[CERPEN] Danial Yudhistira - Saudade
Saudade
Cinta membuat orang menjadi gila, sekarang Al tahu kutipan itu tidak salah. Setidaknya, dia sudah mencapai setengah dari ketidakwarasan, butuh separuh lagi sakit untuk menjadikannya gila betulan. Atau, seperti itulah yang orang-orang katakan; mereka yang Al temui di kantor, rumah, atau ruang pemotretan. Seolah menjadi lebih baik adalah sesuatu yang fana bagi Al.
Memang, pria dingin itu tidak menampik bahwa dia berubah—tidak, Bayu yang mengubahnya. Tidak sekadar ketika ia berada dalam jarak pandang mata cokelat pria penuh senyum itu, melainkan ada atau tanpa dirinya. Tidak banyak mencaci atau menggerutu, sesekali tersenyum, mengulurkan tangan untuk sebuah bantuan kecil, atau sapaan pagi yang sebenarnya membuat merinding.
Tapi, bukan hanya itu saja alasan kenapa dia, Danial Yudhistira dianggap gila. Melainkan etos kerja yang memanjat cepat berkali-kali lipat, semangat yang membara, atau terserahlah apa namanya. Sederhananya, Al jadi maniak kerja. Karin, asisten yang merangkap wakil ketua tim pun sampai geleng-geleng kepala. Tidak sekali dua kali ia menemukan sang atasan tertidur di meja kerja dengan berkas-berkas berserakan atau laptop dengan layar masih menyala terang. Dalam sebulan, gadis berkacamata itu sampai bisa menghitung seberapa sering si bos pulang ke apartemen mewahnya yang nyaman hanya dengan menggunakan jari di sebelah tangan.
Awalnya, sang kakak, Adrian Yudhistira merasa sangat senang dengan perubahan sang adik, namun itu tidak bertahan terlalu lama. Sebulan sudahlah cukup untuk melihat warna hitam di bawah mata si bungsu, pipi yang cekung, dan kulit tipis yang sewarna dengan kulit mayit. Tentu saja mau tidak mau ia merasa ngeri, sekaligus bertanya-tanya, apa yang terjadi pada adik satu-satunya ini?
Jadi, suatu malam, ketika jarum pendek mengarah pada angka empat, jarum panjang menunjuk pada angka sepuluh, sedangkan jarum berwarna merah terus bergerak berputar menghitung setiap sekon yang berlalu, kaki jenjang yang dibalut sepatu kulit hitam menggilap mengayun konstan di atas lantai-lantai dingin lorong menuju ujung pintu. Tak perlu mengetuk ketika ia melihat meja sang asisten yang kosong melompong. Lagi pula, ini kantor miliknya. Ketika ia memutar kenop kuningan di tangan, mendorong kusen kayu yang dipelitur, tampak Al yang duduk bersandar pada kursi kerjanya yang berpunggung tinggi, bahunya turun, kepalanya merunduk lesu.
Ketika Yan berdiri di depan meja kerja adiknya, membungkuk untuk mengintip wajahnya, ia sadar bahwa Al tengah tertidur di atas kursinya. Wajahnya kelihatan sangat lelah. Meski matanya erat terpejam, jelas-jelas tidurnya tak nyenyak, tampak dari dahi dan kedua alis hitamnya bergerak-gerak.
"Al?" panggilnya pelan, tak ada teriakan seperti biasanya.
"Hm," gumam Al dalam mimpinya.
"Al, bangun—" Tangan Yan terangkat, terniat menyentuh bahu Al yang lelah.
"Ayu—" Al menyebut nama yang Yan tak pernah dengar sebelumnya. "—jangan pergi."
Dahi Yan mengerut, tangannya yang menggantung lemah di udara ia tarik. Ia melihat sesetes air mata muncul seperti embun yang jatuh di ujung daun. Adiknya menangis.
--
Al terbangun ketika cahaya-cahaya lampu dari gedung-gedung tinggi di sekitar kantornya yang berada di lantai dua puluh sebagian padam, sedangkan cahaya matahari mulai muncul di antara celah-celah bangunan, warna langit yang semula hitam berubah menjadi kelabu, bercampur warna oranye di ufuk timur dan juga biru. Ada sedikit arakan awan tipis di beberapa bagian, dan burung yang terbang mulai mencari makanan.
Ketika membuka mata, yang diingatnya pertama kali adalah kamarnya yang didominasi warna putih, abu-abu dan juga warna kayu, bau asin laut, serta angin dingin yang lembut di Barcelona. Namun, ketika ia benar-benar mengumpulkan nyawa, dan sadar bahwa itu sekadar asa. Senyumnya yang secercah itu langsung kandas seperti tulisan di atas pasir yang diempas ombak. Menghilang tidak bersisa, digantikan warna ruangan putih berpadu hitam, udara hangat dari penghangat ruangan, dan bau Lavender dari pengharum ruangan, Al harus menelan kekecewaan.
Akhirnya, setelah sekitar semenit duduk sambil melamun, lalu bangkit dengan langkah lunglai, Al nyaris berjengit tatkala melihat sosok serba hitam yang duduk di sofa ruang kerjanya, dinaungi gelap dari lampu yang dipadamkan. Kakinya terbuka lebar, dengan lutut dijadikan penumpu kedua ujung siku, dan tangan saling menggenggam menyentuh dagu. Tapi, hal yang paling mengerikan adalah, pandangan matanya tajam mengarah pada Al seolah ingin menusuk jantungnya sehingga ia bisa langsung mati.
"Lo ngapain?" tanya Al dengan nada lelah yang tak bisa ia sembunyikan.
Bukannya lantas menjawab, yang dilakukan Yan adalah melayangkan pertanyaan lagi, "Ngecek lo."
Al mendengus mendengar jawaban Yan yang menurutnya lucu, kakinya yang jenjang segera mengayun menuju sakelar lampu karena hari masih jenderung gelap, cahaya matahari yang hanya mengintip dari balik gedung-gedung tinggi tidaklah membantu. Setelahnya, ia mulai melangkah lagi, tidak kepada kakaknya yang ternyata masih menunggu dengan mata awas. Al berhenti di depan dispenser di pojok ruangan, berjarak lima langkah saja dari tempat Yan terduduk sekarang.
Di tempatnya berdiam, Yan memerhatikan setiap gerak-gerik Al yang benar-benar tanpa semangat. Bagaimana ia mengambil cangkir keramik, menuangkan bubuk kopi dan mencampurnya dengan air panas, sampai saat ketika pria itu menghidangkan kopi di hadapan masing-masing, di atas meja kaca yang menampilkan karpet dengan corak hitam putih kotak-kotak di bawah kaki mereka.
"Kopi," seru Al dengan nada dingin, punggungnya bersadar pada sofa.
"Lo ... bikinin gue kopi? Nggak bisa dipercaya."
"Jangan basa-basi. Langsung aja. Gue mau mandi. Ada meeting tim jam delapan nanti."
Sifat Al sekarang membuat Yan tak habis pikir. Dia merasa Al telah berubah menjadi zombie. "Lo gila? Sekarang bahkan belum ada jam enam! Lo baru aja bangun habis kerja sampe lewat tengah malam!"
Mata Al membelalak, menatap kakaknya tidak percaya. "Lo udah di sini dari jam tiga pagi?"
"Lo tidur jam tiga pagi?" Yan makin tak mengerti.
Al menutup matanya, sikunya ditumpu pada lengan sofa dengan salah satu tangan memijat-mijat pelipisnya. "Gue insomnia belakangan. Karena nggak bisa tidur, ya, gue kerja. Toh apa yang gue lakuin bias bikin lo tambah kaya." Kalimat terakhir tentus aja Al layangkan dengan niat menyindir.
"Nggak dengan ngorbanin kesehatan lo. Itu Cuma bikin gue buang-buang duit."
"Gue bisa pake duit gue sendiri buat berobat."
"Lo ngerepotin gue."
"Gue bisa urus diri gue sendiri."
"Kenapa, sih, lo keras kepala banget!" kali ini Yan membentaknya dan Al berdecak karenanya.
"Gue banyak kerjaan. Kalo lo dateng cuma buat ngeganggu gue mending lo pergi aja sana!" Ketika mengatakan itu Al bangkit dari sofanya, mulai melangkah menuju meja kerjanya. Namun, ketika ia melewati Yan, pria yang lebih tua darinay beberapa tahun itu menjegal lengannya, kepalanya mendongak, matanya tajam menatap Al yang bertampang kaget.
"Duduk! Gue belum selesai ngomong," ucapnya dengan nada jauh lebih diktator daripada biasanya.
Lagi-lagi Al berdecak, tapi tidak mengumpat. Lebih jauh, ia menurut. Menyandarkan punggungnya dan kembali menyamankan posisi duduknya seperti semula. "Cepet!"
"Lo kenapa? Kenapa lo pengen banget cepet-cepet nyelesaiin proyek ini? Apa ada hubungannya sama niat lo buat resign? Apa orang yang namanya Ayu itu yang nyuruh lo?"
Ketika melontarkan pertanyaan seperti itu, Al tidak menahan dirinya sama sekali untuk melemparkan heran. "Ayu?"
"Ya, Ayu. Pacar lo."
"Lo ngomongin siapa, sih, Yan?"
"Ha! Terus aja pura-pura. Gue dengar lo ngigo 'Ayu jangan pergi. Ayu jangan pergi' sampai nangis. Kalo bukan pacar apa namanya?"
Al terdiam sebentar. Mulutnya ia tutup dengan tangan karena menahan rasa geli yang menjadi-jadi.
"Apa? Apa yang lucu? Gue serius, setan!"
"Dia bukan Ayu. Dia Bayu, Yan," koreksi Al dengan tenang.
"Oke, terserah. Ayu, Bayu, pacar lo itu—"
Hening.
"Dia cowok?!" teriak Yan keras sekali. Nyaris berdiri. "Lo pacaran sama cowok?"
Al hanya bisa mendegus dan tersenyum miris mendengar kata-kata itu. Ia yakin, akan ada lebih banyak orang yang mengatakan itu, dari keluarganya, teman-temannya, koleganya, tapi ia tidak peduli pada itu semua. Baginya Bayu adalah prioritasnya.
"Nggak. Nggak bisa disebut begitu, meskipun gue yakin dia tahu perasaan gue, dan sebaliknya, kami nggak pernah nyebut itu secara gamblang. Gue rasa itu nggak bisa disebut pacaran."
Yan mengernyit. "Kalian konyol!"
"Ya, gue tahu, tapi ini nggak sederhana."
"Apanya yang nggak sederhana?"
"Hubungan kami, situasinya, semuanya." Setelah mengatakan itu Al merundukkan kepala, matanya kembali sayu, seolah teringat-ingat bagaimana pedihnya masa lalu.
"Jelasin!"
Hening, tapi Al sudah dengan sigap mengangkat kepala, mengarahkan wajah pada kakaknya, memaku tatapan untuk menangkap ekspresi apa yang akan muncul nantinya.
"Lo bisa mikir soal dia yang biki gue jadi gay, orang gila, atau apa pun. Tapi, lo juga harus tahu, dia yang justru nyuruh gue balik. Nyelesaiin semua masalah dan bertanggung jawab sama semua kesialan ini. Dia ngelarang gue ke Barcelona sebelum semua selesai. Tapi, lo tahu, dia sakit, dan dia nunggu gue di sana. Gue cuma takut ... gue takut gue nggak punya kesempatan lagi liat mukanya, ketemu dia, bilang kalo gue cinta sama dia."
Yan nyaris menganga mendengar penuturan adik semata wayangnya. Ia menangkapnya dengan jelas, bagaimana nada suaranya ketika menyebut-nyebut tentang Bayu. Yan tahu, Al benar-benar jatuh cinta.
"Kak—" Yan terperanjat ketika Al untuk pertama kalinya memanggilnya dengan sebutan itu setelah bertahun-tahun yang begitu lama berlalu, "—gue kangen sama dia."
Mendengar itu, Yan serasa merasakan perih di hati entah kenapa.
--
Al nyaris tidak bisa memercayai apa yang sempat didengarnya, bahwa kakaknya, Adrian Yudhistira berkata, "Gue bakal bantu lo."
Al yang kala itu masih merasa frustasi dan agak depresi tentu saja mendadak linglung. Dia menatap wajah sang kakak yang tengah duduk dengan santai. "Apa?"
"Lo tuli? Denger, karena gue baik jadi dengerin bener-bener : gue—Adrian Yudhistira, yang ganteng, baik hati, dan nggak sombong—bakal ngebantu lo. Paham?"
Al mengernyit. Jujur, ia tidak paham. "Maksudnya?"
Yan mengambil napas dalam dan mengusap wajahnya kasar. "Gue bakal bantu lo nyelesaiin semua masalah di sini; soal proyek majalah, orang tua kita, atau pertunangan lo sama Digta. Semuanya! Kurang jelas?"
Al terdiam, tatapan matanya dipenuhi kebingungan, namun, itu hanya bertahan sebentar, sebelum bibir tipis pucat itu melengkung. "Serius?"
"Kapan gue nggak serius?" balas Yan dalam mode tersinggung.
Tapi, Al akhirnya mendengus, tertawa kecil, sampai akhirnya beranjak dari sofa hanya untuk menyongsong sang kakak dan memeluk erat tubuhnya sampai pria itu sesak napas. "Makasih! Makasih! Gue utang budi sama lo, Kak!"
Dan yang Al dapatkan selanjutnya adalah pukulan bertalu-talu di lengannya yang diiringi cacian, "Le—pas—si—al!"
Begitulah, dan di sinilah Al sekarang, menginjakkan kaki di lantai dingin bandara International El Prat, mengayunkan langkah dengan tergesa, dengan dada bedegup-degup, bersama senyum simpul, dan iringan koper yang digeret. Tangannya yang panjang dengan sigap melambai tatkala melihat sebuah taksi melintas tak jauh darinya. Al tampak seperti orang gila saking bahagianya.
"Barceloneta beach!" serunya tak sabar dengan pandangan mata berbinar-binar.
Sekadar info tak penting, Al menghabiskan waktu yang harusnya ia gunakan untuk bekerja menjadi tidur. Hari itu ia bisa pulang dan melepas lelah setelah berminggu-minggu bekerja seperti orang gila dan berakhir menjadi zombie setengah manusia. Tapi ketika ia sudah berada dalam pesawat, ia terlalu bersemangat sampai terus terjaga, menghabiskan waktu dengan tersenyum dan melamun, membayangkan wajah Bayu ketika melihatnya, atau apa saja yang bisa mereka lakukan untuk menghabiskan waktu-waktu bersama.
Sayangnya, setelah ia membayar kargo taksi, menyeret koper di gang-gang sempit dengan setengah berlari, dan akhirnya sampai di depan rumah yang sempat ia tinggali, yang ia temukan adalah pintu kayu polos yang terkunci. Tapi, Al merogoh saku mantelnya, mengambil kunci kuningan yang terselip di antara Euro dalam dompet kulit cokelat yang mengilap. Benda yang selalu mengingatkannya pada "rumahnya" di Barcelona; tempat ia berpulang, tempat di mana orang-orang menerima kedatangannya sambil merentangkan tangan.
Seketika itu Al mengingat saat Banyu, kakak lelaki Bayu, meraih tangannya dan memberikan benda pipih itu ke telapak tangannya. "Simpen ini. Rumah kami selalu terbuka buat lo." Yang mau tidak mau membuat Al itu tersenyum. Dengan tenang, ia masukkan kunci ke dalam lubang dan memutarnya ke kanan. Ketika bunyi 'klik' terdengar pelan, senyumnya makin melebar.
Tepat ketika pintu terbuka, yang tertangkap dalam indera penglihatannya adalah sebuah ruangan dengan tembok krem, lantai kayu, seperangkat sofa cokelat dengan meja kayu, juga sebuah TV LED di bagian tepi ruangan tamu. Baling-baling dari kipas antik di atas atap putih masih berputar-putar pelan. Tempat ini tidak berubah sama sekali. Selanjutnya yang ia lakukan hanyalah membawa sepatu bot cokelatnya masuk, melewati batas antara undakan dan lantai rumah. Di sana, ia bisa mencium dengan jelas bau apak dari perabot-perabot tua juga udara lembab yang menyentuh kulit putihnya.
"Bayu?" panggilnya. Suaranya yang berat tersebar sampai ujung-ujung ruangan, keras bergaung. "Banyu?" panggilnya lagi seraya menutup pintu, membuat langkah, menarik koper dan meninggalkannya di tengah ruangan.
Al dengan cekatan mengecek kamar, kamar mandi, dan ruang makan yang bersatu dengan dapur, tapi semua kosong. Sejujurnya, pria itu berubah was-was. Berlari ia menanjaki anak-anak tangga untuk sampai di lantai dua, masuk ke dalam lorong sempit untuk sampai di kamarnya. Di sana, ia mendorong pintu cokelat yang ternyata tak dikunci, memperlihatkan ruangan berpenerangan remang. Kosong. Tidak ada siapa-siapa, kecuali seluet pria kurus tinggi di balik tirai putih yang Al yakini sebagai pria yang ia cintai.
Katakan saja, katakan dengan jelas atau teriakkan kata itu tepat di telinganya, bahwa dia, Danial Yudhistira, benar-benar tidak waras! Pria itu sendiri tidak mengerti bagaimana sebuah bayangan mampu membuat jantungnya menggila; mendobrak-dobrak rongga dadanya dalam usaha sia-sia, bersama suaranya yang hilang, napasnya yang tertahan, matanya yang terbakar. Tapi, dengan gemetar kakinya mengayun dengan pasti, menimbun keberanian, harapannya membuncah, dan tepat ketika tirai itu ia mampu genggam dengan telapak tangannya yang sudah basah—
Al tidak mampu lagi membendung air mata, saat sosok pria kurus, berkaus putih panjang, berambut cokelat berdiri bersandar ke depan dalam kegiatannya memandangi lautan.
"Bayu."
Dan ketika suara itu keluar dari kerongkongan, sosok itu akhirnya menoleh, membuat mata hitam dan cokelat bertemu.
--
Malam itu, Al sama sekali tidak teringat tentang makan malam, tak peduli perutnya keroncongan, hanya ingin terbaring di atas ranjang dengan Bayu di hadapan, saling memandang, menggenggam tangan. Lampu padam. Hanya ada rembulan yang muncul di ambang pintu yang terbuka, tanpa malu mengintip mereka, arakan awan di langit, disertai bintang yang bekerlap-kerlip genit.
"Gue kangen."
"Kamu udah bilang itu berulang kali."
Al tertawa kecil.
"Gue seneng."
"Aku juga."
"Jangan pergi lagi." Ketika mengatakan itu, Al mengeratkan genggaman tangan mereka, seolah takut kehilangan pria di hadapannya untuk yang kedua kalinya.
"Aku nggak pernah pergi."
Al tergelak dan ingin tertawa lagi. "Ya, gue yang pergi. Tapi itu karena lo yang minta."
Bayu tersenyum saja.
"Bilang sesuatu, Bay!" pinta Al tiba-tiba karena merasa tidak nyaman pria itu hanya tersenyum dan berkata pendek-pendek.
"Aku pengen kamu bahagia—"
"Gue bahagia," sergah Al cepat. Merasa lucu dengan ucapan yang tercinta.
"—selamanya, Al, tanpa penyesalan sama sekali, setelah ini, sampai mati nanti, sampai kita ketemu lagi."
Al menatap Bayu dengan tidak mengerti. Dahinya mengerut hebat. Sekali lagi, ia tidak mengerti. "Bay—"
"Tidur, yuk! Aku ngantuk."
"Bay, tapi—"
Tapi, mata Bayu sudah tertutup, dadanya yang kurus naik dan turun dengan teratur, genggaman tangannya merenggang, kesadarannya hilang.
"Bay, apa yang lo bilang barusan?"
Tapi Bayu tak kunjung memberi jawabannya. Jadi, Al hanya mendekatkan wajahnya pada telinga Bayu. "Selamat malam."
Lalu bersama-sama menutup matanya, mencoba semakin mengeratkan kedua tangannya. Namun, hanya sedetik, dahinya segera mengernyit, matanya yang sempat terpejam menyipit. Tampak matahari yang mulai mengintip genit. Sudah pagi.
Tapi ... tapi tidak ada ada siapa-siapa di sini kecuali dirinya. Tidak ada Bayu di ranjangnya. Hening menyergapnya. Sekadar udara bulan Desember dalam genggaman tangan, yang dinginya langsung menjalar ke dada, terasa menusuk dan sakit. Matanya panas. Asanya terempas.
Butuh satu menit bagi Al untuk menyadari semuanya; bahwa harap hanya membuka luka. Ia mengingat semua, bahkan ketika pria penuh senyum itu berkata bahwa ia harus pergi di atas Casa Mila.
"Lo pengen gue pergi?" tanya Al kala itu.
"Nggak," ucap Bayu pelan. "Cuma ... bukannya itu sesuatu yang nggak bisa kita hindari? Karena perpisahan cepat atau lambat akan datang, entah karena hubungan yang putus, jarak, atau tragedi. Kayak aku yang harus merelakan ibuku pergi."
Al memandang Bayu dalam, berharap bisa mengerti apa yang pria asing itu pikirkan. "Kita nggak harus mikirin itu sekarang, kan?"
"Terus kapan? Emangnya kematian bakal datang bilang-bilang?"
"Bay—" Al memandang Bayu nanar.
"Biarkan kehidupan kita mengalir seperti air, itu yang orang-orang bilang, kan? Omong kosong."
Al tidak percaya Bayu bicara seketus itu.
"Bener-bener omong kosong." Bayu memandangnya, dan Al tahu Bayu serius mengatakan itu padanya. "Hidup kita memang mengalir, tapi sungai pun punya cabang, kita selalu punya pilihan. Bahkan, meskipun setiap sungai selalu bermuara pada laut, tapi bukannya laut terlalu luas? Ada laut yang jernih dan hangat, ada yang benar-benar dingin dan mati. Kadang kita akan terpisah pada persimpangan jalan, bisa saja bertemu lagi, tapi bisa juga aku yang sampai duluan di laut itu, atau malah kamu. Tapi, yang terpenting kita harus sadar bahwa pulang adalah keniscayaan."
Al melihat wajah Bayu yang bermata basah, meskipun begitu, lucunya, Bayu justru tersenyum cerah.
"Hidup bukan tentang kebersamaan, tapi tentang pilihan, setiap jalan yang akan membawa kita akan bermuara ke mana. Aku harap ...." Ketika Bayu menjeda kalimatnya, matahari sudah menghilang di barat sana, menyisakan seluet Bayu dan suaranya yang menggema terus di dada, "kita bisa bertemu lagi di tempat paling baik."
Saat itu Al berusaha keras memahami apa yang coba Bayu sampaikan, tapi Al sudah mengerti sekarang. Ia tahu apa yang harus dilakukan.
"Kita pasti ketemu, kok, Bay," katanya sambil menatap matahari pagi.
End
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top