Arai

"Ancang-ancangmu terlalu cepat."

Komentar parau guru sekaligus induk angkatnya membuat Pulon menghentikan langkah. Lawannya, saudara angkat Pulon yang berukuran lebih besar dari betina itu, ikut mendarat di dekatnya. Dek beton tebal dan padat meredam suara entaknya.

"Ancang-ancangnya siapa, Mak?" raung Alpaca, bertanya dengan antusias.

"Aku," jawab Pulon. Pelan, nyaris tak terdengar bila yang lain tidak berhenti bersuara.

"Kau bisa keburu kehabisan tenaga kalau terlalu awal melompat. Bukannya menjatuhkan lawan atau berhasil kabur, kalian hanya akan jadi adu kejar yang makin menggerogoti stamina. Sesuatu yang sejak awal tak terlalu banyak kau miliki."

Pulon melirik diam-diam pada otot tebal dan liat yang dimiliki oleh Dynamo. Betina muda itu iri. Berkali-kali Pulon mendengar kisah keperkasaan nenek dan nenek buyutnya. Mengapa dia malah mewarisi tubuh mungil induk kandungnya. Berapa banyak pun nutrisi yang dia makan, dia tak bisa membangun otot yang sama dengan saudara dan induk angkatnya.

"Mak, Paca, Kakak Pulon!"

Seekor pejantan berwarna jingga yang lebih pekat dari warna bulu Dynamo, datang menyapa. Motif di tubuhnya berbeda dengan Dynamo, entah pejantan mana yang memberikan benih hingga menghasilkan motif seperti bolu marmer di kedua sisi tubuh Serval.

"Aku kembali dari patroli."

Dynamo hanya mengangguk mengiyakan. Betina itu tidak mengucapkan dengan kata-kata tetapi Pulon bisa melihat tatapan bangga pada sorot mata gurunya ketika memandang pada kedua ekor jantan muda itu.

Mereka belum lama ini melewati usia setahun, untuk hitungan manusia kira-kira sekitar usia remaja 15-17 tahun. Namun postur mereka tak kalah dari para penghuni jantan lain di tanah itu. Bahkan kedua ekor putera Dynamo mampu berpatroli ke luar lebih jauh dari pejantan-pejantan dewasa yang ada.

"Val, kau bertemu dengan lawan menarik di luar?" Alpaca melompat dari dek tempatnya bertengger untuk memberi salam pada saudaranya.

"Tidak ada yang menarik."

Alpaca tergelak. "Mereka semua keburu kabur hanya karena melihat kita datang," komentar pejantan muda itu. Bukan sedang menyombongkan diri, dia hanya mengatakan kebenaran. Tak banyak sesama pejantan yang bisa mengalahkan duo jingga itu.

"Tapi aku bertemu Arai."

Telinga Dynamo berkedut mendengar nama itu disebut. Pulon tak begitu kenal dengan satu-satunya saudara perempuan yang lahir berbarengan dengan Alpaca dan Serval. Betina muda dengan warna kelabu dan semburat jingga. Seperti dua saudara jantannya, ekor Arai panjang sempurna. Perut dan ujung kaki putih serta cincin selang-seling kelabu-putih di ekor, membuat Arai masuk kategori belang tiga, sama seperti dirinya.

"Heeeh, gimana kabarnya Arai?" tanya Alpaca.

"Dia ... mengandung."

Dynamo berdecak tak senang sebelum bangkit dari tempatnya berbaring sedari tadi, untuk menuruni area puncak. Menuju lereng.

"Ada apa dengan Arai?" bisik Pulon, setelah yakin Dynamo sudah terlalu jauh untuk mendengar pertanyaannya.

"Ah, Kak Pulon baru sebentar ikut Emak waktu Arai minggat, ya?"

Komentar Alpaca menambah rasa penasaran dalam diri Pulon.

"Emak ingin Arai berlatih memperkuat diri dulu, persiapan untuk jadi penerus kalau ada apa-apa dengan dirinya. Tapi Arai tak mau. Berbeda dengan Emak, Arai tidak suka pertikaian. Dia hanya ingin hidup tenang dan memelihara anak sebanyak-banyaknya."

Serval menjelaskan panjang lebar dengan hati-hati.

Pulon ingat ketika hari-hari awal Dynamo mengajaknya ikut berburu. Arai sangat jarang bergabung. Daging mangsa yang dibawakan oleh betina jingga saat mereka sendiri gagal mendapatkan mangsa pun tak disentuhnya.

"Emak tak kenal ampun untuk kucing manapun yang tidak ikut berusaha. Kalau hanya sesekali gagal, kami masih dibawakan buruan, tetapi Arai terlalu sering gagal." Alpaca ikut menimpali.

"Arai jadi lebih sering ikut makan bersama para penghuni. Lalu ketika Emak mulai membuat ultimatum pada kucing-kucing yang tak setuju dengan dirinya, Arai ikut pergi."

Pulon tercekat. Betina muda itu tak menyangka dirinya dan Arai bernasib serupa. Mereka sama-sama tidak diakui oleh induk kandung masing-masing. Gelombang rasa tak enak yang sudah lama tak muncul sejak dirinya ikut sebagai anak didik Dynamo, perlahan berputar dalam perutnya. Ketakutan lama yang pernah bercokol lama di benak betina muda itu.

"Aku sudah mendengarnya," ujar seekor betina belang tiga yang tetap cantik walau jauh lebih tua dari Dynamo, beberapa mentari terbit dan terbenam setelah kabar dari Serval itu.

"Baguslah kalau telingamu berfungsi, Cici," geram Dynamo ketus. Mencoba tak mengacuhkan sosok yang sedang melenggok dan melenggang di hadapan dirinya. Seperti sengaja memilih waktu ketika Dynamo turun ke Area Lembah untuk minum.

Para penghuni asli yang sejak awal sudah tegang karena kedatangan Dynamo, semakin was-was dengan kelakuan betina belang tiga itu. Beberapa memilih menyingkir dari ceruk air, berjaga-jaga bila terjadi pertumpahan darah dan bulu.

Sepertinya pertemuan Serval dengan Arailah yang memicu desas-desus di kalangan para penghuni. Segala bentuk berita jelek mengenai Dynamo jelas akan dilahap dengan senang hati oleh Cici.

"Pantas saja aku tak pernah melihatnya lagi belakangan ini. Kau sudah mengusir anak betinamu sendiri, kan?" Betina belang tiga itu meneruskan, tanpa memedulikan tanggapan tak ramah dari si Jingga. "Mananya yang katamu mau membuat tanah ini jadi tempat yang aman dan nyaman bagi keluarga, anak kandung sendiri saja kau usir?"

Sungguh menakjubkan bagaimana betina belang tiga itu bisa membuat suara lembut yang sama dengan induk angkat Dynamo, terdengar sangat menyebalkan.

"Ucapan tentang anak, dari seekor betina yang bahkan tak pernah bisa bersalin dengan benar."

Balasan Dynamo itu cukup untuk membuat tak hanya Cici, tetapi juga beberapa penghuni yang masih berada di sekitar mereka, terbungkam. Bahwa kegagalannya menghasilkan keturunan sudah menjadi rahasia umum di kalangan penghuni, baik asli maupun pendatang, cukup untuk membuat betina belang tiga itu mundur.

Si Jingga mendengkus, lalu melanjutkan minumnya.

Telinga Cici turun, ekor pendeknya mengibas tak senang. Namun Dynamo tahu, Cici tak akan langsung menyerang, betina itu terlalu pengecut. Mungkin setelah dirinya berbalik atau dalam situasi sangat lengah—yang sepertinya hanya akan terjadi di kemungkinan yang sangat kecil, barulah betina belang tiga itu akan berani mencoba untuk menyerang.

Betina jingga itu hanya perlu terus berlatih dan berburu untuk mempertajam indera dan kemampuannya agar Cici dan para penghuni lain yang tak setuju dengan kebijakannya tak bisa melawan balik.

"Paduka Pippi tak bisa diandalkan," keluh salah seekor penghuni, putih dan jingga, berbisik pada yang lain.

"Jaga bicaramu!" bisik yang lain. Sekujur tubuhnya putih, hanya kedua telinganya saja yang cokelat, tegak, menjorok maju menantang si Putih Jingga. Tetapi yang lain tak ikut antusias dengannya.

Entah sejak kapan, beberapa ekor penghuni yang tak menyukai sikap tiran Dynamo diam-diam berkumpul. Awalnya mereka hanya bermaksud untuk saling mengeluh, semacam sesi katarsis pengurang stres. Lalu pertemuan itu perlahan berubah jadi diskusi rahasia untuk menggulingkan kekuasaan si Jingga.

"Habisnya ... Seharusnya sekarang Paduka Pippi yang berkuasa, tapi saat berhadapan dengan si Namo itu, Beliau tak berkutik," keluh yang lain lagi.

"Paduka Pippi bukan petarung, beda dengan si Barbar itu," kilah si Putih Cokelat. "Beliau subur dan pandai membesarkan keturunan. Klan kita makmur bersama Paduka Pippi."

"Percuma punya banyak keturunan tetapi tetap tidak bisa mempertahankan tempat yang nyaman untuk makan dan tidur!" cemooh si Putih Jingga. "Lihat! Pantatku mulai pitak karena stres diganggu si Oyen dan anak-anaknya setiap kali mau tidur siang di Area Bukit."

"Kamu juga Oyen, kenapa tidak coba menantang saja?" celetuk yang lain.

"Jangan bercanda! Kau ingin saudaramu ini mati muda? Aku masih ingin makan daging lezat, tahu!"

Pada akhirnya pembicaraan mereka tak lagi berlanjut. Memang tidak senyaman tempat yang sekarang diduduki oleh Dynamo dan anak-anaknya, tetapi tempat persembunyian itu terlalu nyaman untuk tidak digunakan sebagai tempat tidur siang.

"Sepertinya Paman juga sudah mendengar kabar soal anak perempuanku?"

Dynamo berkata tanpa menoleh dari tempatnya duduk.

Pertapa yang baru saja datang tak langsung menjawab. Hanya melanjutkan langkah sebelum mencari permukaan yang cukup nyaman untuk berbaring. Napasnya terhela, panjang dan berat.

"Apa Paman juga akan mencelaku seperti para kucing-kucing pengangguran itu, atau malah menyetujui tindakanku?"

"Aku sudah tahu sejak awal," Bunjang akhirnya menjawab. "Selain peti pendingin milik manusia, kau tahu sendiri di mana aku biasa tidur siang sebelum ini, bukan?"

Sekarang Bunjang memang sudah jarang berada di Area Depan, dekat taman kecil, tetapi Dynamo teringat pada kendaraan yang biasa disimpan oleh manusia di situ. Baunya khas, tetapi dia tak pernah menyukai benda itu. Benda besi terkutuk yang nyaris menghabisi nyawanya ketika masih jadi anak kucing jalanan dulu.

Betina Jingga itu jarang mendekatinya, tetapi cukup sering melihat sosok besar Bunjang berbaring santai di atasnya. Sekedar duduk-duduk melihat sekeliling sambil membersihkan dan merapikan bulu-bulu kelabu mudanya. Atau tertidur sembari menikmati hangatnya mentari pagi.

"Oh," gumam Dynamo. Pendek, menyembunyikan rasa malu sudah sembarangan menganggap remeh Bunjang.

Sebelumnya betina jingga itu sempat mengira si Pertapa hanya menggunakan hak penghuni asli dan kucing tertua saat ini untuk menikmati tempat tidur eksklusif. Hingga suatu hari Dynamo melihat bagaimana sosok bulat, besar, dan malas-malasan si Pertapa, tiba-tiba melompat turun dan menerjang seekor pendatang jantan.

Cukup menakjubkan bagaimana gumpalan yang biasanya terlihat empuk dan tak berbahaya itu bisa bergerak sangat cepat menuju sasaran, sebelum kemudian memberikan satu pukulan keras. Tidak mematikan, tetapi cukup untuk membuat lawan yang sangat tidak siap, terguling kesakitan. Lalu ketika berusaha untuk bangkit dalam kondisi masih kebingungan, yang terlihat di mata lawan yang malang itu adalah sosok besar Bunjang, memandang rendah kepadanya.

Pendatang manapun, apalagi yang masih belum berpengalaman, hampir pasti memilih untuk menurut bila diminta untuk pergi oleh sosok seperti itu.

"Tempat tidur siangku itu sangat ideal sebagai posisi pengawas perbatasan." Bunjang menambahkan sembari terkekeh.

"Karena itu Paman bisa melihat langsung saat Arai dan yang lain memutuskan untuk pergi."

Tanpa menjawab mata hijau pucat Bunjang memandang sendu ke arah tanah kelabu, dari batu-batu persegi buatan manusia.

"Betina kecil itu masih terlalu muda," dia memulai. "Masih sangat anak-anak di mataku. Seharusnya dia sedikit bersabar untuk tinggal di sini lebih lama lagi."

Dynamo bungkam.

"Tapi apa boleh buat, saat itu ada beberapa betina lain yang juga bermaksud untuk memiliki anak. Ditambah lagi, ternyata adikku pulang beberapa puluh mentari terbit dan terbenam kemudian. Betina muda sepertinya tidak akan mendapat kesempatan. Bila tetap di sini, anak-anaknya hanya akan mati cepat. Karena itu kau mencegahnya tetapi dia bersikeras, bukan begitu?"

Pertanyaan pertapa itu membuat Dynamo terperangah. Bunjang memang selalu mengamati dan mengawasi anak-anak kucing. Namun selama ini Dynamo mengira pejantan tua itu hanya peduli pada yang berhubungan darah dengannya saja.

"Populasi penghuni mulai mendekati titik jenuh, sama seperti waktu itu ... Aku tidak ingin sampai terjadi hal mengerikan itu lagi."

"Aku mengerti."

"TETAPI MEREKA TIDAK!"

Bunjang mengalihkan pandangannya dari jalanan, menatap pada si Jingga. "Ya, mereka tidak mengerti. Tapi kau punya murid yang baik, juga anak-anak yang masih patuh."

"Aku mungkin bakal kehilangan seekor murid lagi," keluh Dynamo. Lebih pelan dan lebih lirih dari biasanya.

"Jelaskan dengan lebih baik padanya, keponakanku itu pasti mengerti."

Dynamo menggertakkan gigi.

"Aku menerapkan prinsip, tunduk atau pergi. Arai memang tak suka pada peraturanku. Aku juga tak menyukai pandangan hidupnya."

Sebelum Bunjang sempat menyela, betina jingga itu kembali meneruskan, "Namun dia memang anakku, seperti yang sudah kuajarkan dia tetap pada pendiriannya dan memutuskan sendiri untuk tidak mau tunduk pada peraturanku, karena itu dia pergi."

Ucapannya saat itu dikatakan dengan keras dan tegas. Mungkin ketegasan itu ditujukan kepada siapa saja yang ikut mendengar. Mungkin juga ditujukan pada dirinya sendiri untuk mengenyahkan keraguan dan rasa khawatir yang masih bersarang dalam benak.

Si pertapa kembali menghela napas panjang. Terdengar sedikit lebih lega dari sebelumnya. Dynamo tidak sekaku dan sedingin yang dia khawatirkan. Terbawa rasa senang, Bunjang memutar badan, hendak membersihkan diri. Baru beberapa jilatan, tiba-tiba dia terbatuk.

"Paman?"

"Tak apa, hanya tersedak bulu."

Namun batuknya malah makin menjadi-jadi. Butuh beberapa kali lagi, hingga batuknya reda. Biasanya seekor kucing akan mengakhiri batuk semacam itu dengan memuntahkan gumpalan bulu yang terkumpul, tetapi Bunjang tidak melakukannya. Malah menelan kembali apapun yang sempat naik ke kerongkongan.

Dynamo menatap ngeri pada satu-satunya pejantan dewasa yang bersikap baik kepadanya di tanah itu. Dia tahu betul apa artinya batuk yang dialami Bunjang.

"Jangan khawatir, belum saatnya aku pergi." Pertapa itu bangkit dari tempatnya berbaring lalu melangkah menuju lereng. "Waktuku masih lama."

Betina jingga itu tak terlalu setuju.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top