[CERPEN] Saroh - Debu Emas

Dentang dari jam di dapur menggema; mengajak dentang dari ruangan lain bersuara. Hanya sekali berbunyi, lalu berhenti. Butiran emas yang turun juga berhenti. Titik-titik kecil keemasannya terlihat jelas menggantung di udara, seolah ada tali yang mengikat di langit-langit. Hanya kabut yang masih bergerak, melingkupi sesuatu di sisi sangkar. Kabut itu bergumul, seolah sedang berubah menjadi awan kelabu. Dan semua kembali bergerak. Butiran emas naik menuju kubah sangkar, angin kembali berembus mengantar suhu yang semestinya; dingin, dan kabut ikut terangkat. Saat kabut hanya berupa asap tipis, saat itulah aku tahu apa yang terjadi.

***

Aku mengalaminya lagi. Nenek tidak sedang menangis sambil berjongkok menghadap celah antara lemari dan tembok. Kali ini, sosoknya yang dibalut kebaya merah duduk di sisi tanganku yang kaku. Aroma parfum Malaikat Subuh dan minyak angin yang semula menyelubungi kamar, berubah menjadi semerbak kembang tujuh rupa ketika dia menghadapkan wajah ke arahku. Mata dengan kantong lebar itu menatapku sayu. Bibirnya yang tipis dan kering terkatup rapat. Tangannya yang keriput dan penuh tonjolan urat terangkat, hendak memberi sentuhan. Aku ingin menjauh. Namun, seluruh sendiku kaku, seolah ada yang menahan. Dan sentuhan itu terjadi. Terasa dingin dan penuh tekanan di pipi kiriku.

Efek yang ditimbulkan setelah itu tidak pernah baik. Aku seperti kembali pada perasaan awal saat masuk rumah ini. Rumah Mr. Talkins. Ada bayangan buruk ketika pertama kali aku berjalan di ruang depan, tentang bagaimana dia akan memperlakukan aku. Kalau Ayah saja tidak punya hati untuk bisa peduli sedikit, bagaimana dengan orang lain? Terlebih, aku bekerja di sini sebagai ganti rugi atas apa yang dilakukan Juna.

Juna membuat geger dengan pengakuannya dua minggu lalu. Wajahnya pucat dan penuh keringat ketika menceritakan apa yang terjadi di kompleks tempat biasa dia dan beberapa anak lain bermain bola. Ada sedikit kecelakaan karena lemparannya. Bola yang seharusnya ditangkap, malah membuat lampu taman seorang pemilik rumah pecah. Apesnya, bukan kabur dia malah memungut bola bliter-nya yang bergulir di pekarangan. Jadilah dia tertangkap tangan dan diinterogasi untuk biaya ganti rugi.

Ayah hanya perlu menyembunyikan motor Lia, membiarkan tumpukan pakaian basah dalam ember di sudut dekat kulkas, menyalakan kipas angin yang menggantung di langit-langit ruang depan dalam gerakan yang lambat, dan menjadikan karpet tipisku sebagai alas duduk saat Mr. Talkins—pemilik lampu taman—masuk rumah, serta memasang wajah seperti pengemis minta sedekah. Aku tahu Ayah memiliki uang, karena sehari sebelum Juna melapor soal kejadian itu, dia berniat mengganti vespa bututnya dengan motor yang lebih bagus. Namun, mereka mengharap iba dari Mr. Talkins agar bersedia menukar uang tunai ganti rugi dengan jasaku. Toh, Mr. Talkins juga sedang mencari pembantu. Dan saat Mr. Talkins mengangguk, usaha Ayah tidak sia-sia membuat kami berimpitan dan gerah di ruang depan.

Mungkin aku tidak akan pernah dijadikan tameng seperti ini, kalau Ayah tidak membunuh seekor tikus dengan cara memukul dan menusuk sebelah mata si tikus, sementara istrinya tengah hamil. Wanita yang sudah melahirkan aku mungkin tidak akan kabur, jika mata kiriku tidak tertutup dan belekan. Ayah mungkin tidak akan menikahi Ibu, jika kakiku mampu berjalan normal. Dan kalau Ayah tidak menikah dengan Ibu, sudah pasti Lia dan Juna tidak ada.

Kata Ibu, dengan tubuh yang seperti ini aku tidak akan sukses. Syukur-syukur tidak menyusahkan Lia dan Juna ketika aku tua. Ibu juga memprediksi bahwa tidak akan ada yang mau meminangku. Siapa yang mau bersanding dengan gadis pece, berkulit hitam, kurus, rambut awut-awutan, dan pesek sepertiku? Makanya aku harus menurut sebagai bentuk rasa syukur, tambahnya. Dan karena bentuk rasa syukur itu, aku harus bangun di pagi buta.

Menyenangkan, sebenarnya, ketika aku membayangkan memakai seragam putih abu-abu yang dikenakan Lia. Berjalan di atas aspal yang belum menyerap dan memantulkan terik matahari. Menikmati sebentar embusan angin di bawah pohon mangga, di dekat trotoar. Sejuk, dan ketika menghela udara tidak banyak asap kendaraan yang ikut terhirup. Sayangnya, aku menikmati suasana tenang Jakarta ini di atas vespa Ayah. Tidak untuk ke sekolah, tetapi ke pasar induk Kramat Jati. Setelah dari sana, rutinitasku sebagai karyawan Ayah di pasar dimulai.

Ibu memang selalu begitu, bersikap seolah bisa mengetahui segalanya. Namun, yang terjadi sekarang adalah kebalikan dari ucapannya. Aku sedikit menyesal karena sebelum pergi ke rumah Mr. Talkins, aku merendam seragam Juna dan Lia bersama jin hitam Ayah yang luntur, sebagai bentuk protes. Aku memang ingin keluar dari kontrakan tiga petak itu, tapi dengan banyak uang. Aku memang ingin berhenti menjadi budak Ayah untuk berjualan di pasar, tetapi untuk pekerjaan yang menghasilkan uang. Dan ketika masalah itu datang, aku merasa dijadikan barang tukar tambah. Tenagaku akan dikuras untuk membayar ganti rugi.

Namun, di sini ternyata jauh lebih baik. Aku diberikan kamar tidur di lantai dua. Ruangannya bersih dengan cat langit-langit berwarna emas dan harum buah jeruk. Kasurnya berisi kapuk seperti milik keluarga Ayah, tetapi setidaknya karpet tipis dan bantal kempis bukan lagi alas tidurku. Kamar mandinya ada di dalam kamar. Televisi juga disediakan. Terlebih, pekerjaan yang kulakukan jauh lebih ringan.

Aku hanya harus menaati peraturan yang diberi tahu Madam—sebutan untuk istri Mr. Talkins—ketika pertama kali ke sini. Yang harus kulakukan hanya mengantar teh saat pagi dan sore untuk Madam di ruang baca; tidak keluar rumah tanpa perintah; tidak keluar kamar selepas jam sepuluh malam; dan hanya mengerjakan apa yang diperintah. Dan perintah-perintah itu tidak lebih dari sekadar mengganti seprai, menyapu dan mengepel, serta mencuci pakaian. Aku pikir, bahwa inilah masa di mana nasibku akan membaik. Terlebih, perlakuan Mr. Talkins membuatku semakin yakin untuk tetap tinggal di sini.

Tidak seperti Madam yang, hampir setiap kali aku mengantar teh, selalu mengoceh tentang betapa lambatnya aku berjalan. Bibir tipis Mr. Talkins selalu tersenyum ketika kami berpapasan. Dia juga selalu menanyakan apakah tidurku nyenyak atau tidak. Apakah aku betah atau tidak. Dalam satu kesempatan di Minggu pertamaku di rumah ini, kami sarapan bersama. Madam tidak bisa ikut karena kondisinya. Anoreksia nervosa. Kata Mister, Madam punya peraturan sendiri untuk menu makanannya.

Kami hanya menyantap mi instan. Mister yang meminta. Kupikir akan lebih baik jika pamit untuk makan di atas, tetapi Mr. Talkins menyuruhku duduk di seberangnya.

"Kita bisa makan sambil ngobrol, kalau kamu tidak keberatan." Dengan suaranya yang masih dipenuhi logat bule, dia memulai cerita sambil sesekali menyeruput mi.

Tidak banyak yang kami, atau lebih tepatnya Mister karena aku kebanyakan tersenyum dan mengunyah, yang dibagi. Dia menjelaskan dari mana asalnya. Dengan iris biru, kulit putih, hidung mancung, dan rambut pirang, dugaanku benar kalau dia berasal dari Inggris. Tatapan mata yang sayu dan rahangnya yang tegas, membuat dia seperti Legolas dalam versi manusia. Jadi, ketika kami sampai tahap film yang disukai, aku memberi jawaban dengan suara serak The Lord of The Rings dan Mister menyahut dengan Harry Potter.

Kejadian pagi itu membuatku bisa melepaskan gundah. Mimpi tentang Nenek yang menangis menghadap sela di antara tembok dan lemari bisa dilupakan. Itu bukan pertanda buruk. Siapa tahu Nenek sedang rindu dan menyuruhku pulang. Pulang untuk mengunjungi makamnya. Karena memang hanya aku yang sering ke sana. Aku tidak bisa berdoa. Jadi, yang kulakukan hanya menaburi makamnya dengan kembang tujuh rupa dan sebotol air mawar.

Nenek adalah sosok orang tua bagiku. Dia gabungan antara Ayah dan Ibu. Dia yang mengajariku membaca dan berhitung. Dia yang mendaftarkan aku di sekolah. Dan ketika dia pergi, hilang pula pegangan untukku. Terlebih, saat itu sudah ada Lia dan Juna. Namun, toh Ayah menikah lagi untuk kepentingannya. Demi keinginannya memiliki istri yang setia dan keturunan yang sempurna.

Mungkin karena ikatan di antara kami kuat, Nenek selalu datang di mimpiku dalam keadaan menangis, jika akan terjadi hal buruk. Namun, sekarang aku di tempat yang baik. Meski Madam berwajah masam, tetapi dia tidak semena-mena seperti Ibu. Dan yang lebih membuatku yakin adalah Mr. Talkins. Sorot matanya dengan iris biru itu selalu menghadirkan denyutan menyenangkan di dadaku.

Di rumah ini banyak cermin, dan aku tahu posisiku. Namun, tidak ada yang bisa menolak ketika denyutan itu menyerang dan membuat jantung berdetak cepat. Apalagi jika berhadapan dengan seseorang yang untuk pertama kali setelah Nenek pergi, memperlakukan aku sebagaimana mestinya.

Mister tidak seperti Ayah yang mengeluh soal potongan pepaya yang kurang kecil. Mister juga tidak seperti Ibu yang cerewet kalau hasil setrikaan kurang mulus. Mister jelas bukan Lia yang datang padaku hanya untuk memuntahkan kekecewaan entah pada siapa dan berlalu begitu saja saat selesai. Mister selalu berterima kasih dan tersenyum pada apa pun yang aku kerjakan untuknya. Dan Mister selalu menciptakan dialog dua arah kalau kami berbicara. Aku tidak mengerti soal selera pasar, tapi dia membuat pertanyaan itu menjadi kalimat yang sederhana. Tanya-jawab, Mister yang bertanya banyak dan berbagi pengalaman, sementara aku menjawab sesekali dan menyimak.

Dengan keadaan sekarang, aku bahkan rela bekerja terus di sini tanpa harus digaji.

****

"Saroh, apa Deborah masih sering mengomel?"

Aku menatap wajah Mister. Mulutnya tengah mengunyah potongan melon yang aku sediakan. Kami duduk bersebelahan di bangku meja makan, membelakangi sangkar raksasa yang sekarang dinaungi langit malam.

Aku mengangguk.

Mister mendengkus disertai senyuman. "Deborah memang sensitif jika mendekati akhir bulan Oktober." Dia tampak menerawang.

Ada banyak hal yang sudah Mister bagi padaku. Salah satunya adalah soal rumah tangga. Mister dan Madam sudah menikah selama sepuluh tahun. Namun, Madam menolak mempunyai anak. Kalau aku ... kalau aku ... berapa pun akan aku usahakan.

"Semua memang terasa berat." Iris biru Mister kini menatap mataku. Dia menggeleng singkat. "Saya selalu tidak nyaman dengan orang yang sudah meragukan saya. Walaupun masih menyimpan cinta, bukan berarti saya akan tetap pada pendirian."

Ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya. Aku merasa sedang dihipnotis hingga tidak mampu memalingkan wajah. Senyumnya pun memberi efek besar pada ritme jantungku. Bagaimana aku bisa menolak, ketika dia beranjak dan berdiri di sebelahku. Memegang bahuku dan membawa tubuhku berdiri.

"Saroh, apa kamu percaya pada saya?"

Apa maksudnya? Namun, tentu saja aku .... "Iya, Mister. Saya percaya."

"Kepercayaan adalah kunci dari segalanya, Saroh. Saya harap, kamu mengingat hal itu."

Sebelah tangan Mister mengusap keningku, membawa poni yang sepanjang hari kuurai diselipkan ke belakang telinga. Lalu, perlahan dia membuka plester dan kapas yang menutupi mata kiriku.

"Begini lebih baik." Dia tersenyum seraya membungkuk.

Aku hanya membalas senyumnya dalam hitungan detik, karena bibir kami sudah bersentuhan. Ada sengatan luar biasa di hatiku. Perutku kembali diremas rasa bahagia. Semuanya tampak berbayang dan tidak fokus dalam pandangan mata kananku. Dan memang, jarak pandang mata kiriku tidak ada, tetapi dari sisi itu aku merasakan sesuatu. Seseorang tengah mengamati kami yang masih bercumbu. Seseorang itu, yang seharusnya masih tertidur di dalam kamar, kini berdiri di ambang pintu.

Madam.

Mungkin aku harus tetap bersyukur lantaran Madam tidak menjambak rambutku dan mencakar, atau mengarak di kompleks sambil berteriak bahwa si cacat ini adalah wanita penggoda. Kalau aku yang berada di posisinya, tidak akan cukup dengan melakukan hal-hal itu. Tetap ada harga yang harus dibayar. Namun, Madam hanya memberi senyum. Terhuyung, dia menghampiri aku dan Mister, mengambil tempat di seberang kami, dan tangannya menggenggam kuat sandaran bangku.

"Bagaimana rasanya?" Tatapan Madam jatuh kepadaku. "Langkahmu terlalu jauh, Robert." Kini mata Madam beralih pada Mister.

Aku juga menatap wajah Mister. Masih ada ketenangan di ekspresinya, bahkan dia menyandarkan sebelah lengan di sandaran kursi. Mata birunya membalas pandanganku sebentar. Dia tersenyum dan menggaruk kepalanya dengan sebelah tangan yang bebas.

"Harus diyakinkan."

Apa maksud mereka?

Madam tertawa. Melengking dan terkikik geli. Jenis tawa yang sering kudengar dari tokoh antagonis di sinetron favorit Ibu. Tawa yang kemungkinan besar menyimpan rencana jahat.

"Sudah saatnya." Madam berbalik. "Ayo! Kuharap akan tetap sama, Robert. Enggak gagal! Karena aku meragukan yang ini!"

Aku merasa baru saja ada yang melempar batu besar ke perutku. Madam dengan langkahnya yang terhuyung membuka jarak yang semakin lebar, mendekati ambang pintu. Seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah yang dia lihat adalah hal biasa. Itu jelas tidak wajar. Jenis reaksi yang tidak biasa untuk istri yang mendapati suami bermain api. Apa dia tidak mencintai Mister lagi? Mungkin aku yang tidak waras. Memikirkan peluang hanya karena kecupan tadi.

Ada yang meremas jemariku. Mister. Iris biru itu membuat air mukanya terlihat tenang. Dia tersenyum dan mengajakku melangkah.

Aku tidak tahu. Semua terjadi begitu cepat dan mendadak. Sentuhan Mister. Kecupan Mister. Dan sekarang, kami berdiri di depan pintu sangkar raksasa.

Siapa yang dapat menyangka kalau di dalam rumah Mr. Talkinsada sangkar raksasa? Jeruji-jerujinya dilapisi warna emas, tinggi menjulang dengan kubah yang nyaris menyentuh atap rumah. Di dalam sangkar, sepenggal penampakan dari pekarangan di luar tersaji. Ada meja dan kursi bundar di bawah naungan pohon di sisi dalam sangkar; rumputnya tumbuh pendek dan rapi; sulur-sulur tanaman terlihat membelit dan terus memuntir hingga kubah; dan beberapa bunga tulip tumbuh di sisi yang berlawanan dengan pohon.

Beberapa hari lalu, aku sangat ingin masuk. Mungkin menyenangkan kalau baca komik di bangku dalam sangkar ini. Namun, malam ini aku merasa sangat ingin kabur. Aku tidak tahu alasan kenapa kami ada di sini. Bukankah akan terlihat normal jika sekarang Madam mencaci maki padaku?

"Jadi, Saroh. Ada yang ingin kamu minta?"

Madam dan Mister berdiri beberapa langkah di hadapanku. Mereka membelakangi pohon, sementara kakiku dekat bunga tulip. Aku tidak mengerti. Masih belum paham.

"Apa Robert tidak memberi tahumu tentang sesuatu? Baiklah, lupakan. Dia pasti sudah menanamkan keyakinan padamu. Itu yang paling utama. Sisanya, akan lebih baik kalau dirasakan saja. Itu akan membuatmu lebih paham."

Dentang jam mulai terdengar. Saling menyahut dari dapur; ruang baca; kamar utama; dan ruang depan. Tengah malam. Cahaya keemasan mulai muncul. Mula-mula dari bagian bawah jeruji sangkar, terus merambat hingga kubah, dan kami dihujani butiran emas. Lalu, cahaya lain keluar dari tempat kakiku berpijak. Menggambarkan dengan jelas pola lingkaran dan bintang. Dan aku berdiri tepat di bagian tengah bintang dalam lingkaran.

Aku menatap Mr. Talkins yang mengalihkan pandangannya. Melihat senyum puas istrinya. Mereka hanya beberapa langkah dariku, tetapi diam saat aku berteriak panik. Muncul kabut yang mengantarkan panas dan tanah mulai bergetar hebat. Kemudian, ada yang menarikku dengan keras. Melontarkan aku ke tanah. Entah siapa yang berteriak paling keras. Mungkin aku. Mungkin Madam.

Aku berusaha merangkak, tetapi ada yang menjerat kemudian melilit kakiku. Aku meraung, meminta tolong. Menangis keras dan berteriak. Tidak ada yang membantu. Butiran emas yang menghujani kami semakin deras, begitu juga dengan lilitan di kakiku yang semakin kencang. Kakiku yang pincang mungkin kini sudah remuk. Dadaku sakit tiap kali aku mencoba bernapas di sela teriakan. Tetap tidak ada pertolongan. Kini, lilitan itu mulai menjalar hingga pinggangku, lalu perut. Aku masih meronta, tetapi kalah. Tanganku kini juga ikut dililit.

Aku baru menyadari apa yang menyergap tubuhku. Sulur-sulur itu, yang berwarna hijau keemasan, membuat tubuhku remuk dan sulit bernapas. Layaknya kepala kobra yang siap mematuk, ujung sulurnya yang runcing berdiri tegak di depan wajahku.

Di malam itu, di penghujung Oktober, di antara jeritan saat ujung sulur yang runcing masuk mata kiriku, ada bisik Mr. Talkins. Bertalu-talu dalam pikiranku, mengulang pertanyaan yang sama. Dan sekilas, aku melihat wajah mendiang Nenek.

***

Ada cahaya yang menyilaukan untuk mengganti asap tipis yang tertinggal. Cahaya itu berasal dari sosok yang terkapar dekat bunga tulip. Perlahan, raganya mengecil, lalu bunga tulip yang baru muncul.

"Ada beberapa hal yang harus dijelaskan. Tapi, lebih dari itu kamu harus tahu. Saya yang memegang kendali. Saya bisa membuang apa pun dan bisa memungut yang lain. Kamu paham?"

Sepuluh tahun ditukar dengan empat belas hari?

"Saya tidak pernah menyangkal apa yang pikiran saya katakan. Kalau kamu menurut, saya bisa memberi apa pun."

Dan aku mengingat sosok Nenek yang menangis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top