DIAS ROSA

Dia mencintai Filsafat, seakan-akan ia bisa mencumbu Plato dengan kedua mata terbuka di balik buku Timaeus dan Critias yang dibacanya.

Aku melongo, menyadari dua bulan lalu aku baru menyelesaikan Timaeus dan Critias di pojok perpustakaan kota, menunggu hari sore sendirian. Kadangkala kehidupan sosial membuatku ingin melarikan diri darinya, dan membentuk duniaku sendiri. Baiklah, mungkin itu kebetulan, tapi apakah harus se-spesifik itu?

Dia bisa berhenti berkedip selama dua jam, terjaga di jam satu siang, demi mendengarkan Sejarah Peradaban Islam yang diceritakan oleh dosen favoritnya. Sejarah itu tercetak di dalam otak sang dosen, sehingga beliau tidak pernah terlihat membawa buku teks ke kampus.

Tunggu dulu, aku sudah membaca 5 Jilid buku bersampul biru yang berjejer rapi di rak paling ujung ruang arsip perpustakaan ini, tetapi, mengapa baru kali ini aku merasa sebegini merinding? Apakah orang ini benar-benar tengah menceritakan tentang aku? Sebab, kalimat barusan pastilah tentang Pak Arpah, dosen favoritku yang tidak pernah membawa buku atau kertas selembar pun, setiap mengisi mata kuliah Sejarah Peradaban Islam.

Maksudku, ada banyak orang yang mengikuti mata kuliah tambahan itu, tapi berapa banyak orang yang juga membaca Timaeus dan Critias di waktu berdekatan? Aku sudah ingin berhenti membaca buku itu sejak jilid pertama—kutemukan dua bulan lalu, saat aku jenuh dengan buku-buku di lantai atas. Namun, aku berpikir bahwa mungkin saja kebetulan ada orang yang kisah hidupnya sama denganku. Jika aku bisa bertemu dengan orang yang kehidupannya mirip denganku, bukankah menyenangkan?

Sekarang tidak lagi. Ini terlalu mirip untuk disebut kebetulan. Di tahap ini aku mulai berpikir untuk menyewa detektif, dan mencari tahu siapa yang sebenarnya sudah menguntitku selama bertahun-tahun. Atau, lebih baik aku menghilang saja, agar buku selanjutnya berhenti ditulis?

Dinding kamarnya dipenuhi dengan lukisan Van Gogh dan Peony. Sungguh, aku ingin membongkar isi kepalanya, agar aku bisa melihat keindahan itu dengan kedua bola mataku.

Kalimat itu membuatku berhenti sepenuhnya. Alih-alih pujian, kalimat itu malah terdengar seperti ancaman bagiku. Maksudmu, kau ingin membuat isi otakku terburai? Tapi, tunggu dulu! Dia tahu isi kamarku?

Kutenggak ludah, tenggorokanku mendadak terasa kering. Keheningan yang mengisi ruangan arsip mendadak menyesakkan bagiku. Apakah orang itu juga ada di ruang arsip ini? Mengapa dia bisa menulis sebanyak itu tentangku? Kualihkan pandang dari buku yang terbuka di atas meja itu, menyapu ruang arsip itu secara perlahan, tanpa kusadari aku sudah menahan napas. Namun, tidak ada siapa pun di sana kecuali aku dan seorang penjaga perpustakaan.

Fakta bahwa sang penulis buku tidak ada di ruangan itu pun tidak membuatku lega. Dia bisa berada di mana saja, dan dia bisa menjadi siapa saja. Aku mungkin harus segera menjauh dari keramaian.

***

Sejak dahulu, aku memang tidak bisa mempercayai siapa pun. Aku bisa saja ikut nongkrong bersama teman kuliahku di kafe dekat kampus. Atau mendekam di ruang BEM, karena aku juga salah satu anggota aktif di sana. Aku bisa berteman dengan siapa saja, tetapi tidak satu orang pun tahu tentang kehidupan pribadiku. Aku memiliki sekat yang jelas untuk bisa memisahkan mereka semua dengan kehidupanku sendiri. Jadi, tidak ada siapa pun yang bisa kuajak berbagi tentang buku misterius itu. Sudah kutinggalkan semuanya di perpustakaan kota. Sebab aku tidak lagi ingin membacanya lebih jauh.

Membaca buku-buku itu, dulu kukira semacam membaca kedalaman laut, semakin kubaca, semakin memabukkan. Aku semakin tenggelam, dan anehnya, aku tetap kehausan meski sudah tahu sebanyak itu. Di tiap jilid buku itu ada lebih dari tiga ratus halaman. Menyenangkan membaca kisah hidup orang lain sejak dia kecil. Namun, jika kuingat-ingat kembali, seperti itu jugalah masa kecilku.

Saat ini, kupikir aku membutuhkan bantuan. Polisi mungkin tidak memercayaiku, entahlah. Aku hanya merasa begitu. Lantas, ketika tanpa sengaja kudengar temanku membicarakan seorang detektif swasta yang tengah naik daun, aku buru-buru meminta kontaknya. Dengan alasan, ada kasus kriminal tertentu yang ingin kubahas dengannya. Temanku percaya, memberikanku kontak sang detektif tanpa banyak bertanya.

"Aku harus melihat buku-buku itu secara langsung," ujar sang detektif begitu kuceritakan semua yang kurasa janggal di buku itu.

Dalam hati aku meragukan orang itu, karena bisa saja dia pelakunya. Namun, saat ini, aku harus membiarkan setidaknya satu orang untuk membantuku menemukan si penulis itu. Kehidupan pribadiku sudah terancam. "Kau benar-benar akan membantuku, bukan?"

"Akan kuputuskan setelah melihat buku-buku itu dengan mataku sendiri," jawabnya singkat.

Aku tidak punya pilihan, selain kembali mendatangi perpustakaan kota bersamanya. Perasaan gugup yang aneh menerpaku sepanjang perjalanan. Semua mata seakan-akan mengawasiku, mempertanyakan eksistensiku, dan bahkan terasa seperti sedang menuduhku. Aneh, harusnya aku yang menuduh mereka semua. Bisa saja salah satu dari mereka adalah penulis buku misterius itu!

Lorong-lorong perpustakaan seakan begitu jauh, sempit, dan tidak pernah berakhir. Sang detektif berjalan persis di depanku, tetapi aku merasa ada orang lain di belakang kami. Jantungku seakan dicengkeram erat-erat, tubuhku hampir seperti menggigil. Entah mengapa semakin mendekati ruang arsip, aku merasa semakin gugup. Padahal, biasanya langkahku ringan saja.

Waktu yang berjalan begitu lambat, akhirnya mengantarkan kami pada ruangan arsip yang nyaris berdebu. Tidak banyak orang yang mendatangi bagian perpustakaan itu, sebab bacaan di sana kurang menarik. Hanya ada biografi dan catatan-catatan usang.

Sang detektif—aku bahkan lupa namanya—berbalik dan memberiku ruang agar aku menunjukkan jalan menuju buku-buku bersampul biru gelap itu. Semakin dekat dengan raknya, semakin menggigil seluruh tubuhku. Aku hampir terduduk lemas jika saja lengan sang detektif tidak menahanku.

"Kau harus mentraktirku makan siang setelah ini," ujarnya tiba-tiba. Kebetulan sekali, sejak kemarin, aku memang tidak sempat mengisi perutku karena sibuk merasa ketakutan.

Buku-buku itu masih ada di tempatnya, berjejer rapi dan tampak mencolok jika dibandingkan dengan buku yang ada di sekitarnya yang berdebu. Tidak seperti buku lain yang kertasnya berwarna kuning dan berbercak kecokelatan termakan usia, kelima buku itu masih tampak baru.

"Karena buku ini masih terlihat baru, aku yakin penjaga perpustakaan bisa menemukan dokumen pengarsipannya. Kau tunggu saja di luar, aku akan menyusul setelah bicara dengannya."

Kuletakkan dua eksemplar buku yang ada di tanganku ke atas meja penjaga, tiga sisanya dibawa oleh sang detektif. Tanpa banyak bertanya, aku langsung keluar dari ruang arsip itu. Selama dua puluh tahun hidup di bumi, baru kali itu aku merasa aroma buku dan perpustakaan menjadi sedemikian memuakkan. Aku ingin segera keluar dan menghirup udara bebas. Kali ini, harus kulewati lorong-lorong panjang itu sendirian.

***

Hari itu berakhir dengan tenang. Sang detektif setuju untuk membantuku menemukan siapa penulis buku-buku misterius itu setelah berbincang dengan penjaga perpustakaan. Sebenarnya, aku juga ingin tahu informasi yang ia dapatkan, tetapi, aku takut itu hanya akan menambah kecemasanku saja. Aku harus menenangkan diriku sendiri dulu, sebelum ikut serta mencari tahu tentang si penulis.

Namun, ada hal yang justru lebih menakutkan daripada buku-buku di perpustakaan itu. Suatu pagi, aku terbangun dan melihat buku bersampul biru tergeletak di atas meja belajarku, buku Jilid 6. Jantungku berdegup begitu kencang hingga telingaku rasanya pengang, kuraih gagang pintu kamarku, hanya untuk menyadari bahwa pintu kamarku terkunci rapat dari dalam. Begitu juga jendela kamarku yang terkunci dari dalam. Semuanya rapat, hanya ada aku sendirian di dalam kamar itu. Atau mungkin ... aku tidak sendirian?

Aku berusaha membuka kunci pintu kamarku, tetapi karena terlalu berkeringat, tanganku tergelincir dari gagang pintu beberapa kali. Aku tahu orang tuaku sudah tidak di rumah pada pagi hari, tetapi menyadari bahwa kita tidak sendirian di saat seharusnya kita sendirian, itu benar-benar menakutkan. Aku harus keluar dari kamar, mencari bantuan.

Sebelum kesadaranku pulih, ponselku di sebelah buku itu berkedip, tanda ada panggilan masuk. Untuk kedua kalinya aku berlari tergopoh-gopoh, kali ini untuk meraih ponsel di seberang ruangan.

"Ha-halo?" Kusadari suaraku nyaris hilang.

"Sudah bangun? Ayo sarapan. Aku ada di depan rumahmu." Suara sang detektif dengan hangat meluncur dari seberang sana.

Tetapi, tunggu dulu. Aku tidak pernah memberitahunya alamatku, dia juga tidak pernah datang ke rumahku. Bagaimana mungkin?

***

"Aku sudah tahu siapa penulis buku-buku itu, Dias."

Aku baru akan menyuap bubur begitu sang detektif mulai berbicara. Dia pun dengan santainya meneruskan suapan. Dia serius soal mengajakku sarapan.

"Ya, mungkin saja kau. Bagaimana kau bisa tahu rumahku?"

"Aku mengikutimu sejak hari kau memintaku untuk menyelidiki penulis buku-buku itu," ujarnya. Seakan menjawab pertanyaanku tentang bagaimana ia bisa mengetahui rumahku.

"Siapa?" balasku singkat, mulutku kewalahan mengunyah bubur ayam.

"Aku tidak melihat siapa pun selama mengikutimu, tidak ada siapa pun yang mengintaimu seperti yang kau curigai."

"Lalu? Bagaimana kau bisa menjelaskan ini?" Kurogoh tas yang kubawa sejak tadi, mengeluarkan satu eksemplar buku yang tadi tiba-tiba ada di dalam kamarku. "Buku ini ada di kamarku pagi ini. Bagaimana bisa ada di sana jika tidak ada siapa pun yang meletakkannya?"

"Dias, apakah kau mengenal Rosa?"

"Rosa?" ulangku, siapa Rosa?

"Mungkin kau harus berkenalan dengan Rosa. Aku bertemu dengannya saat makan siang denganmu kemarin."

Sang detektif membawaku melaju melintasi kota, dengan tanda tanya besar di kepalaku tentang Rosa. Ia menolak memberiku jawaban, dan bersikeras memintaku untuk berkenalan sendiri dengan Rosa. Siapa Rosa ini? Diakah yang menulis semua tentangku? Mungkinkah Rosa itu nama samaran dari orang yang mungkin kukenal?

Kami bergerak melewati gedung-gedung pencakar langit. Aku biasa menghindari rute ini sebab aku belum punya surat izin mengemudi, area pusat kota sangat ramai dengan polisi lalu lintas, itu sebabnya aku jarang datang ke sana.

"Rosa seorang psikiater? Atau pasien di sini?" tanyaku, begitu akhirnya kami tiba di sebuah rumah sakit jiwa. Namun sang detektif tidak menjawabku.

***

"Rosa, Dias ingin berkenalan denganmu."

Aku tidak tahu mengapa detektif sialan di sampingku ini tiba-tiba membawaku ke klinik jiwa, membuatku akhirnya berbicara dengan wanita berjas putih itu. Menyebalkan. Apakah dia Dias?

"Dias? Apakah kau Dias?" tanyaku bingung. Rasanya aku mengenali nama itu, tetapi asing.

"Dia ingin tahu, mengapa kau menulis tentangnya sebanyak enam jilid buku?"

Akhirnya aku tahu bahwa wanita di depanku itu bukanlah Dias. "Oh, jadi, orang yang selalu menghantui kepalaku itu bernama Dias?"

Kepalaku sakit setiap kali orang ini muncul di ingatan. Dia selalu muncul seperti bayangan, semua hal yang dilakukannya, semua hal yang disukainya, itu merongrongku hingga rasanya aku bernapas di dalam air. Salah satu hal yang membuatku terbebas darinya adalah dengan menuliskan tentangnya. Aku harus menulisnya agar dia berhenti menggentayangi kepalaku.

Sayangnya, aku tidak mengenal siapa Dias ini. Atau, aku akan mengenalnya?

"Kenapa kau begitu terobsesi menulis tentangnya?" Wanita di depanku bertanya lagi, aku kesal mendengarnya.

"Kepalaku meledak jika aku tidak menulis tentangnya! Dia meracuni otakku. Aku bahkan tak mengenalinya." Detik itu, kepalaku berdenyut sakit sekali. Sang detektif yang duduk di sebelahku berusaha menekan sisi belakang kepalaku, berusaha membantu. Namun, tidak ada gunanya. Kepalaku tetap sakit.

"Tentu saja kau mengenalinya, Rosa. Kau adalah Dias, dan Dias adalah kau." Si Wanita tersenyum tipis, bagiku itu seperti ejekan.

"Kau sedang menjadikan aku lelucon, ya?" ujarku, tajam.

"Dias, kau ingin berkenalan dengan Rosa, bukan?" Sang detektif tiba-tiba berbicara, sembari menepuk-nepuk pundakku.

Dua orang aneh ini membuat kepalaku terasa semakin sakit. Mengapa mereka membicarakan orang yang bahkan tidak ada di antara kami? Jika Dias muncul di depanku sekarang, aku mungkin ingin membunuhnya saja, dia menyebalkan. Mendekam di kepalaku bertahun-tahun, aku sampai tidak ingat jalan menuju rumahku. Berhari-hari aku tidak kembali ke rumah karenanya.

"Dias?"

Aku tersentak. "Ya?"

Sang detektif menatap ke seberang, ada seorang wanita di seberang kami. "Diakah Rosa? Kau yang menulis tentangku?"

Kulihat wanita itu tersenyum tipis, menuliskan sesuatu di kertas tipis di hadapannya. Namaku tertulis di sana, lalu dapat kubaca huruf-huruf di bawahnya, diagnosis 1: Multiple Personality Disorder.

***

-SELESAI-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top