Amanogawa: Pemakaman Hulu

Koma artinya singa, dikenal sebagai simbol kekuasaan. Inu artinya anjing, disimbolkan sebagai bentuk kesetiaan. Persilangan kedua hewan itu melahirkan komainu. Satu dengan mulut menganga, aumannya dapat mengusir roh jahat. Sementara yang lain dengan mata menajam, bertugas menjaga kebahagiaan dalam cakupan radarnya.

Tidak tahu dari mana dia berasal, dan mengapa seolah tahu segalanya. Namun, komainu datang berpasangan untuk menemui jiwa yang masih menjaga kesucian. Mereka menjelajahi mimpi para perawan, kemudian menawarkan kunjungan ke dunia miliknya, tempat menciptakan mimpi baru nun jauh dari realita kelam. Namun, dia berbohong.

Sudah bertahun-tahun Alin berada dalam relativitas tak berujung. Tersesat pada alur waktu acak hingga lupa dari mana asalnya, dan ke mana harus kembali. Tunggang langgang ia berlari di hutan antah-berantah. Satu-satunya jalan yang membawanya melangkah hanyalah sinar rembulan di langit berbintang, berpilar pepohonan bambu tiada penghujung.

Sesekali, batang berongganya bergoyang mengikuti desau angin yang entah mengapa terasa lebih dingin, lebih mencekam dari malam musim panas lainnya. Tubuhnya luruh sebab ngilu menusuk tulang. "Tidak, aku tidak ingin mati," gumamnya dengan tersengal sembari menggeleng penuh penegasan.

Serta-merta Alin beringsut, memaksa kaki menggigil untuk melakukan pelarian. Biasanya ia akan senang bermain lari-larian atau petak umpet, tetapi kali ini berbeda. Lebih frustasi lagi karena paruh perjalanannya terhalang oleh bentangan sungai, sementara di seberang sana selalu pohon bambu menyambut 'lagi'.

Barangkali, bukan dinginlah yang membuatnya menggigil, tetapi mata-mata dengan tatapan liar di balik pepohonan. Ia tidak mau tubuhnya direnggut, sebab belum mencicipi banyak rasa untuk dibawa pada tangan kematian. "Aku belum mencicipi manju yang katanya punya rasa seperti kenangan manis itu, loh. Rasaku pahit. Lebih enak jika mengambil kehidupan dari orang bahagia," katanya mencoba peruntungan.

Terdengar konyol, tetapi Dewa Langit telah menjanjikan takaran hidup pada manusia. Ia sudah mengambil bagian kesedihan, tinggal kebahagiaan. Sayup-sayup terdengar suara, "Jangan berbohong." Ucapan itu seakan bergaung di dalam otaknya, "Aku bisa membaca isi pikiran. Bilamana kehidupanmu penuh kepahitan, kamu tidak mungkin bertahan hidup sampai detik ini."

"Y-ya, aku ...." Napasnya sesak. Tatapannya memburam karena genangan air mata. Nostalgia kembali terbayang tatkala ia menyerah pada kehidupan. Namun, ketika kematian itu datang, ia takut mengalami sakit yang lebih parah. Alhasil, jiwanya pun tersesat di antara kesadaran. "Aku pernah bunuh diri."

Kali ini, sosok hitam tanpa raga itu mewujud menjadi komainu berbulu putih. "Sebenarnya berkah kebahagiaanmu tersisa satu," ungkapnya seraya menghampiri Alin yang terpaku di tepi sungai, diberi nama amanogawa—sungai langit yang menjadi tempat penyangsian agung tanpa diselubungi dusta.

Seketika, gelembung-gelembung di amanogawa berterbangan memperlihatkan serpihan memori dirinya bersama seorang pria. "Jagalah kebahagiaan itu dengan baik. Jika berhasil, kamu bisa menyeberang ke sana. Tempat kembali ke dunia asalmu, Alin."

Alin menyaksikan pantulan pria itu di amanogawa. Kali ini, menampilkan sosoknya tengah berbaring pada sebuah lembah. Wajahnya lugu, seperti dibesarkan dengan penuh kebahagiaan. Saat mulai terlelap, kulit pria itu pun berubah hijau, seakan alam menyertainya. Alin, rasa ia adalah tempat terbaik untuk kembali.

Akan tetapi, ketika mempelajarinya lebih jauh, tampak pria itu memiliki daun telinga yang runcing, menandakan bahwa dirinya ... bukan manusia. Sosoknya membuat Alin sadar bukan itu pula 'dunianya'. Ia menggeleng seraya mundur ke belakang tatkala hijau yang tercermin di sana berubah pekat, air jernih sungai pun menjadi keruh.

Lantas, tangan-tangan hitam tak bernyawa yang sempat mengejarnya menarik masuk ke dalam amanogawa. Alin menggeliat, tetapi semakin kuat pula mereka meraihnya; dari ujung kaki, mencapai dada, hingga membungkam mulut. Ia mencoba meraup udara, tetapi air mulai mengisi kekosongan. Ia pun tenggelam, tanpa tahu ke mana takdir membawanya berlabuh.

***

Udara hangat dan basah di atmosfer terasa nyaman, suhu normal itu membuat sang gadis tidak bisa mengelak untuk segera membuka mata. Samar-samar, tampak sekawanan awan kumulus berkumpul memayungi. Mereka mengembung hingga serupa menara tinggi menjulang ke langit. Sejenak, ia menikmati panorama itu.

"Aroma musim panas," kata sebuah suara. Sekarang, seseorang yang lain. Entah sudah berapa kali mendengar suara berbeda, tetapi kali ini Alin menyukainya. Nada suara yang ikut membersamai damai alam. Pandangan pria itu pun naik ke wajahnya. "K-kamu menyukainya?"

"Apa?!" Buru-buru ia beringsut ketika deru napas tenang pria itu seolah menyatu dengannya. Sekaligus kembali dibangunkan kenyataan, kalau semalam baru saja ia melakukan petualangan menegangkan tanpa bisa bernapas lega.

Sebuah pertanyaan pun dilontarkan, "Apa kamu juga bisa membaca isi pikiran?" Namun, ia segera meralat ucapannya, "Eh, maksudku bukan berarti aku jatuh cinta pada pandangan pertama kepadamu. Aku menyukai tempat ini, indah sekali." Hanya saja, dunia ini juga bukan rumahnya ....

"Y-yang saya maksud juga begitu. Saya tidak bisa m-membaca isi pikiranmu, kok." Pria itu menggaruk tengkuk yang tak gatal, mendadak gugup karena tidak tahu harus memulai dari mana. Terlebih ia memiliki masalah kesulitan berinteraksi dengan orang lain, sehingga membuatnya selalu gugup.

Saat para duyung yang semula mengantarkan jasad Alin ke hilir kembali muncul di permukaan, barulah ia memiliki kata-kata yang tepat. "Berterima kasihlah, mereka menyelamatkanmu. Tadinya saya sempat khawatir, karena ... saya pernah tenggelam diculik nymph."

Perbedaan budaya di antara keduanya memang sangat kentara. Di Jepang, para duyung disebut ningyo. Tidak jelas jenisnya, bisa saja perempuan dan bisa laki-laki. Tidak seperti nymph yang hanya menculik pria untuk dijadikan kekasih. Alin pun mulai berasumsi, "Kamu seharusnya senang. Itu berarti kamu tampan, loh, karena nymph tidak mungkin menculik pria jelek."

"Ah, bukan begitu—" Ia kepalang kebingungan menyambut pujian tersebut, terlebih ketika ningyo yang tengah berkecipak di air sontak mengangguk setuju. Namun, bukan itulah yang meruntuhkan perkataannya, melainkan kejadian selanjutnya ....

Tubuh Alin menyelubung sebuah berkas kehitaman. Tangan-tangan hitam itu digunakan untuk memburu ningyo, mereka pun segera bercerai-berai menuju ke hulu. Namun, jika kedua tangannya gagal menangkap tubuh licin bersisik, ia gunakan dua tangan bayangan lagi.

Kemudian, Alin membawanya ke daratan sembari membiarkan tubuhnya menggeliat kehabisan napas. Menyaksikan hal itu, air muka sang pria seketika berubah. Ia mengernyit heran. "Hei, a-apa yang kamu lakukan?!" Lantas, ia segera menghampiri untuk berniat membawa ningyo kembali ke sungai.

"Sebetulnya, aku kelaparan. Aku tahu kamu juga kelaparan." Alin menatap iris lembut itu seolah sedang 'membacanya'. "Light Elf sering memakan biji bunga matahari, bukan? Aku sangat bersemangat memperkenalkanmu makanan jenis lain." Ia beralih mengiris permukaan perut ningyo menggunakan kuku runcingnya, kemudian memberikan hati milik ikan yang bukan ikan itu kepada sang pria. "Di Jepang kami sering makan ikan mentah."

Pria itu masih memandang kosong ke arah hati segar suguhan Alin. "T-tapi kenapa?" Ia balas menatap Alin untuk mencari pembenaran di balik iris mata kelamnya. "Kenapa harus dengan cara seperti ini. Itu seperti ... menodai perkenalan pertama kita," ucapnya ragu, takut jika perkataannya melukai perasaan gadis imut itu.

Akan tetapi, Alin selalu punya jawaban. "Aku cuma tidak tega membunuh dengan benda tajam. Jadi, kubiarkan kehabisan napas dulu hingga tergeletak tak bernyawa," sahutnya dengan polos seraya berbisik, "Apalagi manusia itu puncak rantai makanan, manusia juga akan mati di tangan makhluk yang bisa memangsanya. Kita saling memburu!"

Runtuhlah sudah pertahanan sang pria, ia pun memakan ikan mentah tersebut. Terasa asam, asin, sekaligus kenyal nan amis. Indra pengecapnya yang lebih terbiasa dengan rasa manis membuatnya segera muntah, dan Alin menyambut dengan gelak tawa ketika melihat reaksi itu. Entah mengapa, sang pria juga ikut tertawa jenaka.

Saat itu, mereka sama-sama tidak tahu bagaimana cara memulai perkenalan yang baik, tetapi keakraban mereka tercipta begitu saja. Bayangan milik pria itu memberi tahu Alin jati dirinya; ia adalah elf muda berusia 37 tahun, bayangan memanggil tuan-Nya dengan nama Panpan.

Tentu saja Panpan menyadari bahwa Alin juga bukan manusia, ia dari klan Kageyama, seorang bayangan. Meski latar belakang keduanya jauh berbeda, mereka hidup menjadi serpihan jiwa bagi satu sama lain. Alin yang sarat akan penafian dipertemukan dengan Panpan yang mau mengalah dan belajar memahaminya.

Alin pun menyadari kesulitan Panpan dalam berbicara, kemudian memberikannya sebuah seruling. Melalui permainannya, ia dapat mengeluarkan nada-nada yang selama ini ia pendam tanpa perlu takut akan dihakimi. Hingga hari itu tiba, Panpan menunjukkan kepiawaian dalam memainkan seruling untuk pertama kali di hadapan khalayak.

Ia melantunkan sebuah simfoni indah, dan senantiasa duduk di tebing karang untuk memanggil para tamu menghadiri acara sakral mereka. Suara seruling pun menundukkan pepohonan menjadi sebuah gapura. Hewan dari berbagai jenis juga berkumpul, begitu pula klan Kageyama. Mereka menjadi saksi atas janji suci keduanya.

Tepat ketika perahu milik Alin sampai ke tepian, Panpan menyudahi permainan seruling seraya membawanya ke atas tebing karang. Kemudian, mereka mengucapkan janji suci, "Kami berjanji untuk saling mencintai, menjaga, dan setia menemani hingga akhir hayat. Dalam keadaan suka maupun duka, dalam keadaan sehat maupun sakit, serta menjalani hubungan yang lebih kuat dari tuan dan bayangan."

Bersama dengan itu, Panpan berlutut di hadapan Alin seraya mengulurkan tangan. Tumbuhlah sulur yang merambat hingga memiting tangan keduanya. Keajaiban pun terjadi, sebuah cincin dari serangkaian tumbuhan berhias permata kristal muncul tersemat di jari Alin. Sekarang ia bukan gadis lagi, ia melepas masa lajangnya.

Alin mengerjap, masih tidak menyangka akan menemukan satu kebahagiaan dari sebuah cinta. Hubungan tersebut adalah berkah komainu kepada gadis yang berhasil menjaga kesucian hingga fase pernikahan, dan ia dihadiahkan seorang pria yang juga menjaga hidupnya dari dosa. "Hip hip hore, sekarang Panpan sudah tidak gugup lagi!" seru Alin. Kakinya melompat-lompat karena kepalang kegirangan.

"Tentu saja." Ada sedikit rona di pipi ketika Panpan menyadari segalanya terlampau nyata untuk dianggap sandiwara. Panpan kemudian membalas senyum. "Karena mulai sekarang kita sudah menjadi sepenuh jiwa, Alin."

"Benar. Jiwa kami sudah menyatu," sahut suara yang jauh lebih dalam, lebih kelam dari kegelapan. Mereka adalah bayangan milik Panpan dan Alin.

Masing-masing tamu pun memberikan hadiah istimewa. Onggokan burung gagak terbang, pada setiap lintasan yang dilalui menumbuhkan taman higanbana. Bunga sewarna darah itu mulai bermekaran, sebagai ucapan selamat atas musim panas, dan akan tibanya musim gugur. Namun, sekaligus memberi peringatan perihal ketiadaan sang abadi; hari ke hari, musim terus berganti. Yang menjalin ikatan akan putus, yang hidup akan mati, dan jiwa-jiwa yang telah tiada akan dikenang.

Datanglah hadiah kedua dari para ningyo, mereka membawakan tuak dari sungai yang tercemar oleh darah kawannya—daging yang pernah pasutri itu makan saat kelaparan di hutan. Sejenak, Alin merasa tidak nyaman, tetapi ia menyambut dengan baik hadiah tersebut. Bahkan, mengajak Panpan bersulang, dan menenggak tuak hingga habis.

Setelah itu, salah satu klan Kageyama datang. Ia menatap padang rumput yang kini berubah menjadi taman higanbana itu. "Meski selalu dikaitkan dengan kematian, tetapi kalian bisa merasakan bahwa setiap tumbuhan di sini bernyanyi bergembira menyambut sukacita kalian."

"Wah, wah aku baru tahu kalau bunga juga bisa bernyanyi? Apakah dia juga punya mulut tersembunyi?" tanya Alin dengan polosnya.

"Alin ...." Panpan menggeleng-gelengkan kepala. "M-maksudnya bukan bernyanyi mengeluarkan suara. Ladang bunga bernyanyi dengan mengandalkan udara yang membuat pohon mereka bergoyang." Entah mengapa, Panpan belum sepenuhnya bisa menghilangkan rasa gugup, ditambah fakta tersurat di balik higanbana, syukurlah ucapan sang bayangan cukup menenangkan, sekaligus membuat hadiah itu tidak terlihat buruk.

Ia pun mengangguk, kemudian memberikan hadiahnya. Dua ramuan. "Yang hijau Ramuan Akar Subur. Selain membuat tubuh selalu prima. Ramuan ini cocok untuk kalian berdua sebagai pengantin baru. Sesuai namanya, akar yang bercabang-cabang itu berarti anak yang kembar, dua tiga, atau banyak sekaligus. Sementara biru adalah Ramuan Es Beku. Yang satu ini dikembangkan olehku sendiri agar tidak ada penyesalan memiliki anak terlalu dini.

"Ya, yang ini untuk penghambat kelahiran."

Usai pemberian hadiah ia langsung menghilang, seperti bayangan yang pergi ketika gelap menguasai cakrawala. Sekarang, menyisahkan ramuan itu dalam genggaman Alin. Ia berkata dengan antusias, "Aku ingin punya dede. Bila perlu seribu, biar rumah kita bisa jadi taman bermain." Tanpa pikir panjang, ia segera meneguk habis Ramuan Akar Subur.

"Kalau itu yang Alin inginkan, b-baiklah kita buat rumah agar lebih berwarna," sahutnya kembali dilanda gugup. Barangkali tidak menyangka akan ada saat di mana giliran dirinya menjadi orang tua. Sebab tidak seperti elf pada umumnya yang menghabiskan ratusan bahkan ribuan tahun untuk menemukan cinta sejati, ia tergolong muda.

Acara pun selesai, kemudian mereka berbulan madu dengan caranya. Dua orang yang gagal, dan dua orang yang suci dipertemukan di tempat pengulangan. Buah dari pernikahan mereka membangkitkan satu bayangan. Dia berevolusi menjadi bayangan dua, tiga, dan seterusnya. Bersatu padu hingga terbentuklah kelompok bayangan.

Mereka bertumbuh sangat cepat dan pesat. Tawa kencang menggema setelah mereka berhasil dibangkitkan dari pembebasan seraya berkata, "Perkenalkanlah kami sebagai anak kalian. Kami kageyama, para bayangan yang terlahir kembali dari Alin dan berkah keabadianmu, Panpan." Mereka tidak seperti bayi yang lahir dari rahim, tetapi mereka terlahir dari ikatan dan cinta.

Dengan demikian, para bayangan menganggap keduanya sebagai orang tua, Panpan dan Alin pun memberikan nama sesuai urutan angka; Ichigo, Nijika, Sanji, Yonkuro, Gorou, Rokusaki, Nanaba, Hachiko, Kyuusaku, Juuhei ... tetapi ada sesuatu yang terbesit di benak Panpan, "Jika kalian memang abadi, itu berarti saya tidak pernah memberi benih untuk kalian. Usia elf hanya lebih panjang dari manusia. Bukan berarti abadi."

"Lihatlah Papa yang tidak pernah menua. Papa sudah memakan ningyo."

Sebelum ketujuh anaknya selesai menjelaskan, Alin segera menyela, "Tidak, aku tidak bermaksud begitu." Ia tahu cepat atau lambat fakta ini akan terkuak, sementara bayangan tidak memihak kepadanya. Mereka akan selalu bersikap netral, karena mereka sebatas butuh wadah untuk dibangkitkan. "Aku ingin kamu selamanya bersamaku untuk mengabadikan kebahagiaan yang kupunya, dan daging ningyo adalah sumber keabadian itu."

"Hadiah higanbana menandakan tidak ada yang abadi jika menyangkut kesucian. Bukankah ...," Panpan terdiam sesaat, mencari kosa kata yang tepat untuk mengutarakan kekecewaannya. "B-bukankah kita ditakdirkan bersama, karena kita sama-sama suci, Alin? Tapi kenapa ada dusta yang menodai."

"Mungkin itu salah di matamu?" Pandangannya mulai berkaca-kaca. Ia berusaha menghindari kontak mata dengan Panpan, agar Alin yang selama ini selalu dikenal ceria akan selalu terlihat demikian. "Saat itu komainu hanya menyisahkan satu kebahagiaan untukku, agar aku bisa menemukan tempat untuk kembali ... aku menjaganya dengan baik, meski kamu orang asing sekalipun."

Suaranya serak, "Aku bahkan tidak tahu sedang terjebak bersamamu di dunia mana lagi sekarang. Lalu kamu memainkan simfoni apa untuk mengiringi ikatan kita, yang kutahu nada-nada itu menenangkan." Sialnya lagi, air mata yang sedari tadi ia tahan lolos begitu saja. "Tapi dengan sengaja kamu masuk dalam kehidupan seseorang? Sangat lancang, tidak sopan, tanpa permisi!"

Panpan mendadak prihatin. Barangkali beban yang ia tanggung cukup berat untuk dijalani sendirian. Jadi, ia memutuskan diam sejenak. Memasang telinga untuk mendengar sedikit lara dari gadis itu, mungkin tidak akan sebanding dari banyaknya topeng kebahagiaan yang dipasang selama ini.

Kemudian, Panpan merengkuhnya, lantas membisikan kata-kata penenang, "Aku senang jika kalian adalah makhluk tanpa patokan usia, itu berarti kalian bisa hidup untuk melihat keindahan dunia sepanjang hayat." Ia menghapus bercak air mata di wajah Alin, lantas menatap lembut ke arah anak-anaknya. "Satu-satunya hal yang membuat kita bahagia adalah merelakan."

"Mari kita coba dengan cara lain," kata para bayangan mengangguk takzim.

Tepat saat malam ketujuh di bulan Juli, bintang Vega dan Aquila tampak terang benderang, menjadi pertanda puncak musim panas yang kesekian telah terlewati. Kedua bintang itu adalah Putri Orihime dan Pangeran Hikoboshi, dua figur cerminan dari Dewa Langit. Mereka memberikan berkah lewat sinarnya yang terang benderang, kemudian terpantul pada sungai amanogawa.

Panpan dan Alin, beserta anak-anaknya pun melakukan 'pemakaman hulu' kepada jasad ningyo yang sudah disimpan oleh Alin sejak lama sebagai sumber keabadian. Masing-masing dari mereka menulis sebuah harapan pada secarik kertas, kemudian digantung di pohon bambu sebagai bentuk penghargaan kepada para jiwa mati. Pohon bambu yang menjulang itu diyakini dapat menyampaikan pesan tersebut kepada Dewa Langit.

Jasad ningyo pun dialirkan ke sungai, seperti mereka yang yang telah gugur terdahulu. Bersama dengan itu, berakhirlah keabadian milik Panpan, dan menghilanglah anak-anak bayangan ketika pasutri itu menuangkan Ramuan Es Beku pemberian klan Kageyama ke dalam amanogawa. Berselang beberapa lama, terlahirlah anak ke-1.000, penutup yang membuka awal pengulangan mereka. Panpan dan Alin memberinya nama Senku. Namun, Senku bukanlah bayangan, ia setengah elf yang cantik.

***

Bersama dengan itu, Alin juga telah sampai di seberang. Di dunia tempat seharusnya kembali, karena ia telah berhasil menyelesaikan misi untuk menjaga satu kebahagiaan dengan akhir yang bahagia. Hanya saja, ada yang mengganjal di benaknya, "Entah mengapa aku malah tidak bahagia."

"Ternyata kamu masih belum belajar," sahut komainu kembali memunculkan diri. "Padahal, sudah bertahun-tahun kamu terjebak dalam relativitas tak berujung, seharusnya sekarang saatnya kamu mengerti."

Refleksi diri yang bisa Alin lakukan hanyalah mengernyit heran, dan melontarkan sepatah kata yang hanya membuatnya semakin terlihat bodoh. "Maksudnya?"

"Kamu bukanlah Alin Kageyama. Ia adalah bayangan yang mengambil alih tuan-Nya, kamu."

Alin tidak begitu terkejut dengan fakta itu, karena semua menjadi sangat masuk akal saat tubuhnya ditatap dengan penuh seringai, lalu diraih oleh tangan-tangan tak bernyawa. Namun, gemericik air di amanogawa yang menyambar kakinya membuat ia tersadar, "Lalu, siapakah aku jika bukan Alin yang berada di seberang sana?"

Komainu tersenyum ketika berhasil membaca pikiran Alin. "Kali ini, kamu tidak salah. Ningyo dan komainu memang perwujudan dari dirimu sendiri. Namun, jiwamu tercerai-berai, dan menyisahkan hanya aku jiwa sucimu."

Ia membelalak. Sesungguhnya ia tidak mau segala yang ada darinya diambil oleh Alin. Bahkan kehidupan tenang di air sebagai ningyo perlu direnggut untuk menyambung kehidupan suami dan melahirkan keturunannya, tetapi komainu yang tahu tanggapan itu kembali bersuara, "Kamu tidak bisa protes, karena kamu sudah mati. Padahal, aku sudah memberikan satu orang yang menjadi sumber kebahagiaanmu, bayanganmu. Tapi kamu tidak belajar."

"Aku belajar. Manusia memang puncak rantai makanan, tapi bayangan bisa mengambil esensi kehidupan dari tuan-Nya." Jika pun mereka berganti peran, Panpan tidak akan mungkin mencintainya setulus itu. Maka, yang ia butuhkan hanya satu untuk mewakili siapa dirinya. "Berikan aku sebuah nama."

"Olin adalah nama barumu."

*Satu-satunya hal yang membuatku sulit menulis cerita ini adalah banyaknya detail yang harus kutuangkan dalam cerita ini. Semoga kalian paham isi ceritanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top