Pelakunya Adalah
"Mas, permisi, sampahnya sudah boleh dibuang?" tanya seorang lelaki tua menghablurkan lamunanku. "Garis polisinya sudah dilepas beberapa hari yang lalu."
Aku menatap ke kantong sampah yang telah tertumpuk cukup banyak. Ini sampah kompleks dengan permintaan polisi untuk tidak dibuang terlebih dahulu, sementara itu sampah rumah TKP sudah diperiksa secara mendetail. Aku tahu perintah itu sudah lama dilakukan, sehingga kemungkinan pemeriksaan sampah kompleks sudah selesai mengingat warga sudah kembali membuang di sini. Aku kemudian berbicara melalui walkie talkie dengan yang lain.
"Boleh, Pak," ujarku sambil tersenyum lalu membantunya mengangkat ke truk sampahnya.
"Terima kasih, Mas. Semoga kasusnya ada perkembangan."
Aku kemudian menyeka kotoran di tanganku dan mengangguk saat truk sampah tersebut menjauh.
Perkembangan? Satu kata lucu.
Aku kembali berjalan cepat menuju TKP. Rumah megah nan suram, dengan beberapa orang masih suka menonton dari luar, kepo. Garis-garis polisi memang sudah dilepas, semua titik di rumah tersebut sudah disisir. Pembunuhan ruang tertutup, jikalau pernah mendengar istilah tersebut, itulah yang terjadi pada sang pemilik rumah.
Pelakunya pintar, tidak takut, bahkan tidak terdeteksi di CCTV rumah. Jadi jika ada yang mengucap perkembangan, sungguh tidak ada. Tidak ada perkembangan.
Korban adalah lelaki berumur 50 tahun, segar bugar, kaya, pemilik usaha properti. Dia tidak punya riwayat penyakit mematikan. Hidup sendiri, dengan asisten rumah tangga dan tukang kebun datang di siang hari.
Korban meninggal meneguk kalium sianida, sering terdengar bukan? Kalium sianida terdeteksi di cangkir kopinya dan juga di lantai sekitar tempat korban tewas, karena korban memuntahkannya.
Tersangka ada tiga orang. Menantu laki-lakinya, yaitu RA (25 tahun) yang datang berkunjung dua hari sebelum kematian korban. Asisten rumah tangga wanita yang bekerja di siang hari, SD (30 tahun). Tukang kebun, JN (45 tahun). Tidak ada seorang pun yang menyentuh kopi tersebut, korban membuat kopinya sendiri di ruangan yang menjadi ruang kerjanya. Kendatipun asisten rumah tangga mengurus semua makanan untuk bosnya, tetapi untuk urusan kopi tidak pernah sekali pun dia menyentuhnya. Korban selalu membuat kopinya sendiri.
"Temui saya di kantor, Re," ujar Pak Sidik padaku. Aku mengangguk. Pak Sidik melewatiku, keluar dari gerbang. Aku berjalan ke arah sebaliknya, masuk ke dalam rumah. Ruang tengahnya harus melewati beberapa anak tangga terlebih dahulu, di atas tangga inilah satu CCTV menyala. Ruang tengah hanya terdapat TV, sofa, dan sebuah rak buku, cukup lengang, dengan satu CCTV juga di pojok. Kemudian di kanan ruang tengahlah ruang kerja korban, hanya sisa satu atau dua petugas yang berada di sini.
Memasuki ruang kerja korban, yaitu TKP, dengan tanda korban jatuh masih tergambar di lantai. Ruangan ini hanya terdapat satu pintu, dengan jendela kaca yang ditutupi tirai bambu. Hanya ada satu kursi dan satu meja, tidak ada kursi tamu. Deretan cangkir juga ada di etalase, tidak ada yang terdeteksi terkontaminasi kalium sianida. Satu-satunya tempat yang dipenuhi kalium sianida adalah wadah kopi.
"Detektif Re, Anda dicari Pak Sidik," ujar petugas membuyarkan lamunanku.
"Ah ya, terima kasih," ujarku. Cepat sekali Pak Sidik sampai ke kantornya.
Aku segera menyalakan motorku dan menuju kantor polisi, tempat Pak Sidik. Di jalan aku masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, siapa pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Tiba di kantor polisi, aku langsung menunjukkan ID Card milikku dan segera menuju ruangan Pak Sidik, Unit Reskrim, Reserse Kriminal.
Pak Sidik sedang menyilangkan tangannya di dada sambil menatap coretan-coretan di papan tulis ketika aku membuka pintu. "Bagaimana, detektif Re?"
"Saya sudah menerima file rekaman CCTV, apakah Anda tidak berniat mengumpulkan tersangka lebih banyak lagi, bisa jadi kalium sianida tersebut sudah di sana jauh lebih lama lagi."
"Apakah kau benar-benar detektif Re?" tanya Pak Sidik dingin. "Bukankah sudah jelas korban meminum kopi setiap hari?"
"Setiap hari, dengan catatan ketika dia berada di rumah," koreksiku. "Dia melakukan perjalanan bisnis ke berbagai tempat. Bahkan dia pulang ke rumah karena menantunya datang, kan? Sebelumnya dia lebih dari seminggu terbang ke Negeri Jiran."
"Kalau begitu menantunya yang paling kau curigai?" tanya Pak Sidik.
"Dengan segala kerapian rencana pelaku, tidak ada bukti apa pun, kemudian pemilihan racun yang bahkan tidak dijual bebas, saya rasa memang orang berpendidikanlah pelakunya, di antara ketiga tersangka dia yang paling mencurigakan, dan seakan ingin menggiring korban ke kematian, memaksanya pulang dari negeri lain dengan tiba-tiba bertamu."
"Menyalahkan seseorang tanpa bukti, hanya karena dia berpendidikan, sama sekali bukan detektif Re," cemooh suara di belakangku, Agen Sita.
"Jadi siapa yang kau curigai?" desisku kesal.
"Oh tentu saja si pembantu," ujar Agen Sita sambil berjalan melewatiku menuju ke arah Pak Sidik, dia menyerahkan satu map tebal ke Pak Sidik. "Atas dasar dialah yang selalu mencuci gelas, walaupun dia tidak pernah masuk ke ruangan itu, tetap saja semua benda di ruangan itu pasti ada sidik jarinya. Dia pasti melumuri gelas atau wadah kopi itu ketika sebelum benda-benda itu masuk ke sana, ketika dicuci misalnya?"
"Ah ya kami menemukan banyak sidik jari dia di berbagai benda di ruangan itu, tapi sama sekali tidak ada di bagian dalam pintu, yang menyatakan dia tidak pernah membuka pintu dari dalam. Tidak juga ada di pegangan etalase, dia tidak pernah membuka etalase," ujar Pak Sidik. "Justru ada sidik jari tersangka lain di sana, Pak Tukang Kebun."
Aku terdiam menatap papan tulis di depanku.
"Dua minggu sebelum kejadian, potongan dahan masuk melalui ventilasi atas, dia harus masuk membersihkannya, dan itu juga dikonfirmasi oleh sang asisten rumah tangga."
"Kenapa dia yang membersihkan? Alih-alih pembantu?" tanya Agen Sita.
"Sita!" Aku menggertakkan gigi kesal.
"Rupanya dahan yang masuk cukup banyak, bisa dilihat di CCTV." Pak Sidik menepuk jidatnya. "Dan kenapa dia menyentuh etalase, karena dedaunan ada yang menyangkut ke sana."
"Tidak masuk akal," keluh Agen Sita. "Aku harus periksa ulang filenya."
"Dan periksa ulang sopan santunmu," cemoohku dingin.
***
"Saya datang mengunjungi mertua saya karena itu kunjungan rutin," ujar RA sambil menopang dagunya dengan tangan kanan. "Saya sangat berduka dengan kepergiannya, saya sama sekali tidak menginginkan warisan dan sebagainya!"
"Tidak ada yang menuduh Anda seperti itu," jawabku dingin.
"Wanita kepolisian itu mencercaku!" seru RA. Aku mendengkus, Agen Sita si tidak sabaran itu pasti yang berulah.
"Anda tidak tahu korban sedang ke luar negeri?" tanyaku. RA mengangguk tegas.
"Ya, saya tidak tahu."
"Jadi Anda datang ke rumahnya, dan rumahnya kosong?"
"Tidak, ada ART dan tukang kebun itu, mereka menelpon ayah mengatakan saya datang."
"Dan beliau langsung datang?" tanyaku.
"Ya."
"Kelihatannya kalian memiliki kedekatan emosional yang sangat dekat ya, mengharukan sekali mertua langsung terbang pulang di tengah perjalanan bisnisnya," ujarku dingin. Wajah RA tampak berang.
"Kalau iya kenapa?!" serunya.
"Saya selidiki hubungan Anda dengannya tidak seakur itu, jelas Anda tidak mengunjunginya setahun terakhir, lalu Anda katakan ini kunjungan rutin? Kunjungan rutin tahunan maksud Anda?" tanyaku. "Ada urgensi apa yang membuatnya langsung pulang?"
"Ayah merindukanku," ujar RA menatapku lurus-lurus. Aku tersenyum dingin.
"Istri dan anak Anda tidak ikut?"
"Tidak," ujar RA.
"Ah, pertemuan keluarga yang sangat mengharukan. Saling rindu rupanya."
"Sudah cukup detektif, Anda benar-benar kelewat batas," desis RA. RA sudah hendak beranjak ketika aku menyentuk pergelangan tangannya, bersikap dramatis.
"Bisa beritahu saya, apa hubungan Anda dengan keluarga Sanjaya?"
Bibir RA mendadak menipis, wajahnya pucat pasi. Dia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya dariku.
***
"Jadi kenapa Anda yang membereskan ruangan itu, bukan asisten rumah tangga?" tanyaku. JN tercenung sedikit, kemudian berkata secara hati-hati.
"Saat itu ranting yang masuk ke rumah banyak sekali dan daun menempel ke langit-langit dan etalase."
"Apakah menurut Anda itu wajar?" tanyaku.
"Tidak," ujarnya tegas. JN jauh lebih tenang dibanding RA. Semua ucapannya juga runtut dan jelas.
"Dan Anda melaporkannya?"
"Pada bos? Iya, bos kemudian mengecek CCTV."
JN kemudian manggut-manggut sambil mengernyitkan dahi.
"Tapi mbak Siti sepertinya mengeditnya sedikit."
"Mbak Siti mengeditnya?" tanyaku terkejut. "Sang asisten rumah tangga? Kenapa?"
"Dia suka memundurkan sedikit CCTV-nya jadi seperti waktu berhenti beberapa waktu gitu Mas," ujar JN. Aku mengernyit. "Dia sering tidur di jam kerja, dia nggak mau bis tahu, jadi dia lakukan itu."
"Saya mengerti," ujarku. "Bagaimana dengan Anda, Anda bisa mengeditnya juga?"
"Nggak, Mas, cuma mbak Siti. Tapi kematian pak bos bukan mbak Siti pelakunya, dia sedih sekali."
Aku terdiam beberapa saat. "Bagaimana dengan menantunya?"
"Saya tidak mengenalnya, dia jarang muncul," JN mengangguk.
"Apakah ada yang membenci bos Anda?"
"Dia orang kaya, sepertinya banyak yang iri," ujar JN.
"Apakah menurut Anda racun yang diminum bos Anda bisa dibeli di toko perkebunan, toko bangunan, atau apotek?"
"Masa bisa, Mas?" tanya JN terkejut.
***
SD jauh lebih gugup dibanding RA ketika duduk di hadapanku. Matanya bengkak dan bibirnya bergetar hebat, aku terus menerus menyuruhnya meneguk air putih, dia hanya menyentuh ujung gelasnya dengan bibir, bahkan tidak sanggup menelan satu tetes pun.
"Apa benar Anda bisa mengedit CCTV?"
SD terisak kecil. "Demi Tuhan, bukan saya pelakunya."
"Tenanglah, Mbak," ujarku sambil tersenyum. "Tolong jujur saja."
Setelah tiga menit terisak akhirnya dia menjawab, "Saya bisa, tapi bukan saya pelakunya."
"Siapa saja yang bisa?" tanyaku.
"Cuma saya."
"Apa ada yang tahu kalau Anda bisa melakukannya?" tanyaku. SD mengejang pelan, kemudian membuang ingusnya di tisu.
"Pembantu-pembantu tetangga dan tukang sayur keliling, kami biasa bergosip tentang pekerjaan masing-masing."
"Aha," gumamku. "Kalian saling berbagi tips? Tutorialnya?"
"Be ... benar."
Aku mengangguk. Kalau begini tersangkanya bisa lebih luas lagi.
"Apakah Anda tidak pernah masuk ke ruang kerja?"
"Tidak," ujar SD cepat. "Pak bos membereskannya sendiri, kopinya juga pak bos beli dan tuang sendiri."
SD terlalu panik, dia berbicara dengan cepat sekali.
"Tapi Anda yang mencuci gelasnya?"
"Iya," ujarnya. "Pak bos taruh di cucian piring dan saya cuci, kemudian pak bos ambil kalau dia ingin ngopi."
"Anda selalu di rumah, 'kan?"
"Iya, Mas."
"Apakah Anda tahu kalau racunnya bisa dibeli di toko bangunan atau toko kimia di dekat sana?"
"Saya tidak tahu menahu tentang racun!" cicitnya ketakutan. Aku menghela napas.
***
"Memangnya racunnya beneran dijual bebas?" tanya Agen Sita ketika aku menekan tombol off.
"Tidak," ujarku. "Hanya memancing."
"Detektif Re, apakah Sanjaya yang Anda sebut di awal itu Sanjaya yang kita kenal?" tanya Pak Sidik gugup.
"Sayangnya, iya," ujarku sambil tersenyum sedih.
"Kalau begitu kita tidak bisa mengupas kasus ini sampai ke intinya," ujar Pak Sidik. "Terlalu berbahaya."
Aku tertawa hambar.
"Sanjaya apa? Konglomerat Sanjaya?" tanya Agen Sita.
"Semakin sedikit yang Anda tahu, Agen, semakin baik," ujarku. "Lupakan nama itu."
"Kalau ini benar-benar ulah mereka, siapa yang bisa kita tangkap sebagai pelaku?" tanya Pak Sidik mengabaikan raut penasaran Agen Sita.
"Sepertinya ini ulah penjahat kelas teri mereka, karena saya sudah tahu siapa pelakunya," ujarku.
"RA?" tebak Agen Sita.
"Ah, dia hanya alat agar korban pulang," gumamku. "Aku sudah menyuruh partnerku membawa saksi lain. Kalian bisa bicara dengannya sekitar lima menit lagi."
"Detektif Re sudah tahu pelakunya? Bagaimana?"
"Ada satu orang yang bisa berkeliaran bebas di dekat mereka, menguping SD membocorkan tutorial mengedit CCTV rumah itu, masuk ke wilayah kompleks dengan bebas dan terekam CCTV tetapi tidak dicurigai. Bahkan sempat bicara dengan saya tanpa saya sadari."
"Satpam kompleks?" tanya Pak Sidik. "Tukang sayur keliling?"
"Detektif Re," partnerku masuk sambil membawa dua bapak-bapak.
"Silahkan duduk, Pak!" seruku ramah sambil membawa dua buah kursi. Pak Sidik dan Agen Sita menatap mereka berdua dengan penasaran.
"Bapak Toni dan Bapak Asep adalah pahlawan kebersihan kita," ujarku sambil tersenyum. "Apakah Bapak-Bapak bisa jelaskan bagaimana prosedur pengambilan sampah di kompleks yang kita semua tahu itu?"
"Seperti biasa kami mengambil sampah setiap hari menggunakan motor kaisar dan motor, kami berdua."
"Jadi tidak ada truk?" tanyaku perlahan.
"Tidak ada truk sama sekali untuk wilayah kompleks."
"Apakah mungkin kalian bekerja sendiri?" tanyaku.
"Kami dibagi pertim, bukan individu."
"Dan sampahnya dibawa ke?"
"TPA."
"Apakah ada yang dibawa ke sampah B3?"
"Itu prosedurnya lain lagi, di bawah pengawasan ahli."
"Tetapi ada yang dari TPA kalian di bawa ke limbah berbahaya?" tanyaku.
"Jarang, tapi ada."
"Dan apakah di sana limbahnya juga tertulis jelas nama-namanya?" tanyaku.
"Maksudnya, Mas?"
"Kalau misalnya ada limbah kalium sianida apakah di wadahnya tertulis kalium sianida?"
"Ah ya, iya Mas."
"Dia bertingkah seakan-akan dia petugas kebersihan dan menyelinap mengambil limbah berbahaya, jadi dia memang tidak membelinya. Kalian memeriksa semua toko kimia juga sia-sia."
Aku mengangguk kemudian tersenyum pada Pak Sidik dan Agen Sita. "Partnerku yang lain sudah mencari identitas petugas sampah memakai truk dan sendirian itu. Silahkan proses selanjutnya."
Ya, lelaki tua yang bicara padaku, dari awal aku seharusnya curiga karena dia langsung menyadari kalau aku bukan orang biasa padahal aku adalah detektif konsultan yang tidak pakai seragam polisi. Namun, kupikir itu karena aku membawa walkie talkie, tetapi setelah dipikir lagi mana mungkin lelaki tua itu bisa mengenali walkie talkie modifikasi terbaru yang kami miliki.
Motifnya? Saingan antar pengusaha, lelaki tua itu sepertinya hanya pembunuh bayaran yang kurang profesional. Apakah RA terlibat, tidak, seperti yang sudah kukatakan dia hanya alat, mungkin dia juga diancam oleh kelompok konglomerat Sanjaya.
Lalu bagaimana cara dia masuk ke dalam rumah? Tentu saja dengan mengambil sampah, dia sudah memata-matai kebiasaan SD dan JN. Menempelkan dedaunan di langit-langit dan etalase, berusaha melimpahkan kecurigaan pada SD agar sidik jarinya banyak ditemukan di sana, terlebih SD panikan dan tidak bisa membela diri. Namun, yang membereskan ruangan malah JN yang menyadari ada kejanggalan.
Wajah Pak Sidik yang serius langsung bergerak cepat menerima semua informasi yang kuberikan. Agen Sita masih melongo. Ah sial, selain menguak Sanjaya, aku ketambahan tugas baru, melindungi Agen Sita.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top