[CERPEN] Shin Jae Mi
SHIN Jae Mi paham, ada beberapa hal dalam hidup yang tak dapat berjalan sesuai kehendak yang ia buat. Tak peduli kendati ia menangis tanpa henti, meronta-ronta serta memaki tiap hari, apa yang terjadi tidak dapat dibalik kembali. Lagipun dunia ini singkat, rotasi waktu yang berjalan cepat seolah memberi kesempatan bagi manusia untuk tidak pernah berhenti mengejar sesuatu yang lebih. Tak ada kata cukup. Tak ada yang pantas untuk berhenti kendati kau sudah meraih posisi tinggi yang berhasil diperjuangkan. Di atas langit masih ada langit. Kau tak perlu puas dengan segala pencapaianmu hari ini sebab masih ada banyak yang lebih baik.
Lantas kalau begini kapan puasnya?
Well, beberapa tidak mengenal kata puas malah. Lucu, lucu sekali. Manusia dengan segala ambisinya itu memang gila. Tidak sedikit pula yang terbunuh oleh keinginan yang ditaruh tinggi di atas langit, hanya agar dapat menunjukkan pada dunia bahwa ia yang terbaik.
Tidak usah berpikir macam-macam. Jae Mi bukan orang yang berambisi, ia sendiri malas kalau ditanya soal mimpi dan cita-cita. Harapannya pupus duluan bahkan sebelum dapat ditumbuhkan.
Tahu tidak apa sebabnya?
"Tidak usah melakukan banyak hal tak berguna dengan menggambar dan menulis surat tidak penting. Perbaiki dulu nilai-nilaimu yang parah, baru pikirkan soal bakat dan cita-cita." Suara ibunya menggema di telinga, bak lantunan lagu yang liriknya menempel erat dalam kepala sebab nyaris setiap hari diperdengarkan. Dengungnya menyakitkan, duh.
Jae Mi tersenyum miris. Benar kata orang, nilai akan selalu menjadi acuan dalam menentukan kesuksesan. Apalagi kota tempatnya tinggal ini menjunjung pendidikan sebagai yang utama, menuntut semua siswa untuk dapat berkembang dalam bidang akademis tiap mata pelajaran, tak peduli keluhan serta fisik yang menjerit lelah. Kau harus jadi yang sempurna.
Catat itu baik-baik.
"Jadilah siswa yang berguna, yang mampu menghasilkan prestasi luar biasa. Kau tahu seberapa keras ayahmu bekerja agar kau dapat bersekolah di sana. Jangan mempermalukan kami dengan menjadi daftar anak yang lulus dengan nilai terendah." Kalimat Ibu yang lain kembali merasuki otak. Sial, sial sekali sebab sekarang gadis itu sedang tidak ingin memikirkan segala hal yang mampu membuat mood-nya hancur dalam sekejap.
Sejak kapan, ya, ibunya jadi galak begini?
Padahal kalau ditelaah lebih jauh, kalau diingat-ingat dan Jae Mi yakin memorinya tak pernah salah, dulu wanita itu adalah wanita terbaik yang pernah ada. Wanita yang mengangkatnya keluar dari masa-masa kelam di panti asuhan, mengangkatnya menjadi anak sendiri dan membesarkannya dengan penuh kasih.
Sebelum akhirnya, pemuda itu datang.
Ah, sudahlah. Kalau memikirkan itu semua rasanya akan membuat kepala Jae Mi pecah. Runyam. Terlalu rumit dan ia sendiri malas menerka. Hatinya sendiri sudah kenyang disuapi ucapan semacam, Wonwoo lebih segalanya darimu. Sementara kau? Prestasi apa yang kaupunya, huh? Sudah berapa banyak ucapan orang yang terus ia rangkap dalam kepala dan akhirnya berujung pada luka menganga?
Tidak, tidak boleh. Jangan memikirkan ucapan orang. Fokus, fokus. Gadis itu menghela napas, mendesah berat sembari memijit pelipis dengan gerakan tenang. Di depan matanya sekarang tiga buku dipaparkan, beberapa lembar kertas tersebar memenuhi permukaan meja dengan beratus kata ditulis di dalam. Dan harus dihafal dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.
GILA APA?!
Jae Mi meraih segelas kopi hitam yang tadi ia buat, menyesapnya sedikit sebelum kemudian melebarkan mata dan mendengkus keras-keras—memantabkan hati untuk terus berjuang melawan kantuk yang menggelayuti mata. Sementara pening menghinggapi kepala, gadis itu melirik sebentar ke arah jendela kaca yang gordennya sudah ditepikan. Hamparan langit malam membungkus kota Seoul yang padat. Kelip bintang di cakrawala serta lampu-lampu jalanan menjadi satu-satunya penerangan pada satu gang sempit ini. Jalanan sepi. Senyap menyelimuti. Rumah-rumah susun yang berjejer juga sudah banyak ditelan malam—Jae Mi yakin semua tetangganya memilih untuk tidur mengistirahatkan badan sebab sekarang sudah terlalu larut.
Gadis itu mengusap kedua matanya pelan, mengalihkan pandang ke arah jam dinding di atas tempat tidur. Pukul 1 dini pagi. Semangat, kau bisa. Kau pasti bisa, dirinya membatin sebelum kemudian mendengkus dan kembali memusatkan mata pada ribuan kata di depan mata.
Ibunya mengharapkannya. Ayahnya berjuang untuknya.
Ia tidak mungkin membalas semua dengan kekecewaan, bukan?
***
Lupakan soal kekecewaan.
Jae Mi-lah orang pertama yang menerima kado kecewa itu sendiri.
Perjuangan semalam, semua kantuk mata yang ditahan serta pening yang menggelayuti kepala itu hanya terbayar oleh—
"B minus untuk nilai ujian akhir?"
Oleh ketidakpuasan.
Suara setenang jelaga itu menyapu lembut telinga Jae Mi, terdengar dalam dan diucapkan tanpa nada. Tak ada pula keterkejutan apalagi emosi seolah memang sang pemilik sudah pasrah dengan hasil yang ada. Ruangan yang sepi dan dingin itu mendadak berubah gerah. Hanya ada dua orang di dalam, hanya ada empat mata saling menatap tapi Jae Mi dapat merasa bulu kuduknya meremang. "Ibu sudah berkali-kali bilang untuk tetap fokus pada sekolah. Jangan keluyuran seperti teman-temanmu, lihat ini hasilnya."
Shin Jae Mi lantas tersentak. Hatinya menciut takut mendadak, perlahan membentuk kepalan tangan guna menahan kesal dan pedih yang tiba-tiba meledak. Ada perih tersisip di sana. Hei, ayolah! Ia sudah mengerahkan seluruh kemampuan. Usaha yang ia miliki nyatanya menjadi bumerang bagi diri sendiri. Alih-alih hasil terbaik, rasa-rasanya Jae Mi ingin mengubur kertas nilai itu sembari memaki-maki. Kenapa harus hasil seperti itu yang ia dapatkan?
Padahal semalam ia rela bergadang sampai pukul setengah 3 pagi hanya untuk me-review semua materi yang pernah dipelajari.
Lalu, hasilnya hanya segini? Serius?
Jae Mi mendongak sedikit, mempertemukan kedua matanya dengan mata coklat ibunya. Kekecewaan terpatri di sana. Amarah, kekesalan, sebersit rasa tidak percaya juga terasa. Gadis itu menelan salivanya dengan berat. Diam-diam ia menyesali keputusannya untuk langsung pulang dan harus berhadapan dengan ibunya yang menagih hasil ujian secara halus.
Sejak kapan, ya, mengobrol bersama ibu menjadi begitu canggung dan menegangkan?
"Bu aku—"
"Apa kau tidak malu dengan Wonwoo?"
Tubuh Jae Mi kaku mendadak.
Wonwoo.
Lagi.
"Dengan prestasinya yang melesit dan kemunduranmu yang drastis, apa yang dapat kau banggakan?" Ibunya menukas lebih keras, tegas dan penuh penekanan. Nadanya bahkan naik beberapa oktaf disertai pelototan mata. "Ibu tanya, apa yang dapat kau banggakan Jae Mi?! Teman-temanmu yang banyak itu?!"
Rahangnya mengeras. Kepalan tangannya menguat. Jae Mi berusaha setenang mungkin agar air matanya tak tumpah. Namun setiap ia menguatkan diri sendiri, bulir-bulir pada pelupuk matanya semakin gencar untuk keluar. Bibirnya digigit lebih kuat. Satu hal yang gadis itu tahu; ia benci dibandingkan. Dan ibunya masih melakukan hal yang sama.
Tidakkah itu menyakitkan?
Sebab itu Jae Mi tak dapat menyalahkan diri sendiri saat ada amarah terselip dalam semua katanya tatkala ia berucap, "Ibu tahu aku tidak suka dibandingkan. Tidak ada anak yang suka dibandingkan kendati itu dengan pemuda genius yang mampu meraih banyak medali sekalipun. Kalau ibu memang menginginkan anak yang genius, kenapa tidak buang aku sekalian dan angkat anak baru?"
Gadis itu langsung berbalik dan berlari keluar rumah. Mengabaikan panggilan ibunya, atau suara ayahnya yang meneriaki namanya saat ia membanting pintu terlalu keras. Namun hatinya terlanjur remuk. Ditusuk dengan kalimat menyakitkan oleh ibunya sendiri. Getirnya bahkan masih menguasai kerongkongan, menyiksa.
Air matanya tumpah. Tak terkendali dan ia terus berlari sembari menepis tetesan bulir bening itu. Tak peduli ketika tubuhnya yang masih berbalut seragam basah oleh keringat, atau beberapa anak rambut menempel di wajah dan menjadikan gerah. Pikirannya sudah terlebih dulu merasa gerah. Hatinya apalagi.
Rasanya menyedihkan. Benar-benar menyedihkan ketika sebuah nilai yang ditulis dengan tinta dapat menjadi tolak ukur seberapa berharganya seseorang.
Hanya nilai. Hanya. Sekadar. Nilai.
Dan karena 'hanya-sekadar-nilai' itu, hati Jae Mi terluka dan ia yakin ia sudah melukai hati ibunya.
Lihat?
Ambisi yang tumbuh dalam diri seseorang itu memang benar-benar mengerikan.
***
"Mau sampai kapan?"
Jae Mi mendongak. Mengerjap pelan tatkala tubuhnya menerjang kaku tiba-tiba.
Pemuda di hadapannya mendengkus. "Mau sampai kapan memendam iri dan dengki?" Joshua tersenyum, menatap Jae Mi lebih lekat tatkala menyambung, "Kau tahu seorang ibu tidak mungkin mengucapkan hal yang dapat melukai mental anaknya."
Jae Mi meringis. "Tapi aku bukan anaknya."
"Ibumu mengasihimu sebagaimana ia mengasihi anak kandungnya sendiri," pemuda itu menyahut, terdengar santai tanpa beban. Tanpa amarah. Tanpa emosi. Jae Mi hanya dapat melihat kasih di sana, sebuah motivasi terselip di kalimat selanjutnya, "Soal perbandingan dengan Wonwoo ... well, mungkin sepupu tirimu itu memiliki kecerdasan lebih tinggi darimu. Tapi kau, kau punya keistimewaanmu sendiri. Seorang Jae Mi, yang dikenal sebagai gadis ramah dan riang, membawa energi positif pada teman-teman. Bukankah itu sebuah kelebihan?"
Bungkam. Hening menyekap.
Jae Mi hanya mampu menekuk alis samar, namun mulutnya terlalu kaku untuk dapat digerakkan.
Joshua selalu tahu apa yang ia butuhkan. Motivasi singkat, kata-kata penyemangat, serta seluruh bumbu manis dalam senyum yang lebar. Terkadang Jae Mi sendiri heran, mengapa gadis terlampau biasa sepertinya bisa dianugrahi teman yang sempurna—fisik di atas rata-rata dengan pikiran dan tindakan positif.
"Aku ... aku akan—"
"Aku tahu seberapa keras kau berjuang untuk ini," Joshua memotong lembut, nampak sabar saat melanjutkan, "kau telah berjuang sekuat tenaga. Tetap semangat dan aku yakin kau pasti bisa."
Jae Mi tertegun.
Hatinya berpacu antara semangat juga terharu. Namun satu titik di mana detik berlabuh dan mulut tetap terkunci rapat, gadis itu dapat mendengar suara hatinya berbisik lirih disertai iringan senyuman Joshua yang melebar,
Apa aku masih pantas bermimpi untuk sekadarmemperoleh nilai yang lebih tinggi? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top