[PENGENALAN]: Shin Jae Mi

Jingga menyerbu cakrawala tatkala ia memutuskan untuk beranjak dari rumah. Langkahnya tergesa, wajahnya yang merah diterpa angin senja. Saat itu ia berharap agar air matanya mengering cepat, namun emosi tak memberi kesempatan untuk berhenti. Isakannya menguat, urat lehernya menegang, hingga keningnya berkedut pelan. Kepalan tangannya menguat mencoba untuk memendam amarah. Surainya yang panjang dikibas kasar saat gadis itu mempercepat langkah, berlari tak tentu arah.

Namun ia tak peduli. Satu-satunya kejadian yang terputar dalam benaknya hanyalah wajah keriput seorang wanita, tertekuk masam dengan mata menyipit tajam. Penuh amarah dan Jae Mi tahu ia telah membuat kesalahan besar yang membuat ibunya kesal setengah mati. Bahkan kalimat yang diucapkan jauh lebih menyakitkan dari yang ia pikirkan, “Kalau tidak dapat melakukan yang terbaik lebih baik menyerah dan pindah ke sekolah murah. Kau tak tahu perjuangan ayah dan ibu untuk mendapat uang demi masa depanmu, namun yang kaulakukan hanyalah bersenang-senang dengan teman-temanmu yang malas.”

Jeda beberapa detik. Ia kira hanya omelan biasa yang didapat, tapi tatkala ia hendak menyahut, ibunya tiba-tiba mengangkat telapak tangan dan menyela dengan suara bergetar, “Jangan pernah membuat ibu menyesal karena telah mengadopsimu menjadi anak.”

Dan sekarang ia telah bertekad untuk pergi. Tak akan kembali. Tidak.

Lebih baik begini, agar tak ada yang menyesal. Agar tak ada yang merasa kesal. Toh dirinya memang tidak diinginkan. Ia hanya anak buangan yang diadopsi hanya karena rasa kasihan.

Jadi mungkin, pergi adalah pilihan terbaik.

Isakannya mereda tatkala langkahnya menepak taman, sepatunya bersentuhan dengan rumput basah hasil hujan tadi siang. Gadis itu meremas ujung jaket kuat-kuat, menahan gemetar pada kaki ketika mencapai bangku di paling ujung. Angin menerpa kulitnya yang telanjang, tapi anehnya ia tak merasa kedinginan.

Pikiran runyam akan masalah, hatinya terkikis dan pedih saat semua ucapan merendahkan diputar tanpa jeda.

Nilai itu segalanya. Buat apa membayar sekolah mahal kalau hasil rapotmu kebakaran? Hah, payah. Lebih baik tidak usah sekolah.

Orang menghargaimu karena otak. Jadi belajarlah sebaik-baiknya.

Kau kenal Wonwoo? Ah, dia itu sempurna. Aku tak paham betapa magis ciptaan Tuhan pada otaknya yang brilian.

Pujian, kekaguman, kesempurnaan. Shin Jae Mi sudah terlampau lelah. Memuakkan, membuat hati kesal dan hanya berujung pada penghakiman tak berujung pada diri sendiri. Gadis itu membenamkan wajah dalam telapak tangan, menyembunyikan air mata saat harus menangis lebih keras. Sialan, ia tidak pernah begini sebelumnya.

Bahu bergetar, mata sembab, otak buntu oleh hujatan.

Ia saja tak tahu apa yang merasuki dirinya saat itu, apa yang semesta diskusikan di luar sana saat setetes air hujan turun membasahi bumi, disusul bulir-bulir lainnya. Ia mengumpat, hendak beranjak untuk pergi namun sadar tak ada tempat untuk berteduh. Ia sudah tak punya rumah, lantas apa ada tempat untuk pulang? Jaketnya basah. Rambutnya acak-acakan. Tubuhnya gemetar.

Dalam buram pandangan mata akibat rinai hujan yang datang, matanya dapat menangkap presensi seseorang mendekat, tidak membawa payung atau sekadar barang peneduh. Ia kira matanya salah, ia juga berharap itu hanya halusinasi semata. Namun tepat saat detik melangkah dan pemuda itu mendekat, Jae Mi sadar, tak ada yang salah dengan pandangannya.

Dan dengan ekspresi datar serta mata dingin yang menatap nyalang, Shin Jae Mi dapat merasa tubuhnya meremang dengan mulas menggelitik perut tatkala mendengar suara berat Wonwoo berkata, “Sudah hujan. Apa masih yakin tidak mau pulang?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top