[PENGENALAN]: Saroh
“Kepercayaan adalah kunci dari segalanya, Saroh. Saya harap, kamu mengingat hal itu.”
Siapa yang dapat menyangka kalau di dalam rumah Mr. Talkins ada sangkar raksasa? Jeruji-jerujinya dilapisi warna emas, tinggi menjulang dengan kubah yang nyaris mencapai atap rumah. Di dalam sangkar, sepenggal penampakan dari pekarangan di luar tersaji. Ada bangku dan meja bundar di bawah naungan pohon besar di sisi dalam sangkar; rumputnya terpotong rapi, tetapi aku menduga ada tanaman rambat di sana; sulur-sulur tanaman terlihat membelit di jeruji dekat pintunya, terus memuntir hingga kubah; dan ada bunga tulip, ini dugaan pribadiku.
Entah aku harus mengutuk kebodohan Juna yang sudah memecahkan lampu taman Mr. Talkins, atau berterima kasih atas keputusan Ayah dan Ibu yang membuatku bekerja di rumah Mr. Talkins alih-alih membayar langsung ganti rugi. Aku selalu membayangkan memiliki rumah yang besar dengan perabot yang bagus, dan buku melimpah. Masuk ke rumah Mr. Talkins membangkitkan semua apa yang kuimpikan. Memang, aku di sana sebagai bentuk tanggung jawab, tetapi kalau aku bisa bekerja dan meninggalkan kesan yang baik, siapa tahu Mr. Talkins bersedia memberi upah lebih. Yang dengan hal itu, aku bisa meninggalkan Ayah yang tidak pernah menyayangiku; meninggalkan Ibu tiriku yang selalu mengomel; dan meninggalkan kedua saudara tiriku yang tidak ada bedanya dengan orang tua mereka.
Namun, Mr. Talkins mengubah segalanya. Aku terikat pada cara dia menatapku. Sentuhan lembut tangannya di ujung mata kiriku yang cacat. Elusan pelan di atas rambutku yang kusut. Dan tutur halus dalam suaranya yang selalu membekas di hatiku. Aku melupakan tujuan awal berada di sini, di rumahnya. Lebih dari uang, aku membayangkan berada di sisinya sebagai pendamping hidup. Yang setia sampai napas di tenggorokan. Yang terus bersama bahkan sampai berbeda alam.
Dan khayalanku meruntuhkan firasat buruk di benak, saat pertama kali aku masuk rumah Mr. Talkins. Di malam itu, di antara dentang jam yang saling menyahut dari dapur; ruang baca; kamar utama; dan ruang depan, aku berdiri di dalam sangkar. Cahaya keemasan mulai muncul. Mula-mula dari bagian bawah jeruji sangkar, terus merambat hingga kubah, dan kami dihujani taburan emas. Lalu, cahaya lain keluar dari tempat kakiku berpijak. Menggambarkan dengan jelas pola lingkaran dan bintang. Dan aku berdiri tepat di bagian tengah bintang dalam lingkaran.
Aku menatap Mr. Talkins yang mengalihkan pandangannya. Melihat senyum puas istrinya. Mereka hanya beberapa langkah dariku, tetapi diam saat aku berteriak panik. Muncul uap yang mengantarkan panas dan tanah mulai bergetar hebat. Kemudian, ada yang menarikku dengan keras. Melontarkan aku ke tanah. Entah siapa yang berteriak paling keras. Mungkin aku. Mungkin istri Mr. Talkins.
Aku berusaha merangkak, tetapi ada yang menjerat kemudian melilit kakiku. Aku meraung, meminta tolong. Menangis keras dan berteriak. Tidak ada yang membantu. Butiran emas yang menghujani kami semakin deras, begitu juga dengan lilitan di kakiku yang semakin kencang. Kakiku yang pincang mungkin kini sudah remuk. Dadaku sakit tiap kali aku mencoba bernapas di sela teriakan. Tetap tidak ada pertolongan. Kini, lilitan itu mulai menjalar hingga pinggangku, lalu perut. Aku masih meronta, tetapi kalah. Tanganku kini juga ikut dililit.
Aku baru menyadari apa yang menyergap tubuhku. Sulur-sulur itu, yang berwarna hijau keemasan, membuat tubuhku remuk dan sulit bernapas. Layaknya kepala kobra yang siap mematuk, ujung sulurnya yang runcing berdiri tegak di depan wajahku.
Di malam itu, di penghujung Oktober, di antara jeritan saat ujung sulur yang runcing masuk mata kiriku, ada bisik Mr. Talkins. Bertalu-talu dalam pikiranku. Dan sekilas, aku melihat wajah mendiang Nenek yang tersenyum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top