[CERPEN] Dewi Raisya Aufa
Hari ini hari Sabtu. Di balik jendela kamar, langit mulai menggelap sementara Sang Baskara pergi ke belahan dunia lainnya. Gorden-gorden bergerak-gerak dimainkan angin. Dan aku di kamar bercahaya remang-remang ditemani laptop menyala yang menampilkan film Thailand bergenre romantis ala anak SMA, juga kakak perempuan yang telungkup manis di sampingku.
Kami punya hoby yang sama, menonton film: anime, drakor, dan film movie lainnya.
Sekarang, kami sedang menonton movie Thailand. Bertemakan cinta adik kelas kepada kakak kelasnya, aku dibuat teringat pada Rizal si kakak kelas yang kusukai. Pun, film ini bercerita si adik kelas yang merubah aspek yang menurutnya buruk dan lebih memperbaiki diri untuk si kakak kelas. Istilahnya, sih untuk menarik perhatiannya. Dan tanpa sadar pula, aku mulai memperhatikan film ini dan berniat melakukan hal yang sama seperti tokoh utama.
Di sana juga ada metodenya. Si adik kelas memakai buku cinta untuk mendapatkan kakak kelas. Aku refleks tersenyum ketika adegan mereka dimulai. Namun, selalu saja ada pihak ketiga di antara mereka. Lantas aku bertanya-tanya, siapakah pihak ketiga di antara aku dan Rizal?
Ah, memikirkan kemungkinannya juga rasanya mustahil. Aku ini pemalu. Gadis pecinta cogan yang bisanya cuman suka tapi nggak berani mendekati. Tipikal cewek yang pengecut.
Padahal, dulu SD aku sering mem-bully orang, tapi kenapa ketika dihadapkan cinta aku mendadak lupa apa yang sudah kulakukan sejak dulu? Ke mana perginya sifat angkuh dan seenakku?
Tapi ya ..., bukan berarti aku menginginkan mereka kembali. Aku justru lumayan senang karena sekarang sudah mendapat ilham. Bahwa yang kulakukan dulu adalah kesalahan, dan karena sudah tahu lebih baik tidak diulangi lagi.
Aku berjanji pada diriku untuk tidak mem-bully lagi. Mengubah kebiasaan awalku menjadi si penolong yang di-bully.
Kalau sekarang aku memilih menjalani hidup biasa saja. Yahh, walaupun ekspektasi tidak sesuai realita, maka kubairkan saja semua berjalan apa adanya.
Keinginan awalku itu menjalani hidup SMP bahagia, tentram, dan sejahtera. Namun, karena ketahuan suka sama kakak kelas, otomatis kehidupan SMP ku berubah drastis dari yang kuharapkan.
Rizal itu tipikal cowok agak cuek dan jahil. Setidaknya itulah yang kuketahui dari sifatnya akhir-akhir ini. Aku berharap bakal dapat informasi lebih banyak darinya, agar aku bisa mendapatkannya segera dan tidak ada khayalan aku bersamanya hanyalah imajinatif belaka.
Film Thailand ini mulai di penghujung akhir. Mereka mendapatkan akhir bahagia dan aku tersenyum puas sambil menitikkan air mata. Sungguh akhir bahagia dan membuat emosiku teraduk-aduk.
Apakah akhir ceritaku bakal sama kaya cerita ini? Hidup bersama dengan orang yang dicintai? Yah, siapa yang tahu.
Aku hanya gadis SMP yang menatap ke depan. Berusaha sebaik-baiknya bersikap normal dan tidak menyusahkan orang lain. Aku juga hanya gadis SMP yang sedang dimabuk cinta. Virus merah jambu hinggap di tubuhku, mempermainkan perasaanku yang meletup-letup acap kali bersitatap dengannya, bak gunung berapi yang siap meletus kapan dan di mana saja.
Setelah menyelesaikan film ini aku juga tahu satu hal. Bahwa metode-metode tadi tidak ada yang bisa kulakukan. Kalau kalian tanya mengapa, aku akan menjawabnya dengan senyum miris.
Jawabannya sudah ada lewat tingkah lakuku selama ini. Wajah merah dan emosi yang naik-turun bagai rollercoaster berkecepatan tinggi, seharusnya kalian sudah tahu jawabannya. Bahwa metode di film Thailand tadi tidak ada yang bisa digunakan karena aku terlalu ... pemalu.
Dan jangan timpuk aku, karena satu lagi, aku hanya gadis SMP labil yang masih dalam masa pubertas. Dalam masaku, jatuh cinta bisa terjadi pada siapa dan kapan saja.
***
Hari Minggunya aku menghabiskan waktu siang dan soreku bersama teman-teman rumahku. Kami pergi ke lapangan dekat rumah, tempat biasa kami membunuh waktu bersama dengan bercerita atau bermain permainan anak-anak.
Kalau boleh jujur, aku tentu malas untuk bermain seperti ini. Maksudku, menurutku ini terlalu kekanak-kanakan. Apa tidak ada permainan lain? Aku ingin bermain bersama mereka tanpa ada rasa malas sedikit pun.
Aku menunduk, berpikir keras ketika teman-temanku sedang mengusulkan mau main apa.
Isi kepalaku yang tadinya dipenuhi aneka permainan yang kuketahui akhirnya pecah. Bola menggelinding di bawah kakiku dan aku serta-merta merasa marah karena benda itu menghantam kepalaku.
"Hey, hati-hati, dong!" sungutku, nyaris membentak jika tidak sadar aku tidak terlalu kenal pada laki-laki di hadapanku.
Dia menanggapi dengan ringisan dan aku merasa dongkol karenanya. "Maaf," katanya, sambil memungut bola dan berbalik kepada teman-temannya.
Aku mendengkus. Bahkan laki-laki itu tidak repot-repot menanyakan keadaanku atau menunggu jawabanku.
"Nggak apa-apa, Dew?"
Aku menoleh ke Mbak Dini. Lantas mengangguk sambil tersenyum tipis. "Udah ketemu mau main apa?"
"Udah. Via nyaranin main buku tangkis, Alfi nyaranin main petak umpet, Dhea sama Linda nyaranin main taplak gunung, aku saranin ...," Dia diam sebentar, "aku nggak saranin apa-apa."
Lagi-lagi, wajah dongkol terbit di wajahku. "Aku saranin kalau kita curhat-curhatan saja."
"Widih," Mbak Dini tergelak, begitu pula dengan yang lainnya. "Ada apaan, nih pake curhat-curhatan segala? Kalau mau curhat nggak apa-apa atuh, neng. Kita bakal dengerin dan kasih saran kalau perlu."
"Oke," ucapku. "Intinya aku lagi suka sama kakak kelas dan dia tahu karena berkat teman-teman emberku. Lalu aku ini malu-malu terus kalau dia deketin. Dan intinya, apa yang harus kulakukan?"
"Ehm ..., apa ya?"
"Iya, sih. Mbak Dewi itu terlalu pemalu orangnya kalau sama cowok," sahut Via. Aku menatapnya kesal, merasa terhina dengan adik kelasku itu walau yang dia katakan adalah kenyataan. "Kalau kataku, sih Mbak Dewi harus lebih percaya diri."
"Dan yang jadi masalahnya adalah aku yang nggak bisa percaya diri," balasku cepat. "Rasanya mendadak kikuk kalau deket dia. Bibirku terkunci rapat dan yang merespon hanya wajah yang memerah dan jantung yang berdebar-debar. Kalau bisa aku juga mau percaya diri, tapi hal itu nggak ada dalam diriku."
Mereka diam dan aku menunduk. Malu dengan diriku yang tidak punya pendirian. Mereka saling bertukar pandang, sebelum akhirnya Mbak Dini membuka suara. Awalnya kukira dia mau menghiburku atau mengucapkan kalimat motivasi, tapi dia malah berkata, "Semuanya tergantung sama kamu sendiri. Kalau suka tunjukkin, jangan terlalu malu-malu atau cowok itu bakal jenuh lihat kelakuanmu kayak gitu melulu." Dia tersenyum. "Sekarang, ayo main. Siapa tahu kamu jadi tau mau ngelakuin apa setelahnya."
Aku menjawab dengan senyum tipis. Sangat tipis sampai-sampai aku merasa yang terlihat hanya garis lurus saja.
Kami beranjak dari lapangan. Pilihan jatuh ke buku tangkis dan kami memilih melakukannya di gang saja, karena di sini udaranya terlalu berangin.
Ketika kakiku menginjak langkah ke empat, pintu lapangan dekat kami duduk tadi terbuka. Suaranya yang keras dan sedikit berderit menarik perhatianku.
Aku berbalik sedikit dan mendapati laki-laki yang kusukai berdiri di depan pintu lapangan. Pupil mataku melebar dan jantungku berdebar-debar, merupakan wujud dari keterkejutanku akan kejadian hari ini.
Aku ini mudah sekali terpukau. Namun, kenyataannya jauh dari apa yang kubayangkan. Ketika para laki-laki yang sedang bermain bola tadi menyapanya, aku tahu satu hal: dia tinggal di dekat sini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top