadapkan dengan pernikahan. Hana jelas ingin menikah, semua mahkluk butuh cinta. Namun, tidak sekarang saat ia sibuk dengan urusan penelitiannya yang belum menemukan titik terang.

"Kita bersaudara hanya berdua." Siwoo tertawa kering.

"Oppa, jangan bercanda!"

"Aninde," kata Siwoo lembut. "Ayah dan walikota teman lama. Mereka sudah mengatur ini sejak dulu. Seharusnya perjodohan ini nanti setelah pemilu, tetapi walikota merasa sangat berterima kasih padamu karena kau berhasil menyelamatkan istrinya."

"Silheoyo! Aku tidak mau dijodohkan!" Hana bangkit. "Bisa tidak mereka berterima kasih dengan cara lain saja? Perjodohan? Hah, lucu sekali!"

"Cara lain bagaimana? Memangnya sekarang apa yang kau butuhkan?" Siwoo mencibir kemudian berjalan mengitari adiknya.

"Ya, apa saja!" Hana mengerucutkan bibir.

"Kim Hana, putri presdir Royal Medical Center, adik dari CEO Royal Medical Group yang sangat tampan." Siwoo menepuk dada kemudian memperhatikan Hana dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan mata memicing. "Apalagi yang kau butuhkan selain seorang pendamping hidup?"

Hana mengerutkan wajah dan mengorbitkan bola matanya dengan jengah. Selain lesung pipinya, Siwoo juga memiliki mulut yang sangat manis. Meski apa yang dikatakan kakanya tersebut tidak salah, Hana seratus persen yakin jika Siwoo hanya berusaha mengambil hatinya.

"Oppa, bagaimana mungkin kau tega membiarkan adikmu dijodohkan dengan sembarang orang?" ujar Hana setengah menuntut.

"Hana-ya, kalau perlu kuulangi, dia adalah anak walikota Seoul." Siwoo menepuk pundak adiknya dari belakang. "Lagipula, dia juga-"

"Tidak! Pokoknya aku tidak mau!" potong Hana cepat. Ia mendongak pada Siwoo dengan tatapan memelas. "Oppa, aku tidak mau dijodohkan dengan orang yang tidak kukenal!"

"Sebentar! Kau tidak tahu putra walikota Seoul?" Siwoo memiringkan kepala. Sudut matanya mengerling ke atas, berusaha mengingat sesuatu. "Dia datang di acara ulang tahun rumah sakit bulan lalu."

"Geulsseyo! Memangnya?" Hana menggeleng dan menutup mulut dengan sebelah tangan. "Oppa, jangan bilang dia tidak ...."

"Tidak ...?" Siwoo mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Sejurus kemudian ia tersenyum simpul. Sebuah niat jahil terlintas di benaknya begitu membaca kekhawatiran Hana. Dengan wajah penuh empati, ia mengangguk prihatin. "Ah, arayo! Kita punya standar visual yang sama."

"Ja-jadi, bagaimana ...?" Hana menelan ludah dengan kecut.


Siwoo menggeleng dan menatap Hana prihatin. "Aku takut mengatakan ini tapi ...."

"Tapi apa?" Hana terkesiap dan memukul pelan lengan Siwoo yang sengaja menggantungkan ucapannya. "Oppa, jangan main-main!"

"Dwaesso, bukan apa-apa." Siwoo mengedikkan bahu. "Paling tidak, konsep pernikahan kalian nanti sudah jelas."

"Konsep pernikahan?" Dahi Hana semakin berkerut. "Konsep pernikahan bagaimana?"

Siwoo menoleh dan memandang keluar ruangan sejenak sebelum berbisik di telinga Hana. "Beauty and The Beast."

"Yaaa!" Hana berteriak frustrasi. "Jugeullae?!"

Siwoo spontan terbahak melihat reaksi Hana dan bersiap-siap untuk mengambil langkah seribu. Menjahili Hana memang hal paling menyenangkan di dunia.

"Oppa, jangan kabur!" Hana mengejar Siwoo yang melarikan diri dari ruangannya. Para staf yang baru kembali ke pekerjaan masing-masing pun dibuat terkejut dengan dua orang kakak-beradik-anak dari presdir rumah sakit pula--yang saling kejar-kejaran.

"Tidak kena!" Siwoo berkelit dengan gesit dan kabur menuju pintu utama. Tangannya menyapu udara berulang kali, memberi isyarat bagi orang-orang untuk membuka jalan baginya.

"Tahan dia!" seru Hana pada stafnya.

"Jangan coba-coba kalau kalian masih senang bekerja di sini!" Siwoo mengedipkan sebelah mata dan menyelinap di balik orang-orang yang memilih bergeming di tempat. Tentu saja, Siwoo bisa memberhentikan mereka dengan mudah, meski secara teknis tidak akan semudah itu.

"Oppa!" Hana mengejar Siwoo sampai di koridor rumah sakit. Begitu langkah Siwoo melambat ketika ponselnya berdering, Hana mengambil kesempatan untuk memburu.

"Ya, ayah. Aku sedang berbicara dengan Hana. Akan kutelepon kembali nanti!" Siwoo menjawab panggilan dengan mata tertuju pada Hana yang semakin mendekat. Setelah mengakhiri panggilan, ia kembali mengambil ancang-ancang untuk menhindar, tetapi Hana berhasil menjangkau dompet tebal yang tersemat di saku celanya.

"Wah, coba lihat!" Hana menghentikan langkah, hanya untuk mengelus permukaan dompet berbahan kulit yang mewah milik sang kakak. "Apakah ini aset kekayaan Kim Siwoo?" katanya setengah mencemooh.

Siwoo memutar tubuh dan meraba sakunya yang rata. "Ya, Kim Hana! Kembalikan dompetku!"

"Tidak akan!" Hana memasukkan dompet Siwoo ke dalam kantong seragamnya. "Dompet ini disita!"

"Aish!" Siwoo berlekas menghampiri Hana, tetapi adiknya itu malah membalikkan badan dan mengacir pergi. "Kim Hana! Berhenti di situ!"

Hana hanya menoleh dan menjulurkan lidah. Siwoo yang merasa gemas pun tidak tinggal diam dan ganti mengejar sang adik.

"Jamkkanman!" Hana menahan langkah kemudian berbalik pada Siwoo yang ikut memperlambat kelajuan dengan menahan kakinya di lantai. "Bukankah tadi aku yang mengejar? Kenapa sekarang jadi terbalik!"

"Oh, iya. Benar juga." Siwoo menyengir dan melangkah mundur. Sepersekian detik kemudian ia kembali memutar haluan dan menghindari Hana yang menyusulnya dengan gemas. Beberapa perawat yang kebetulan berpapasan dengan mereka hanya menunduk sambil tertawa.

Semantara itu, selagi Hana dan Siwoo sibuk kejar-kejaran mengelilingi rumah sakit, seorang lelaki yang baru muncul dari lift memperhatikan keduanya sambil tersenyum geli. Sorot matanya yang semula menghangat perlahan-lahan redup begitu selintas bayangan di masa lalu berkelebat di ingatannya.

Lelaki tersebut menghela napas panjang sebelum berujar lirih pada angin lalu. "Syukurlah, mereka sekarang hidup bahagia."

🌷🌷🌷

📍N. Grill Restaurant, Namsan Seoul Tower

Hana mengaduk koktail buah di hadapannya dengan tidak minat. Minuman yang harusnya menyegarkan itu kini terasa hambar. Hanya pemandangan kota Seoul dari lantai atas Namsan Tower yang membuat Hana sedikit terhibur.

Siwoo mengamati sang adik yang berulang kali menghela napas sambil membuang pandangan ke arah jendela. Begitu Hana menopang dagu, ia lekas mengulurkan tangan untuk mencegah rambutnya terkena krim vanila dari kue puff. Siwoo memang sengaja memesan banyak dessert, meski sampai detik itu Hana belum menyentuh satu pun.

"Awas rambutmu," kata Siwoo sembari menyeka rambut Hana ke belakang pundak.

Hana menegakkan badan dan menatap Siwoo sambil memelas. "Oppa, aku tidak mau dijodohkan!"

Siwoo berdecak kecil. Hana memang terlihat sebagai perempuan yang mandiri di mata orang-orang, tetapi begitu berhadapan dengannya, Hana tetaplah adik perempuan yang akan selalu merengek manja.

"Araseoyo, aku tidak akan memaksa." Siwoo menurunkan nada bicaranya, berharap Hana luluh. "Tapi setidaknya hadirlah di acara makan malam besok. Bagaimana?"

"Tidak!" Hana bersedekap. "Bukankah itu sama saja dengan memberi persetujuan secara tidak langsung?"

"Hana-ya, kita tidak bisa menolak undangan dari putra walikota. Ini bukan hanya tentang kalian berdua, tapi juga hubungan ayah dan rumah sakit. Hanya makan malam dan selesai. Sisanya serahkan padaku. Aku yang akan membujuk ayah."

Hana memicing curiga pada Siwoo. "Janji?"

"Janji!" Siwoo menepuk dadanya. "Aku ini putra kepercayaan ayah."

Hana berpikir sebentar, menilai tindak-tanduk Siwoo sebelum ia menggeleng tegas. "Tidak bisa."

"Tidak bisa?" Siwoo menjatuhkan rahang. Ia nyaris kehabisan akal membujuk Hana. "Kenapa?"

"Oppa, aku sibuk meneliti. Aku sedang membuat review artikel." Hana memijat dahi.

"Seorang Kim Hana kesulitan membuat ulasan artikel?" Siwoo terkekeh. "Adikku yang manis, itu tidak mungkin. Aku tahu benar kemampuanmu. Kau cerdas seperti kakakmu ini."

Hana mendecakkan lidah dengan gemas. "Masalahnya ini artikel sejarah. Aku kekurangan referensi."

"Kau benar-benar melakukan studi retrospeksi sampai zama Joseon?" Siwoo terkejut sampai matanya terbeliak.

Hana spontan menepuk dahi. Siapa yang barusan menyombongkan kecerdasannya dengan percaya diri?

"Tidak ada studi retrospekstif sampai ratusan tahun, Oppa!" ujar Hana frustrasi. "Aku hanya mempelajari wabah cacar di zaman kerajaan yang tiba-tiba menghilang. Rasanya mustahil kasus besar seperti ini bisa diberantas tanpa pengobatan yang jelas."

Siwoo mengangguk-angguk, meski tidak sepenuhnya paham. "Lalu kendalanya di mana? Kau bisa membaca referensi lain dan permasalahan selesai."

"Itu dia!" Hana meringis. "Aku tidak menemukan artikel pendukung yang lain. Mungkin ada di kitab-kitab sejarah, tapi bagaimana mungkin aku menemukannya."

"Kitab sejarah?" Sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepala Siwoo. Ia menepuk meja dan menjentikkkan jari di depan wajah Hana. "Aku akan menghubungi Do Hyun. Dia bekerja di perpustakaan Gyujanggak!"

"Benarkah?" Hana duduk tegak. "Oppa bisa menghubunginya?"

"Tentu saja bisa. Tapi ada syaratnya ...." Siwoo menyeringai kecil pada Hana. "Kau harus menghadiri undangan makan malam besok. Bagaimana, setuju?"

Hana memejam erat. Ia tidak ingin terlibat dengan putra walikota Seoul, bahkan hanya sebatas makan malam. Namun, ia butuh akses ke perpustakaan Gyujanggak. Dengan berat hati ia menyambut uluran tangan Siwoo yang tersenyum penuh kemenangan.

"Ya. Aku setuju."


다음에

Kim Siwoo si bapak CEO
😁😁😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top