[PENGENALAN]: Danial Yudhistira
Al baru saja sampai di apartemennya yang terletak di daerah Kemang dalam keadaan lelah, berkeringat, juga berperasaan buruk. Seharian ini ada banyak masalah di studio foto tempatnya bekerja. Salah satunya karena seorang model baru sialan yang dengan tidak tahu diri membuatnya menunggu selama satu jam! Dan jauh lebih kurang ajar lagi, anak bau kencur itu membatalkan pemotretan yang sudah dijadwalkan lebih dari seminggu secara mendadak! Al mencak-mencak protes, dan pada akhirnya memelotot galak pada semua orang yang dilewatinya.
Saat ini Al bersandar pada sofa putih yang terletak di ruangan tengah apartemennya, menghadap langsung pada dinding kaca, kakinya yang jenjang dan terbalut celana hitam panjang berselonjor bersilang, tergeletak di atas meja kaca komplit dengan sepatu kulit mengilapnya. Ditemani segelas cola di salah satu tangan, Al terdiam menatap matahari yang berpendar kemerahan, kontras dengan latar langit kelabu. Sesekali ia melihat burung gereja terbang melintasi tempatnya di lantai tiga belas. Namun tak lama, getaran dalam saku celananya mengganggu.
Sambil menggeram Al melihat tulisan “Si Pelit” terpampang di layar ponsel.
Gue bisa gila lama-lama!
Kemudian tanpa ragu-ragu mematikan ponsel, melemparnya kasar ke meja—tergeletak bersama sekaleng cola yang sempat ditenggaknya. Namun, tak sampai di sana, benda di sudut ruangan berganti meraung. Suaranya keras dan membuat kepala Al serasa ingin pecah. Sudah bisa dipastikan siapa orang sialan yang terus mengganggunya. Al ingin mencabut kabelnya dan beristirahat, sendirian, tidur tanpa diganggu-gugat setidaknya sampai pagi. Namun, di menit ke tujuh sebuah suara terdengar setelah bunyi pip singkat, “Al, gue tahu lo udah sampe di apartemen! Jangan sampe lo gue pecat dan gue ganti sama orang yang lebih professional. Lo tahu ‘kan duit gue banyak? Nggak ada satu pun orang di dunia ini yang—“
“Pecat aja gue, berengsek!” teriak Al sambil berdiri dari sofa dan menatap telepon nyalang.
“Terus gimana Digta? Lo bilang dia cuma liburan seminggu. Lo nggak punya kalender, ya, di apartemen lo yang bobrok itu? Sekarang udah sebulan! Sebagai calon suami ‘kan seharusnya lo—“
Al melepas salah satu sepatu yang masih ia pakai, melemparnya dengan gejolak amarah ke arah telepon, yang sayangnya meleset, dan malah mengenai salah satu guci yang baru dibelinya bulan lalu di China—saat itu dengan liciknya Digta minggat dengan alibi mau pulang ke Indonesia cepat-cepat—diikuti suara prang keras, keramik itu sudah terbelah menjadi beberapa bagian di atas lantai marmer hitam. Wajah Al yang putih menjadi lebih pucat lagi, tapi kata-kata pria di telepon tidak juga berhenti.
“—dia ada di Barcelona. Gue nggak mau tahu, pokoknya lo harus bawa tuh anak pulang … secepatnya!”
Suara itu hilang diakhiri kretek ganjil. Al terdiam, masih membatu menatap keramik yang ia beli dengan satu per tiga gajinya bulan lalu. Mengacak-acak kasar rambut hitamnya yang sudah susah-payah ia tata di pagi hari.
“Awas lo, Dig! Mati lo entar!” teriak Al geram. Tangannya mengepal di samping tubuhnya yang tegang.
--
Rasanya belum genap dua belas jam ketika Al menghancurkan guci kesayangannya dan bersumpah akan membunuh tunangannya, Pradigta Putri Dewinta. Dan sekarang, dia sudah melempar cengir lebar pada dunia dengan secangkir kopi dalam genggaman, bersikap seolah tak pernah ada yang terjadi di petang silam.
“Ah, indahnya dunia!” seru Al bahagia tepat setelah menyeruput americano-nya, memandang ke arah matahari pagi yang baru muncul dengan pendar cahaya keemasan yang kini menerpa kulit pucatnya. Hangat.
Jika saat ini kakaknya, Adrian Yudhistira, yang mengomel tadi sore melalui telepon melihat tingkah sang adik, yang pertama akan dilakukannya adalah menyentuh dahi Al, dan jika suhunya nomal, mungkin ia akan mempertimbangkan meminta asistennya, Conan, untuk mencarikan seorang psikolog yang bisa memeriksa Al di tengah-tengah jadwal padatnya.
Tapi Al memang sedang bahagia, terlepas dengan jadwal yang mengejar, atau pekerjaan yang minta dikerjakan. Al benar-benar bahagia, dan itu lantaran omelan Yan yang memberinya ilham bersikap curang untuk bersenang-senang. Sepertinya dia mengerti kenapa Digta memilih kabur sebulan lalu, dan Al tidak bisa menolak hasrat yang sama. Bayangan laut Mediterania, langit Barcelona, dan karya-karya agung Gaudi yang dilihatnya tadi malam melalui situs wisata kini berputar-putar di otaknya. Al tersenyum-senyum sendiri, jadi agak mengerikan karena menjadi lebih mirip orang gila.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top