[CERPEN]: Liona Antoniette - Suatu Hari Nanti
Jarak perkampungan ke Mortia sejauh masa lalu dan masa depan. Di Arandar kehidupan sangat keras. Gurun membentang menemui kaki langit, pasir berembus bersama angin, pun gersang mengoyak tenggorokan penghuni karavan sehingga satu per satu memilih pulang ke negeri yang lebih hijau dan biru.
Berkurang separuh, sisa yang bertahan mengandalkan daging kuda mati dan air perasan kaktus. Liona bantu mengobati luka terinfeksi anak-anak yang kelaparan dan orang tua sakit-sakitan. Nyaris mengakhiri nyawa mereka dengan menitikkan racun sedikit demi sedikit ke bubuk obat, karena kasihan, tetapi urung sebab hujan turun dan membasuh keputusasaannya.
"Kita akan sampai di Mortia," janji ketua karavan. Sirkus mereka lama tidak tampil. Selain kekurangan orang, banyak kerajaan mengusir karena menyakini pendatang dari gurun selatan adalah antek-antek penyihir. Dari terjalnya pegunungan Madjika sampai luasnya lembah Isilia. Karavan yang sudah berusia ratusan tahun tersebut baru kali ini mendapat perlakuan terburuk sepanjang umur ketuanya yang abadi dalam keriput.
"Mortia janji akan menjadi kota masa depan yang mengangkat hak setiap warga negara." Harapan Daeng, penyihir tertua yang selamat dari perang dan ingin hidup damai dalam kesenian. Tetapi Liona melihat jauh dalam kristal kacanya, kedamaian itu masih berupa angan setipis sayap kupu-kupu.
"Penyihir masih dibenci."
"Ratusan tahun berlalu, kita bisa kembali setelah terlupakan."
Liona menggeleng, bola kristal dalam pelukannya berpendar pucat. "Aku melihat satu per satu di antara kita akan binasa."
Daeng duduk di atas peti, hujan mengetuk atap tenda yang bolong-bolong. Berduyun-duyun pengikut yang masih sehat menadah rintik dengan periuk kusam dan ember karatan. Sementara Liona berlindung di balik kehangatan mantel lusuh agar terhindar dari masuk angin.
"Jadi, apa solusimu?" tanya Daeng.
Kristal tidak memberi tanggapan. Tetapi Liona bisa menyimpulkan, "kita berpisah."
****
Kehidupan Liona berjalan lambat dan membosankan. Ia sendirian, berkelana dari satu kerajaan dan desa lain. Gadis itu bahkan lupa tanggal dan musim apa sekarang. Mungkin sudah lima ratus tahun sejak Aloria, kerajaan asalnya, runtuh. Atau lebih daripada enam ratus. Sejak tidur menjadi hobinya, Liona tidak repot-repot melacak waktu.
"Ibuku bilang, seorang gadis tidak boleh malas-malasan," celetuk Arya, bocah dapur yang matanya buta sebelah dan tertutupi selapis rambut yang panjang seleher. Lengan mungilnya membawa semangkok kaldu sapi dan roti. Liona hanya balas tersenyum.
"Terima kasih."
"Lebih baik menikah dan mengurus keluarga."
"Cerewet." Senyum Liona mengering. "Berkeluarga itu awal kiamat."
"Ibu bilang menikah untuk mencari nikmat."
Kuah kaldu hampir muncrat dari mulut Liona. Gadis itu memicing. "Anak kecil seharusnya diam."
"Itu yang dikatakan orang dewasa kalau merasa kalah."
"Nak, bermainlah keluar dan urus hidupmu sendiri."
Tetapi anak itu tidak pernah berhenti merecokinya. Jam makan siang dia akan kembali ceramah, kadang membawakan buku, atau mainan-mainan kecil. Seolah membuat Liona bersemangat dan bangkit dari tempat tidur merupakan misi hidupnya. Gadis itu tidak bisa menolak, sudah setengah tahun ia tinggal di penginapan dan membayar sewanya setiap hari. Terlalu banyak uang serta umur, membuat Liona dianggap bangsawan lari yang sedang kabur dari kewajiban.
"Aku tidak punya tanah atau perusahaan. Cuma tabungan hasil meramal," cerita Liona, ketika Arya yang cerewet terus mengganggu kenikamatan makan malamnya. Mereka berbagi meja dan pengalaman. Arya dengan lutut berdarah, lari mengejar kumbang, atau menaiki keledai liar. Sementara Liona akan memulai dengan rasi bintang Deragus dan dongeng Anak yang Terkutuk.
"Anak itu terlahir buta, sehingga masing-masing orang tuanya memberikan satu mata yang berbeda warna: biru dan merah. Karena perbedaan itu ia dikecam warga desa dan dianggap pembawa sial. Anak itu diusir, tinggal di gunung dalam waktu yang lama. Sampai kedua orang tuanya meninggal, ia tetap menyepi dan akhirnya memutuskan balas dendam kepada warga yang menghancurkan hidupnya.
"Anak itu mencuri mahkota Deragus, dewa kematian. Lalu menantang langit dan akan menggulingkan tahta Veilas. Dari sinilah penyihir tercipta. Deragus memberi serpih-serpih kekuatannya pada makhluk ciptaan Alveira untuk dijadikan tentara langit."
Arya menyimak, kedua bola matanya berbinar selebar mangkuk sup. "Penyihir itu pahlawan?"
"Dalam kitab, iya. Kenyataan? Tidak."
Desaha lembut keluar dari bibir Arya, matanya menekuri pinggiran roti seakan merenung. "Aku iri pada penyihir. Mereka hidup abadi, punya kekuatan hebat."
"Ow, kau tidak tahu depresi yang mereka hadapi setiap beradaptasi dengan jaman yang baru. Menyebalkan. Bunuh diri tampak lebih baik ketimbang belajar mekanika mesin. Dan kekuatan hebat hanya membuat penyihir ditakuti."
****
Bertahun-tahun Arya tumbuh sebagai remaja. Tubuhnya tegap, liat karena otot dan berwarna cokelat tembaga akibat pekerjaannya sebagai peternak. Tetapi ia selalu kembali ke penginapan, untuk bertemu Liona dan memberikan barang-barang kecil tidak berharga. Misalnya kincir angin. Liona tidak menolak, ia selalu menerima dan menangguk malas pada semua cerita Arya sambil mengayun-ayunkan kincir.
"Kota Mortia sangat hebat. Di sana banyak pabrik mesin, rumah-rumahnya juga tinggi dan terbuat dari bata yang berbeda. Seperti di masa depan. Oh ya! Aku juga melihat wujud devirin dan witera. Astaga, aku baru kali itu lihat manuia bersayap. Ada juga yang bertanduk satu atau dua. Juga berekor kadal, bercangkang kura-kura, dan bertaring seperti biawak. Mortia kota yang menakjubkan."
Kincir berputar lambat, lantas berhenti dan akhirnya diletakkan di atas meja. Liona ingin tidur siang dan menghabiskan sisa umurnya di bawah selimut.
"Aku ingin mengajakmu ke Mortia, maukah?"
"Untuk apa?"
"Melihat-lihat."
"Haha," tawa sinis terlontar. Tetapi Arya tidak terpengaruh. "Aku sudah lelah melihat."
"Kenapa? Apa salahnya jalan-jalan?" Kedua alis pemuda itu tertaut, bingung.
"Kau punya semangat lebih besar daripada orang bermata dua sepertiku." Tetapi, hidup bertahun-tahun dalam kungkungan, apa salahnya mencoba keluar pintu dan menikmati kemajuan yang manusia ciptakan?
Akhirnya Liona berdiri dan menepuk pundak Arya.
"Traktir aku, ya?"
****
Manisan buah berbalut cokelat menjadi kudapan jalan-jalan Liona. Ia tidak merelakan kesempatan makan gratis sambil dituntun Arya. Berkeliling dari satu gerbang ke gerbang lain. Mortia memang menakjubkan. Langitnya abu-abu karena asap pabrik, berbau pahit. Udaranya tidak sehat, tetapi Arya tidak masalah. Mereka menaiki satu kereta kuda ke kereta kuda lain, sampai akhirnya mendarat di pusat ibu kota.
Sebuah tugu tinggi menjulang, dikelilingi patung-patung melayang berbaris spiral sampai ke puncak. Dari awal masa penciptaan, peperangan hebat, sampai jaman manusia menguasai Benua Hijau. Liona mendapati dirinya tidak pernah lagi merasakan keinginan untuk bertarung, sihirnya tumpul, ramalannya mengabur. Ada hasrat ingin kembali ke keluarganya sesama saudari penyihir. Tetapi perang telah merenggut segalanya, Ratunya yang paling cantik dan baik hati pun dicacah jadi puluhan bagian di depan matanya sendiri.
Mahkota emas itu hancur, tahtanya diinjak dan dikencingi. Dendam dalam hati Liona membara, tetapi sekarang padam dan nyaris hilang tanpa jejak.
"Kau menangis," pekik Arya. Liona segera menghapus air matanya dan pura-pura tersenyum.
"Kenapa?" tanya pemuda itu khawatir, kedua tangannya merangkul pundak Liona. Bertahun-tahun lalu Arya tidak lebih tinggi dari dadanya. Tapi sekarang Liona tampak mengerdil dan seperti gadis baru pubertas.
"Aku pernah punya tujuan hidup, tapi sekarang melupakannya."
Dan sekarang Liona bertekad, di tengah lautan manusia yang semakin mengganas. Ia akan mencari cara untuk menguasai mereka, lagi, suatu hari nanti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top