Namanya Dynamo
Pagi belum menjelang, langit masih gelap. Celoteh mencicit para makhluk yang rasanya seperti ayam belum terdengar. Ceruk-ceruk aneka warna berjajar. Tak hanya di area Lembah, di area Bukit pun tersedia. Begitu pun masih terbagi lagi, area Dalam yang tanahnya licin dan area Luar yang lebih mudah untuk menjejak serta terpapar sinar mentari dan rembulan.
Pada waktu yang sudah ditentukan ceruk-ceruk itu akan terisi dengan butiran pakan. Para penghuni akan berkumpul di dekat ceruk-ceruk mereka yang biasa. Menunggu dengan sabar, pada waktu-waktu di mana mentari baru saja terbit dan baru saja terbenam. Berharap mereka yang memiliki wewenang untuk membagikan butiran pakan, melakukan tugas mereka lebih cepat.
Beberapa dari para penghuni yang sudah dianugerahi nama memiliki tugas untuk melakukan upacara untuk memanggil mereka yang akan membagikan butiran pakan. Semakin jauh waktu berlalu dari saat cahaya mentari terbit, upacara pemanggilan yang dilakukan semakin bersifat mendesak. Menorehkan pisau-pisau mungil pada kayu pipih tebal yang berat sembari terus berteriak, menirukan suara bocah-bocah ketika sedang memanggil induk mereka.
Tak lama setelahnya, dari balik kayu pipih tebal itu akan terdengar suara mereka yang memiliki wewenang untuk membagikan butiran pakan. Debam langkah ketika beradu dengan lantai licin, diikuti dengan suara klak-klik mekanisme yang tak mereka pahami. Kemudian kayu pipih tebal nan berat itu akan berayun dengan derit lirih.
Makhluk raksasa botak pun muncul di hadapan para penghuni. Saking botaknya, mereka membutuhkan beberapa lembar kain untuk menutupi sebagian tubuh—mungkin supaya tidak kedinginan? Buktinya kepala mereka, sedikit dari bagian tubuh yang tidak botak jarang ditutupi kain. Melihat mereka menimbulkan perasaan iba. Berdiri dan berjalan hanya dengan kaki belakang sementara kedua tangan berayun-ayun tak jelas, mereka terlihat canggung dan aneh.
Namun para penghuni tahu diri untuk tidak meremehkan makhluk-makhluk raksasa botak itu. Mereka biasanya cukup pemurah tetapi saat sedang tidak senang, mereka bisa menyegel akses menuju area dalam yang nyaman, bahkan saat ribuan tetesan air berjatuhan dari langit. Lalu hal penting yang perlu diingat, bila sedang sangat murah hati, sewaktu-waktu para penghuni bisa mendapatkan berkah berupa daging lezat. Karena itulah secara turun-temurun mereka berusaha menguasai keahlian untuk bersikap semanis mungkin pada para makhluk raksasa botak yang memiliki wewenang untuk membagikan butiran pangan.
Cici, walau pendatang dia termasuk salah satu yang mendapat anugerah nama. Makhluk raksasa di tempat lamanya lah yang memberinya nama itu. Biasanya dia tidak ikut upacara pemanggilan, hanya menunggu di dekat ceruk-ceruk berwarna tempat dia biasa makan. Para penghuni lain tidak suka pendatang sepertinya ikut upacara pemanggilan. Tak masalah baginya. Dia hanya perlu bersikap sopan dan ikut memohon dengan suara manis.
Dibandingkan di tempat lamanya, tempat ini jauh lebih baik. Walau terbatas, karena harus memikirkan pandangan para penghuni lama, Cici bisa bebas berjalan-jalan. Tak perlu harus berdiam diri di kamar berdinding jeruji lagi. Dia bahkan diizinkan untuk melangkahkan kaki ke dunia luar bila dia mau.
Sayangnya Cici tak begitu suka dunia luar. Terlalu banyak hal yang terasa mengancam. Entah kenapa penghuni lain sangat senang bila papan pipih tebal yang membatasi dengan dunia luar dibuka. Mereka akan dengan senang hati mengejar daging hidup yang melata maupun yang bersayap. Di mana senangnya itu, bila Cici hanya mampu menangkap ujung ekor daging melata yang bisa merayap di dinding.
Dipaksakan mengejar pun Cici seringkali keburu lelah. Dapat dipastikan dirinya akan mati kelaparan bila tak bisa kembali ke dalam. Mungkin karena itu juga Cici sangat takut kalau-kalau papan pipih tebal itu ditutup selagi mereka masih di dunia luar. Dia hanya berani berkeliaran di dekat gerbang logam.
Suara bulir-bulir pakan yang beradu dengan ceruk membuat para penghuni bergegas menuju tempat masing-masing. Cici menunggu hingga penghuni lain mulai makan, baru dia melangkah perlahan ke ceruk yang masih kosong. Sejauh mungkin dari yang lain.
Belum puas dia menelan bulir-bulir pakan, beberapa penghuni tiba-tiba mengangkat kepala dengan waspada. Beberapa kali matahari terbit dan terbenam yang lalu, Cici hanya bisa kebingungan melihat mereka. Namun kali ini dia paham dan segera menggunakan reaksi para penghuni lain untuk bergegas menyingkir, mencari tempat berlindung.
Benar saja. Dari arah area Bukit, sekelebat jingga meluncur turun dengan ringan. Tiap tapaknya pada undakan bersuara berat, terlepas dari sosoknya yang langsing. Entah pelatihan macam apa yang dijalani olehnya hingga bisa mendapatkan bentuk yang ramping tetapi padat, liat, dan lentur begitu.
Setelah menapakkan kaki di Lembah, sosok yang sama melangkah menuju ceruk-ceruk. Tenang dan mantap. Tidak mengendap-endap, juga tidak terburu-buru. Dagu terangkat bangga dan ekor tegak santai. Sesampainya di tujuan, dia membuka mulut lalu bersuara parau, memanggil. Suara vulgar yang bisa sewaktu-waktu berubah jadi raungan keras, sangat berbeda dengan suaranya sendiri. Konon suara serak itu juga yang membuat si Tabby Jingga diberi anugerah nama: Dynamo.
Mendengar panggilan Dynamo, segera saja menyusul dua ekor anak-anaknya. Tak kalah lincahnya, para kucing muda itu menuruni undakan. Kemudian menyusul juga seekor sosok dominan putih dengan sedikit warna jingga dan hitam, ekor panjangnya yang ramping melambai anggun.
Dengan langkah-langkah ringan yang nyaris tanpa suara dia bergabung dan menyapa Dynamo dengan menyentuhkan dahi ke leher Tabby Jingga itu. Disambut dengan belai sayang dari Sang Penguasa Baru.
Cici hanya bisa terbelalak heran. Dia masih ingat ketika dirinya dan beberapa ekor penghuni lain menerima tamparan dan serangan dari si Tabby Jingga, hanya karena berdiri terlalu dekat dengan ceruk-ceruk tempat mereka makan. Sedangkan sosok dominan putih yang bahkan tidak bernama itu, dibiarkan ikut makan bersama anak-anak Dynamo.
Awalnya semua mengira si Dominan Putih itu anak Dynamo juga. Akan tetapi para kucing muda yang mirip dengan si Tabby Jingga, bersikap lebih hormat kepadanya dibanding pada sesama saudara. Sikap sayang Dynamo kepadanya juga sedikit berbeda dengan saat kepada anak-anaknya sendiri. Membuat banyak yang bertanya-tanya identitas si Dominan Putih.
Beberapa berspekulasi bahwa si Dominan Putih adalah anak dari mendiang Tiwuk, kucing pendatang yang juga menjadi Ibu angkat Dynamo. Tetapi kalau hanya karena itu seharusnya Cici yang juga anak Tiwuk juga disayang oleh si Tabby Jingga. Kenyataannya, justru Cici adalah salah seekor yang mendapat perlakuan paling buruk dari Dynamo.
Para penghuni lain hanya dibentak atau diancam dengan satu-dua tamparan. Sedangkan Cici harus menerima diterjang, dibanting, dan dicakar bertubi-tubi. Entah hanya sebagian dari itu maupun semuanya berturut-turut. Dynamo seperti memiliki kebencian tersendiri pada Cici.
Sungguh kebetulan, Cici pun demikian. Hanya saja tidak seperti Dynamo, betina belang tiga itu tak punya nyali dan kekuatan yang cukup untuk membalas perlakuan si Tabby Jingga padanya. Ditambah kenyataan bahwa terlepas dari usianya yang lebih tua dari Dynamo berbulan-bulan—bahkan mungkin satu atau dua tahun, Cici tak punya seekor pun anak.
Seekor kucing jantan cukup disegani asalkan punya kekuatan dan mampu mengalahkan kucing lain. Sedangkan untuk mendapatkan posisi tinggi sebagai kucing betina, seseekor harus memiliki keturunan. Jumlah tentu saja penting, tetapi kualitas lebih penting lagi. Semakin banyak keturunan yang sukses, makin tinggi juga posisi seekor betina.
"Warnanya tiga macam, tetapi wajah runcing dan bulu putihnya sungguh mirip dengan Paduka Vanilla," bisik seekor penghuni pada yang lain.
"Ah, banyak di antara kita yang berwajah runcing dan bulu dominan putih. Konon Yang Mulia Paduka Penguasa Pertama juga demikian."
"Berarti betina muda itu masih sedarah dengan kita? Dari betina mana dia lahir?"
Cici melengos menjauh mendengar bisik-bisik gosip dari para penghuni. Beginilah kalau populasi satu koloni sudah terlalu banyak. Siapa anak dari siapa, sulit dilacak. Apalagi akibat perkawinan antar kerabat, bau mereka bercampur baur. Kalau Cici tak salah ingat, si Dominan Putih itu juga salah satu anak dari betina abu-abu pucat. Keturunan langsung dari sang Betina Penguasa Pertama.
Terdengar suara panggilan nyaring dan panjang dari balik papan kayu tebal ganda yang membatasi dunia luar. Beberapa penghuni yang mengenali suara itu langsung menegakkan telinga. Dynamo yang tadinya asyik makan dengan santai, kini memanjangkan ekor. Mendatar nyaris lurus dengan punggungnya, waspada.
Cici menyunggingkan senyum. Kesempatan yang dia tunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah berbulan-bulan berkelana, satu-satunya betina yang bisa menandingi si Tabby Jingga akhirnya pulang. Paduka Pippi, betina berwarna abu-abu pucat. Cucu dari Paduka Vanilla, keturunan Paduka Penguasa Pertama, juga induk dari sebagian besar penghuni saat ini.
Mungkin karena mereka yang berwenang untuk membagikan makanan pada para penghuni akhirnya mendengar panggilan Pippi, salah satu bangkit dari duduknya. Dengan langkah berdebam salah satu dari mereka yang berwenang untuk membagikan makanan pada para penghuni itu bergegas ke papan kayu tebal ganda. Namun belum sempat kaki depan yang berjari-jari panjang itu menyentuh gagang logam, salah satu papan kayu tebal berderit membuka.
Kucing-kucing muda tampak terkejut, tetapi Cici dan generasi lama sudah tahu. Pippi adalah salah satu dari sedikit kucing yang memiliki kemampuan untuk membuka papan kayu tebal. Kemampuan yang seharusnya hanya dimiliki oleh mereka yang berwenang untuk membagikan makanan.
Pippi melangkah masuk, segera menuju ke ceruk-ceruk tempat makanan biasa dihidangkan. Tidak terlalu terburu-buru tetapi juga tidak perlahan. Namun langkahnya terhenti ketika manik mata hijau-kelabunya beradu dengan pandangan tajam dari mata hijau kekuningan Dynamo. Samar, terdengar geraman dari Tabby Jingga itu.
Cici menelan ludah.
- Cuap-Cuap Prakash -
Halo, semuaaa! >w<)/
Bagaimana perasaannya membaca karya percobaan genre Wuxia-Fabel ini? Bingung? Seru? Bingung-bingung seru? Seru-seru bingung? Jangan khawatir, saya yang nulis juga sambil bingung, kok~ (hahaha)
Rencana menulis tentang para meng sudah ada sejak sekitar setahun lalu, ketika event MWM 2022. Hanya saja saat itu saya tidak jadi bergabung dan konsepnya terpendam hingga saat ini. Bahkan hingga beberapa minggu menjelang join event tahun ini saya masih ragu apakah akan membuat cerita kali ini ala Kerajaan (maca Game of Throne, meng edition) atau ala Wuxia.
Kisah pergulatan fisik dan politik para meng ini sudah jadi inside joke di rumah. Tentang siapa menang lawan siapa, kucing mana yang paling pengecut, kucing mana yang paling bikin rusuh, hingga siapa yang jadi alpha bagi koloni meng dan apa saja kriterianya. Apalagi sejarah dinasti para meng ini sudah berlangsung cukup panjang, dimulai sekitar belasan tahun yang lalu oleh Yang Mulia Paduka Ratu Cherry, the first Queen.
Sayangnya tidak semua silsilah tercatat. Ada meng-meng yang keburu dipanggil ke alam sana sebelum sempat diberi nama, ada yang diadopsi, ada juga yang minggat dan tak kembali. Kalau harus menulis tentang semuanya juga bakal terlalu panjang dan bertele-tele. Jadi untuk cerita kali ini fokus pada salah satu alpha paling notorius dan relatif sukses, dengan perubahan dan penyingkatan di sana-sini.
Sambil menulis saya sekalian mengenang para meng yang sudah tidak ada. Jadi ingat kelakuan-kelakuan lucu dan aneh mereka. Setengah terharu setengah sebal, jadinya.
Semoga para pembaca sekalian cukup betah untuk mengikuti sepak-terjang (secara harfiah) Dynamo dkk. hingga berchapter-chapter ke depan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top