Anak Didik

Cici menghentakkan ekor pendeknya. Rasa kesal yang bercokol dalam dirinya akibat kekalahan besarnya dari Dynamo masih terasa besar, malah makin membesar. Dia sadar, betina jingga itu sebetulnya tak harus mempermalukan dirinya di hadapan yang lain kalau sekadar untuk menunjukkan kekuatan saja. Siapa saja boleh tetapi Dynamo sengaja memilih Cici.

Bisa dibilang, penyerangan terhadap dirinya adalah cara Dynamo mengumumkan pada yang lain. Pengumuman yang terang-terangan menyatakan bahwa betina jingga itu paling menganggap rendah sosok semacam Cici. Sosok yang dianggap menyia-nyiakan berkat yang didapat sejak lahir.

Syarat untuk diakui di kalangan penghuni lembah dan bukit, selain pandai mendapatkan mangsa adalah cukup kuat untuk mempertahankan mangsa yang berhasi diperoleh. Kemampuan itu diperoleh selain dari garis keturunan yang baik, juga kepandaian induk masing-masing dalam mengajari cara bertahan hidup.

Karenanya bila memiliki induk yang baik, status seseekor dengan sendirinya akan naik sejak lahir. Bakat bawaan dan pelatihan adalah sesuatu yang tidak bisa diperoleh sembarang kucing.

Cici gagal di aspek pelatihan karena ajaran Tiwuk sama sekali tidak termasuk cara berburu. Dia juga gagal di persyaratan memiliki keturunan yang baik, karena tidak ada seekor pun anaknya yang bertahan hidup hingga cukup umur. Dynamo yang datang sebatang kara menganggap Cici sudah menyia-nyiakan setengah berkat yang dimiliki.

Sementara bagi Cici, Dynamo yang sejak kecil sudah bertahan hidup sendiri di luar sana lah yang lebih mendapat berkat. Setidaknya secara fisik Dynamo sudah di atas Cici bila bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia luar. Dengan ukuran hanya setengah ukuran Cici dan sepertiga ukuran Mus, Dynamo cilik memenangkan perebutan antar saudara dalam mendapatkan perhatian emak mereka. Itu pun tanpa mengandalkan rasa kasihan, melainkan dengan kekuatan cakar dan tendangan.

Kini, Dynamo yang sudah dewasa dan bisa dikatakan berada di puncak kekuatannya, membuat Cici yang berada di posisi terbawah piramida kekuatan makin terpuruk. Penghuni lain yang sebelumnya tidak terlalu menghiraukan keberadaannya jadi bersikap buruk padanya, karena pengaruh betina jingga itu. Dan Cici tak bisa berbuat apa-apa kecuali menghindar dan kabur dalam diam.

Kesempatannya untuk mendapat keturunan juga berkurang drastis. Para penghuni Lembah dan Bukit yang sebelumnya masih mau mendekati dirinya, kini tak ada yang berani lagi. Dynamo tak akan mengizinkan.

Kedatangan Pippi setelah berbulan-bulan merantau menjadi kesempatan bagi Cici untuk melepaskan diri dari kondisi parah itu.

Karena itu Cicilah yang paling senang ketika salah satu dari papan kayu tebal ganda yang membatasi akses menuju dunia luar terayun membuka, membiarkan sosok tabby kelabu muda muncul dari baliknya.

Belum pernah Cici sebahagia itu menyaksikan kemunculan Pippi. Betina belang tiga gelap itu tertawa senang dalam hati dan berdoa untuk terjadinya pertikaian di antara kedua ekor yang saat ini berada di posisi tertinggi dalam hirarki.

Dynamo tidak langsung menoleh pada sosok langsing yang berjalan masuk. Namun sudut matanya menangkap langkah-langkah anggun yang menunjukkan keluwesan dan kelincahan sosok yang tengah mendekat. Geraman panjang lolos dari laringnya. Masih dalam volume rendah sebagai peringatan. Dynamo harus menunjukkan wibawanya sebagai penguasa baru.

Menangkap geraman si Jingga, sosok Tabby Kelabu Muda itu berhenti melangkah. Sepasang manik hijau kebiruan Pippi beredar lalu terhenti pada sosok-sosok yang berkumpul di sekitar ceruk tempat makanan. Bertemu pandang dengan Dynamo.

Para penghuni menonton adu pandang antar kedua betina dengan napas tertahan. Mereka melihat bagaimana ekor jingga dan ekor kelabu muda sama-sama melambai tak senang dan meremang. Geraman senada lebih tinggi dari sebelumnya, berkumandang. Beberapa penghuni mulai mundur pelan-pelan.

Alih-alih langsung maju, Pippi kembali mengedarkan pandangan. Menyipit sejenak, lalu lanjut melangkah dengan berbelok ke arah lain. Pippi menghilang ke arah area Bukit setelah memanjat undakan spiral dengan ringan.

Dari suara sambutan yang terdengar dari arah Bukit, para penghuni yang mengenalinya langsung datang menyambut kedatangan Pippi.

Dynamo melanjutkan makan setelah yakin betina yang baru saja berlalu itu tak akan kembali ke ceruk-ceruk tempat dia dan anak-anaknya makan.

Apabila Cici adalah sasaran kebencian Dynamo maka Pippi adalah tujuan dari rasa bersaingnya.

"Bibi Namo," panggil sosok ramping belang tiga dengan dominan putih. Ada keraguan dalam suaranya yang lirih.

Dynamo melirik pada yang memanggil. Walau warna bulu mereka berbeda, masih bisa terlihat kemiripan antara sosok itu dengan Pippi.

"Pergilah!" gumam betina jingga itu, tanpa menoleh dari ceruk makanannya sendiri.

"Tapi ...."

"Pergilah. Betina itu masih ibu kandungmu, bukan?"

Dua ekor saudara angkatnya ikut mengalihkan pandangan dari ceruk makanan masing-masing. Seperti menunggu keputusan betina muda itu.

"Tidak," akhirnya dia menjawab. "Ibu tidak akan ingat pada anak yang tak mirip dengannya. Lebih baik aku tetap di sini saja."

Dynamo mendengkus pada jawaban yang lebih terdengar seperti meyakinkan diri sendiri itu. Tidak mirip, katanya. Seseekor tidak bisa terlalu yakin pada warna bulu anak-anak yang lahir karena kucing paling jingga sekalipun masih membawa darah keturunan warna-warna lain dalam dirinya.

Apalagi walau posturnya kecil dan tenaganya lebih lemah, kemampuan fisik betina muda itu termasuk yang tertinggi di antara saudara-saudara sekandungnya. Insting berburu yang baik dan ketepatan dalam mengenai sasaran menutupi kekurangannya.

Walau sebagian besar penghuni asli membawa kemampuan dasar yang sangat membantu untuk berburu, kebanyakan dari mereka hanya menggunakan kemampuan itu untuk bermain. Ketika masa bermain mereka mulai berkurang drastis, kemampuan itu pun perlahan menurun. Seandainya bisa mendecakkan lidah seperti yang dilakukan oleh manusia, Dynamo sudah berkali-kali melakukannya atas dasar kekecewaan yang amat besar.

Mereka semua diberkahi banyak hal yang diinginkan dirinya sejak ketika masih berwujud kucing jingga cilik yang terlantar, tetapi banyak yang tersisa-sia. Menangkap serangga yang menjadi penyambung hidupnya dulu dianggap tak lebih dari permainan oleh para penghuni. Benar-benar kumpulan bocah yang tak tahu terimakasih.

Tidak pernah terlupakan ketika kali pertama mereka betul-betul saling mengenali satu sama lain, bukan sekadar berpapasan. Dynamo mengejar mangsa hidup yang cukup gesit, kebanyakan dari penghuni asli hanya menonton. Beberapa terlihat berminat ikut mengejar tetapi akhirnya memilih untuk diam saja.

Mangsa kelabu gelap itu mencicit panik dan bermanuver tajam di antara bilah kayu dalam gua buatan manusia. Area yang terletak di antara Lereng Bukit dan Puncak. Temaram dengan sedikit cahaya masuk membentuk jarum-jarum pudar yang akan menipis begitu matahari terbenam. Dynamo memiliki kecepatan dan stamina untuk mengejarnya sepanjang sore, tetapi pijakan rapuh yang berkali-kali berderak keras ketika dilalui membuatnya ragu.

Ada lubang di gua buatan itu, tempat rembesan air dari langit berkumpul hingga pijakannya lebih rapuh dari bagian lain yang kering. Serangga seperti semut berwarna putih lebih banyak berkumpul juga di area situ, Dynamo harus berhati-hati untuk tidak membuat mangsanya berlari ke sana. Satu-dua balok melintang dilompati oleh betina jingga itu untuk mempersingkat jarak, cakar kaki depannya bersiap untuk menebaskan serangan.

Namun tiba-tiba mangsanya tergelincir. Lumut akibat sisa kumpulan air yang tertampung pada banyak matahari terbit dan terbenam yang lalu membuat pijakannya di sekitar lubang licin. Posisinya tak memungkinkan untuk tebasan penghabisan, Dynamo mengubah arah serangannya jadi sekadar untuk menjatuhkan saja.

"Sial!" dia mengumpat.

Serangannya terlalu kencang, tubuh mangsa yang tak lebih besar dari anak kucing baru lahir itu terpental lebih jauh dari rencana. Dynamo sempat berharap mangsa itu terjatuh dengan punggung lebih dulu atau lebih bagus lagi kalau kepalanya yang terbentur, ketika sesosok ramping berwarna lebih terang dari dirinya menghadang dari arah berlawanan.

Nyaris saja betina jingga itu tidak mempercayai penglihatannya sendiri ketika sosok ramping yang sama dengan mudah menangkap mangsa yang terlempar di udara dengan kedua kaki depan lalu menjatuhkannya di tempat yang tepat. Dynamo hanya sempat mendengar beberapa cicitan pendek ketika mangsa mereka meregang nyawa dengan jepitan kuat rahang dan cengkeraman cakar-cakar kedua kaki depan.

Bukan tenaga. Hanya kecepatan dan ketepatan. Ditambah lagi, betina muda itu sama sekali tidak melepaskan cengkeraman dari mangsa walau tungkai-tungkai mangsa sudah terkulai, seperti memastikan bahwa calon nutrisi yang akan dia makan tidak akan kabur.

"Bagus sekali!" gumamnya tak bisa menyembunyikan kekaguman.

Seperti tersadar dari trance, betina muda yang baru saja mendapatkan mangsa itu, buru-buru melepas gigitan.

"M-maaf ... Ini mangsa Anda?" tanya betina muda itu. Suara yang lembut dan lirih, mengingatkan Dynamo pada induk angkatnya. Bahkan kombinasi warna bulunya pun mirip.

"Ambil saja!"

"...maaf?" ulang betina muda itu lagi. Mata bulat yang terlalu besar untuk wajah tirusnya, agak meruncing di sudut memberikan kesan tajam. Ciri khas para penduduk asli. Konon sejak sang Penguasa Pertama, hampir semua keturunan mereka memiliki wajah seperti itu.

Sesuatu yang agak disyukuri oleh Dynamo, karena dirinya sendiri memiliki tipe wajah serupa. Sosoknya jadi tak terlalu mencolok di antara para penduduk asli. Yang membedakan, warna matanya tercampur warna kuning. Sementara hijau pucat di manik mata betina muda itu lebih menyerupai biru terang keperakan.

"Cakarmu ... Sejak tadi tidak lepas," Dynamo menambahkan sembari melangkah membalikkan badan.

"O-oh ...." Betina muda itu tersipu, menyadari kaki depannya yang masih mencengkeram mangsa, bergerak lebih jujur.

"Makan saja! Kau lebih butuh."

Betina muda itu menatap Dynamo beberapa saat, seperti memastikan sosok jingga di hadapannya tidak sedang bercanda atau menggodanya. Sementara Dynamo terus melanjutkan melangkah ringan, seperti tak peduli. Setelah yakin mangsa dalam cakarnya itu betul-betul menjadi miliknya, baru dia mulai bersantap dengan senang hati.

Dari posisinya, telinga Dynamo masih bisa mendeteksi suara si betina muda. Bahkan suara geraman ancamannya ketika makan dalam kondisi sangat kelaparan pun terdengar halus. Siapa pun di antara para penghuni asli tidak akan bisa terintimidasi dengan suara semacam itu. Tidak heran bila posturnya kurus dan kecil untuk ukuran kucing dalam.

Mungkin karena itu juga si betina muda tidak turut serta berebut tempat di ceruk-ceruk berisi makanan dan memilih berburu.

Sejak itu, Dynamo sering mengamati betina muda itu dengan lebih seksama. Sesuai dugaan awal, sosok kecilnya termasuk yang dianggap rendah oleh para Penghuni Asli yang mengutamakan kekuatan. Dia baru ikut makan di ceruk saat saudara-saudaranya sudah selesai makan.

Sesuatu bergolak dalam diri Dynamo melihat pemandangan itu. Posisi betina muda itu hampir setara dengan Cici, betina yang pernah berbagi susu dengannya. Tidak dapat dimaafkan.

"Hei," panggil Dynamo pada suatu hari. Ketika melihat untuk kesekian kalinya betina muda itu menunggu giliran mendatangi ceruk makanan.

"Anda ... Ah, yang waktu itu!"

Dynamo cukup senang betina muda itu mengingatnya. Setidaknya perhatian si Jingga itu tidak satu arah.

"Kau punya nama?"

Betina muda itu hanya diam. Dagunya sedikit turun. Garis pandangnya lepas dari tatapan Dynamo, menuju ke tanah.

"Mulai sekarang, kau akan kupanggil sebagai anak didik!"

Mendengar ucapan Dynamo dagu yang sempat turun, terangkat. Pandangannya terlihat seperti gabungan antara bingung dan tak percaya

"Aku akan melahirkan."

Betina muda itu memiringkan kepala, perut betina jingga itu tidak terlihat besar.

"Masih beberapa puluh matahari terbit dan terbenam lagi," Dynamo meneruskan. "Aku perlu ada yang membantuku berburu nanti."

Mata bulat besar betina muda itu mengerjap, masih tak percaya.

"Makanan di bawah itu ... Enak, kenyang, tapi tidak berdaging. Anak-anakku butuh otot dan tulang yang kuat untuk tumbuh."

Pandangan mata Dynamo terlihat muak, tetapi bukan mengarah pada makanan dalam ceruk. Betina muda di hadapannya terus menelusuri, hingga mencapai sosok Cici dan Mus. Mereka terlihat takut-takut, merunduk, dan merendah mengambil remah-remah yang tersisa.

"Kau tak usah bergabung dengan dua parasit itu!"

Ujar Dynamo lagi. Masih ada aroma jijik dalam suaranya. Bukan sekadar persaingan antar saudara lagi.

"Ikut aku, Anak Didik!"

Dynamo membalik badan, melangkah lebih dulu. Betina jingga itu melompati dek-dek dan papan beton tebal, melintasi batas wilayah Puncak. Tanpa menoleh telinganya menangkap ketukan halus yang ditimbulkan oleh lompatan anak didiknya yang mengekor di belakang.

Dengan keanggunan yang diwarisi garis keturunan panjang pendiri dinasti, tetapi tetap menyimpan kebuasan sang Penguasa Pertama yang dibutuhkan untuk berburu. Betina muda yang akan menjadi anak didiknya itu adalah harta terpendam. Dynamo yakin betul dia akan menjadi aset berharga dan tangan kanan yang bisa dipercaya bila dilatih dengan baik.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top