[CERPEN] Kin Dhananjaya
Hari-hari selalu terasa dingin, meninggalkan serpihan harapan di ujung sepi. Tubuh lemas berbau alkohol terbanting di kasur, Kin baru saja menenggak lima botol bir. Kebiasaan minum-minum sudah mendarah daging, tidak peduli umurnya masih tujuh belas tahun. Siapa juga yang mau menegur sifat buruknya? Kehidupan Ayahnya jauh lebih buruk dari sekadar kebiasan minum-minum. Anthony? Ah, orang itu lebih suka kalau Kin mati saja. Lalu Ibunya? Wanita baik hati itu tidak akan pernah tahu kebiasannnya. Kin tidak ingin merepotkan.
Balutan selimut sudah melelapkan Kin dalam tidur. Tanpa menyadari adanya langkah kaki yang mendekat, sangat pelan –mirip dengan suara denting jam dinding. Suara derit pintu bersentuhan dengan lantai teredam oleh lonceng jam yang menunjukkan pergantian hari. Kedua orang itu menahan napas tat kala sembari berpandangan suara lonceng jam mengejutkan pergerakan yang tengah mereka lakukan.
"Lakukan ini dengan cepat." Suara bariton berat melirik tajam lawan bicaranya, menolak adanya bentuk kegagalan. "Jangan buat dia kecewa."
Potret kamar Kin yang berantakan membuat kedua orang itu menghembus napas berat. Botol bir berserakan di lantai menguarkan bau alkohol yang menyengat dengan asap rokok yang masih terasa baru, bau khas preman jalanan padahal dia anak seorang mafia terkenal yang jauh lebih bermartabat dari preman jalanan. Meski kamar redup, tampak jelas banyak sekali poster-poster band rock terpajang (beberapa sudah sobek dan nyaris lepas, ada juga yang digambar tanduk dan kumis dengan spidol hitam) terutama band Queen yang cukup legendaris. Gitar listrik tergeletak di dekat pintu, nyaris tertendang kaki orang yang bertubuh lebih pendek. Belum lagi pakaian kotor yang menumpuk menimbulkan bau apek menyengat hidung. Langkah kedua orang itu pelan-pelan, takut menimbulkan suara akibat menyentuh barang-barang sakti di lantai.
"Bau banget," sungut pria bertubuh pendek itu. Kakinya menendang gitar listrik dengan hati-hati, agar tidak menimbulkan suara. "Kamar anak orang kaya kok mirip gudang tikus. Lihat tuh, ada sempak nyangsang deket botol bir. Gak jijik ya? Jangan-jangan dia kecanduan bau sempak."
"Hush, diem. Kita di sini cuma buat jalanin tugas," sahut pria bersuara bariton, tangannya sudah mencengkeram kepala pria bertubuh pendek itu. Lawan bicaranya hanya mengangguk pasrah sembari mendekati target.
Kin mengerjapkan mata, rasa pusing menyerang pusat kepalanya. Meski sudah tahu akan teler dan pusing, alkohol selalu menjadi pilihannya di malam hari. Menemaninya larut dalam kesedihan. Di tengah bangunnya, Kin hanya menatap kosong ke arah langit-langit seperti biasanya, melihat semua ambisi yang terukir. Sama sekali tidak menyadari kehadiran dua orang yang sudah menatap horror dirinya. Pria bersuara bariton yang memulai, tongkat baseball diayunkan tepat di dahi Kin. Suara erangan tertahan dari bibir Kin diikuti dengan tatapan terkejut. Sejak kapan orang-orang ini di kamarnya?
Belum sempat berteriak atau menghindar, benda tajam menembus dadanya dan merobek jantungnya. Kin bisa merasakan nyawanya yang di ujung tanduk, hendak melepas dari raga. Suara napas tertahan berusaha dinetralkannya, seperti kata Ayahnya, tapi semua itu tak berhasil. Pisau itu terasa menyakitkan, tidak seperti pisau yang biasa menggores lengan dan wajahnya. Lebih perih dari bekas luka goresan yang ditorehkan Anthony di punggungnya. Kesadaran sudah hilang dan pergi dari Kin, terutama begitu pisau dihujamkan lebih dalam sebelum ditarik.
"Sialan, kenapa dibunuh?" bentak pria bersuara bariton dengan volume pelan.
"Sudah terlanjur, lagi pula justru bahaya kalau tidak dibunuh. Dia sudah lihat wajah kita, Canopus pasti akan paham."
"Tidak ada yang beres kalau denganmu. Cepat cari kunci perpustakaan di barat."
Tangan Kin berusaha meraih sesuatu, namun semua bagian tubuhnya terlalu berat. Untuk sekadar membuka mata saja sudah tidak sanggup. Hanya indra pendengarannya yang masih tajam mendengarkan pembicaraan kedua pembunuhnya. Dia bisa tahu kamarnya digeledah, padahal dia tidak pernah ingat meninggalkan suatu barang berharga di kamarnya. Lebih tepatnya, tidak ada yang berharga sampai membuat orang membunuhnya. Siapa mereka?
"Cepat Rigel!"
"Tidak ada apa-apa, Kak."
"Sial, kata Canopus, kita harus keluar dari sini sekarang. Penjaganya sudah akan inspeksi. Ayo cepat bersihkan jejak kita."
Derap langkah kaki menjauh, bersamaan kegelapan yang menyerang Kin. Terlalu gelap dan hening.
###
Canopus, Rigel, perpustakaan di barat.
Kin terbangun dengan tiga hal yang memenuhi benaknya. Sinar matahari menusuk ke dalam retinanya. Tempat yang terlalu basah dan berbau tanah menjadi tempatnya terbangun. Bau harum bunga juga agak mengusik indra penciumannya. Dengan gontai, dia berusaha bangun dari lumpur yang nyaris menenggelamkan dirinya.
"Di mana ini?" Kin menyentuh dadanya, teringat tusukan tajam yang menghujam jantungnya. Mustahil dia masih hidup, dan apakah orang-orang itu membuangnya di sini? Yang dia ingat mereka meninggalkan Kin di kamar.
"Hey, hey, dia bangun. Sudah kubilang, 'kan, dia pasti ganteng. Dia ganteng banget." Suara pekikan di dekatnya sama sekali tidak mengundang Kin untuk mencari tahu.
"Halo, mas ganteng."
Tubuh Kin terpelanting di tanah begitu melihat wajah wanita buruk rupa penuh ulat yang baru saja menyapanya. Belum lagi rambutnya acak-acakan, mirip sasakan setelah melepas konde. Umpatan-umpatan sudah meluncur mulus dari bibirnya yang memang terbiasa berbicara kotor.
"Kayaknya dia masih bingung, deh." Sosok lain muncul di sebelah wanita itu. Wajahnya jauh lebih cantik, tapi Kin langsung menutup rapat bibirnya begitu melihat usus yang berurai dari perut wanita itu. Tempat macam apa ini.
"Iya, sih. Apalagi dia meninggal waktu ulang tahun. Tragis banget," sahut wanita yang menyapa Kin tadi. Wajah yang berusaha dibuat sedih, justru membuat Kin ingin kabur. "Mas ganteng, kamu tuh sudah mati. Kemarin sudah dimakamkan."
Ucapan wanita itu membuat Kin menyadari, kalau dia sedang berada di kuburan. Bau tanah, becek air, bau bunga. Matanya mengedar liar ke sekeliling. Di belakangnya, namanya terukit di baru nisan. Kin Dhananjaya, 15-08-00, 15-08-18. Ternyata dia mati tepat usianya baru saja bertambah.
"Siapa saja yang datang?" Pertanyaan itu lolos dari bibir Kin, melupakan semua rasa takutnya pada wanita yang mengagumi ketampannya.
Kedua wanita itu terlihat prihatin melihat Kin yang menatap kosong ke makamnya.
"Tiga orang. Yang dua terlihat seperti suami istri, yang satunya mungkin berumur dua puluhan," balas wanita yang usunya berurai.
"Tapi yang wanita berada di sini paling lama. Yang dua hanya berada di sini sebentar," tambah wanita satunya.
Bibir Kin merapalkan kata Ibu yang diulang berkali-kali, membuat kedua wanita itu melihatnya dengan pasrah. Mungkin mereka juga mengalami hal yang sama saat pertama kali menyadari kematian menjemput mereka. Itulah yang Kin rasakan, terlalu depresi.
Mengalahkan Anthony saja belum mampu, membalaskan dendam Nancy yang sudah dibunuh dua orang berengsek saja belum mampu, kini malah menjadi arwah gentayangan. Teriakan penuh putus asa keluar dari bibirnya, mengisi sepinya kuburan. Beberapa hantu yang sempat tidak memperhatikan keributan di tempat Kin, mulai berdatangan untuk mencari tahu. Beberapa mengorek informasi dari dua kuntilanak yang sempat menggoda Kin.
Kin berlari menabrak kawanan hantu di dekatnya, tidak peduli mereka akan merasa kesakitan atau tidak. Dengan frustasi, dia menonjok pohon dengan keras namun tubuhnya justru merangsek ke depan. Dirinya benar-benar sudah menjadi hantu, seperti di film-film horror yang pernah ditontonnya bersama Nancy. Dia masih ingat, kakaknya selalu ketakutan saat melihat hantu namun sangat menyukai film horror.
Kin bangkit dan mencoba menonjok pohon lagi, gagal. Dia terus menerus berusaha seperti orang bodoh, tidak peduli dengan semua tatapan yang memandangnya sedih, sampai kemarahannya yang sudah meledak-ledak. Kin berteriak sangat frustasi hingga membuat beberapa hantu menutup rapat telinga mereka. Buku-buku jari merangsek ke batang pohon hingga dia bisa merasakan kasarnya kulit pohon bersentuhan dengan kulitnya. Dia berhasil menonjok batang pohon.
"Dia pakai kekuatan, bukankah itu berbahaya? Dia bisa jadi roh jahat, 'kan?" ucap salah satu anak kecil berkepala botak dengan luka bakar di dekitar pipi kanannya.
"Hei, cepat hentikan dia." Beberapa hantu wanita sudah heboh memerintah lelaki di sekitar mereka.
Kin terus menonjoki pohon hingga terasa suara retak di tulangnya. Dia hantu, 'kan? Kenapa harus kesakitan, tidak masuk akal. Semua ini tidak pernah masuk akal. Apalagi kematiannya. Hal paling tidak masuk akal yang tidak ingin dia percayai.
Beberapa hantu berusaha menghentikan Kin, justru mendapat tonjokan di sekitar wajahnya. Kemarahan Kin sama sekali tidak bisa dikendalikan. Membuat beberapa orang memilih undur diri dan tidak mau berurusan dengannya.
Kin bersandar di batang pohon, menangis pilu. Berharap bisa memutar waktu kembali di belakang. Sayangnya, kematian sudah terlebih dahulu mendatanginya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top