[PENGENALAN]: Liona Antoniette

Liona bercermin, kali ini sesosok wanita bungkuk berhidung bengkok yang menjadi pantulannya. Kutil merayapi sudut alis kanan, gigi ompong terkatup bibir keriput, kulit kuyup seperti lilin cair, dan jari-jemari kurus bertonjolan tulang yang bersandar di atas tongkat jalan. Di belakangnya kasur bertiang empat berlapis kain merah, karpet motif pohon sentinel disarangi cendrawasih, jendela berkerai merah bersulam mawar api dalam cawan, dan kamar kayu gelap diterangi kandelir lilin merah, menghilang perlahan berganti kamar lebih sederhana. Seluruh perabot menghilang, aroma mawar madu lenyap digantikan pinus dan taik kuda. Di luar jendela ada kincir aingin berputar malas, di dalam perapian api memakan lesu sisa bara yang masih memerah.

Dipan dan meja menjadi satu-satunya perabot selain lilin kuning tengik yang lelehannya mirip keju basi.

"Kau ... ibu?!" pekik Nael, pantatnya jatuh menghantam lantai dengan tangan kanan menuding gemetar. "Ba-bagaimana bisa?"

Liona memiringkan kepala ke kanan, gelambir di pipi dan dagunya bergoyang. Sekilas ia berpikir, mungkin ini rupanya jika keabadian tidak memerangkap fisiknya dalam sosok gadis 20 tahunan. Menjadi nenek-nenek, melambat hingga maut menjemput. Pasti menyenangkan mati saat siap, ketimbang diburu dan dibunuh atas tuduhan 'semua penyihir adalah penjahat'.

"Aku berganti rupa menjadi orang kesayanganmu. Untuk jaga-jaga, jika kau ingin membunuhku."

"Membunuh?"

"Aku penyihir. Kepala kami lebih berharga dari sepeti emas mana pun."

"Tapi aku datang untuk diramal."

Liona duduk di atas dipan, mengulurkan tangan menanti Nael menyambutnya. "Begitulah yang dikatakan para pelanggan sebelum dapat kabar buruk. Berdiri, Nak. Kau punya takdir untuk dibaca."

****

Nael keluar dari dalam gubuk dengan wajah sepucat pantat sapi. Liona sampai kasihan. Dalam kesia-siaanya, penyihir itu memberi jimat berupa gelang bersemat dua permata: biru dan merah. Untuk keselamatan, ucapnya. Walau dalam ramalan Nael dipastikan meninggal karena dibunuh pemuda mabuk dari bar murah.

"Aku akan jadi pendeta dan menghindari alkohol," tekad Nael. Liona hanya mengaminkan sembari diupah beberapa perak yang jumlahnya lebih sedikit ketimbang harga gelang permata tersebut.

"Gelang ini mewakili kisah Audius yang akhirnya menjadi bintang di angkasa," cerita Liona.

"Tetapi ia mati sebelum menjadi konstelasi," Nael menyahut. Liona hanya mengatupkan bibir dan memberi jaminan bahwa hidupnya akan cukup lama untuk berkeluarga selama ia tidak terlibat masalah.

"Pendeta tidak punya anak," Nael menyahut lagi. "Aku tidak akan punya keluarga dan hidup sendirian."

"Lebih baik ketimbang mati muda dan tidak mencapai apa-apa."

"Jadi?"

Liona mendongak, tinggi Nael nyaris menyentuh langit-langit. "Jadi? Kau tidak ingin kabur dan mengataiku penyihir laknat? Aku baru saja melihat akhir hidupmu."

"Sebenarnya aku ke sini untuk melihatmu."

"Eh?" Liona tercengang, tetapi pemuda itu tampak tidak peduli dan mengambil tempat di teras untuk duduk sambil memandang langit. Gubuk Liona terletak jauh dari karavan, disewa dari penebang kayu mata duitan. Rombongannya selalu mengadakan sirkus setiap melewati kota-kota besar. Liona turut meramaikan sebagai peramal atau pesulap. Menghilangkan kelinci, menelan pisau, atau melayang diiringi lima bola kristal sambil mengungkap siapa yang mendapat cinta sejatinya besok.

"Aku selalu penasaran. Penyihir hanya kudengar dari mulut orang kuil dan buku. Mereka berkata penyihir itu jahat, haus darah, dan selalu ingin berperang."

Hal yang dulu menghancurkan Aloria ... Liona membatin. Ikut duduk di sebelah Nael. "Seribu tahun lalu aku pernah bermimpi menjadi jenderal perang. Tetapi bakat meramal membuatku dapat melihat masa lalu dan masa depan. Para tentara itu, punya kehidupan yang terlalu manis untuk terbilas darah nafsu menguasai. Nael," panggil Liona, "untuk ukuran manusia reaksimu terlalu biasa."

"Mungkin karena aku tidak bisa marah pada penyihir." Angin mendesau, helai-helai hitam dari kening Nael tersingkap menunjukkan wajah gelap terbakar mataharinya.

"Kenapa?"

"Dulu, aku dipungut seorang gadis muda yang kuanggap kakak. Ia membesarkanku, jauh dari perkampungan meski tidak melarangku bergaul dengan penduduk setempat. Tahun demi tahun aku semakin dewasa, ia tetap seperti remaja. Lalu aku jatuh cinta. Sayangnya tidak bisa. Kami berbeda, kelak aku akan meninggal dan ia akan memikul kesedihan beribu-ribu tahun lamanya. Rasanya seperti saling menghancurkan satu sama lain. Jadi kami berpisah.

"Setahun kemudian aku mendengar kabar bahwa kepalanya dipenggal kerajaan Madjika karena menyusupi pemerintahan. Aku tidak percaya."

"Percayalah," Liona menyela sambil berdiri. Senyumnya mengembang separuh, kedua matanya menyorot prihatin sambil menepuk pundak Nael sekali. "Penyihir masih bermimpi untuk menang. Bohong jika aku tidak ingin menghancurkan manusia untuk balas dendam."

"Kalau begitu, kenapa tidak membunuhku?" tanya Nael ikut berdiri. Diraihnya tangan Liona dari pundak dan digenggam erat-erat seolah menuntut kejelasan.

"Karena tidak ada untungnya. Kan' sudah kubilang, besok kau akan mati ditikam pemabuk di jalan."

****

Di jalan, orang-orang mengerubungi mayat pemuda yang tersembunyi di balik sampah pasar. Konon seorang pemabuk gelandangan terpana melihat kilau gelang peraknya, apalagi dibubuhi dua permata berwarna langka: biru dan merah. Sontak Nael jadi korban penusukan, Liona tahu tetapi tidak menolongnya. Nael seharusnya paham, tetapi lambat memahami segalanya.

"Penyihir masih bermimpi untuk menang," Liona mengulang. Karavannya berbenah melipat tenda dan menyusun tiang-tiang ke gerobak kuda. Dalam bola kristal yang ditatanya ke peti kayu berlapis jerami, Liona melihat sesosok wanita berambut pirang keperakan, anak laki-laki beriris biru, dan para pelayan pribadi. Sepertinya keluarga bangsawan biasa.

Sampai sebuah nama melintas dalam kepalanya: "Heleza masih hidup!"

"Siapa?" tanya pria kekar yang membawa sekotak tonggak besi ke samping peti Liona.

"Teman. Yang kukenal paling berani dan paling kuat seumur hidup."

"Perempuan bisa apa?"

"Bisa segalanya. Kalau mau, kami mampu menguasai dunia."

"Hahahahaha! Ya, terserah. Cepat kemasi barangmu. Kita berangkat saat siang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top