Bagian 9

Aku melihat darah menggumpal pada kedua telapak tanganku yang penuh retak. Darah itu mendadak mengering dan perlahan terkelupas bersama kulitku, hingga yang terlihat hanyalah serat daging merah segar yang berdetak.

Mulutku berteriak, memaki dan memohon pertolongan.

Kemudian mataku kini disajikan pemandangan tubuh-tubuh manusia yang menggeliat kesakitan di sekitarku. Mereka meratap penuh derita, juga sekarat dalam kematian. Tubuh-tubuh itu dilalap api, terkubur tinja dan berlumuran cairan menjijikkan. Kulit mereka banyak yang mengelupas, menyisakan serat daging merah segar. Semerbak aroma busuk begitu pekat. Kemudian para manusia sekarat itu saling melahap satu sama lain, saling bunuh tanpa keraguan. Teriak dan tangis memilukan mereka terdengar nyaring, bersahut-sahutan, menggema keseluruh penjuru kepalaku.

Aku mual, segera menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Sekuat tenaga menahan gejolak isi lambung yang berusaha mendobrak naik sedari tadi. Mataku terpejam -tak kuat menyaksikan semua kengerian itu.

Hentikan!

Ujung mataku menyadari hadirnya seorang gadis berambut panjang tiba-tiba muncul di belakang dengan Tatapan datar. Aku sontak berbalik lantas ia berseru lantang, "Cepat bangun, Ra!"

Pandanganku kemudian mendadak buram, dipenuhi pola titik dan garis dengan beraneka warna abstrak yang saling membaur, bergulung semakin cepat. Seperti glitch layar yang kehilangan transmisi sinyal. Segalanya kemudian menjadi gelap.

***

Jingga bersemu nila membungkus langit saat aku kembali terbangun dengan perasaan hampa yang bergelantungan di tempat-tempat tak terlihat di tubuhku. Aku mencoba mengingat kembali apa yang salah hingga terbangun dengan perasaan ini. Tapi, tak ada yang kuingat kecuali saat konselor itu mengantarku pulang dan aku langsung terbuai dalam bunga mimpi di atas kasur setelahnya.

"Kamu tampak pucat, Ra. Sebaiknya hentikan saja konsumsi obat itu." Ucap pria itu yang kuingat sebelum jatuh tertidur.

Ayah mengetuk pintu kamar saat aku masih terlentang di ranjang dengan hampa yang tak beranjak. Beliau memberi tahu kalau hari sudah petang dan menyuruh untuk segera mandi. Aku terdiam cukup lama, tetapi pikiranku sudah bergerak tak tentu arah. Sekelabat angin dingin masuk dari jendela kamar yang masih ditambal seadanya oleh kakak membuatku akhirnya beranjak.

Aku telah kembali ke kenyataan. Bisa kupastikan kalimat itu dari retakan di tanganku yang masih berdenyut kemerahan.

Botol obatku masih tergeletak di atas nakas. Aku mengambil botol yang masih berisi beberapa pil itu dan tanpa ragu menegak tiga butir sekaligus dengan bantuan air putih. Pada detik berikutnya, perasaan mual mulai menjalar dari dada bagian bawah. Aku mendongak memandang langit-langit, membayangkan apa yang terjadi jika masih nekat menelan pil berikutnya. Mungkin leher ini akan tercekik dan seluruh bagian tubuh terasa tercerabut. Seketika aku takut membayangkan semua itu.

Suara di kepalaku terdengar mengejek betapa pengecutnya diri ini. Kau takut mati, tapi juga tak berani menjalani hidup.

Aku berusaha mengabaikanya. Bisikan itu tetap tak mau hilang walau aku meminum obar itu melebihi dosis yang diberikan. Mungkin sudah waktunya jujur pada ayah untuk mencarikan resep obat baru.

Ketika turun ke bawah, bunda terlihat sibuk dengan sup yang dimasaknya dan ayah yang sedang serius menyaksikan berita olahraga benua lain di televisi. Tidak ada kakak ataupun adikku di sana.

"Kakakmu menghabiskan malam bersama teman sekelasnya di Town Square untuk merayakan kelulusan." Bunda menjawab sambil mengaduk kuah sup setelah melihatku celingukan di ruang tengah. "Dan adikmu mengerjakan PR menggambarnya di kamar. Entah gambar aneh apa lagi yang ia buat sekarang."

Ayah tertawa pelan, kemudian bertanya tentang sekolah hari ini. Aku menjawab seaman mungkin bahwa semuanya berjalan lancar, juga tentang guru yang menghadiri rapat darurat dan sebagainya. Mereka tanpa curiga hanya mengangguk.

"Semua akan baik-baik saja, Ra. Selama kita selalu berpikir demikian dalam situasi sesulit apapun." Bunda mengusap puncak kepalaku dengan lembut. Beliau juga mengatakan bahwa polisi akan mengurus semua yang terjadi di kota ini jadi tidak ada yang perlu ditakutkan. Semuanya akan normal dan kembali seperti dulu -termasuk aku. Kalimat bunda kembali membuatku urung untuk meminta obat baru.

Sebuah dorongan dalam diri ini memaksaku percaya kalimat itu. Seharusnya begitu. Setidaknya sampai ekor mataku menangkap keramaian dari balik jendela depan. Suara-suara riuh terdengar dari luar pagar yang bermandikan banyak cahaya sorot lampu kendaraan.

Aku beringsut mundur. Kekhawatiranku pagi tadi mulai terasa nyata.

Ayah meminta kami tetap tenang dan sigap membukakan pintu untuk menyambut ramah orang-orang itu. Sayup-sayup percakapan dengan nada tinggi langsung terdengar sampai di telingaku. Mereka berseru tegas tentang penyelidikan, penangkapan dan kasus penembakan. Bunda segera mendekapku erat-erat.

"Kalian tidak bisa menangkapnya. Ra tidak bersalah!" Ayah berteriak marah, berusaha membelaku. Tapi beberapa pria berseragam taktis itu tidak menggubris kalimat tersebut. Mereka tetap merengsek masuk dengan dalih surat penangkapan resmi. Ayah berusaha melawan, namun cepat sekali dilumpuhkan.

Tidak. Aku tidak melakukan apapun. Aku tidak mau ditangkap.

Kau melakukan sesuatu, bisikan di kepalaku kembali terdengar, jadi sekarang terima akibatnya.

Bunda -yang paham akan situasi, dengan sigap menutup pintu sebelum para polisi itu berhasil masuk ke dalam dan mengganjalnya dengan kursi tamu. Beliau berteriak panik di tengah gedoran kasar dari balik pintu, "Lari, Ra!"

Tanpa pikir panjang, kaki ini sudah membawaku mengambil seribu langkah ke belakang rumah dengan menerobos pintu belakang yang mengarah pada rumput-rumput tinggi dan jalan setapak menuju hutan. Aku terus saja menerabas belukar lebat sampai jantungku mulai sesak. Kakiku tersandung tanaman rambat di momen berikutnya. Kemudian dagu dan telapak tanganku yang pertama kali menyambut tanah basah. Kepalaku terasa berdeging dan pohon-pohon besar itu seakan berputar mengitariku.

"Dia di sana!" Suara-suara itu semakin keras. Lampu-lampu senter berkilatan dari sela-sela pohon. Aku bangkit dengan cepat dan memaksa kakiku yang payah untuk menjauh dari sana, melewati jalan setapak yang tidak pernah kulewati. Suasana makin tegang dan temaram dengan kabut yang kian pekat membungkus.

Apa yang sebenarnya terjadi? apa bunda dan ayah akan baik-baik saja? Kenapa mereka mengejarku?

Di tengah semua kekacauan ini, aku malah menangis. Air mata itu memyebabkan pandanganku menjadi buram walau aku mengusapnya berkali-kali. Kenapa menangis sekarang, sialan? Apa yang bisa dibantu oleh air mata ini?

Kamu mulai terlihat seperti tersangka sungguhan, Kata suara dalam kepalaku.

Memangnya, kenapa?

Kalau kau tidak merasa bersalah, kenapa harus lari?

Lalu apa maumu?

Suara itu tidak menjawab.

"Jawab!" Aku berteriak memanggilnya.

Dia tetap tidak menjawab. Aku terus bergerak cepat dengan acak walau beberapa ranting pohon menampar-nampar wajah. Tumpukan dedaunan dan ranting yang gugur bergemerisik terinjak olehku. Di belakang sana, cahaya senter dan derap langkah para polisi terdengar makin dekat. Mataku melihat gemerlap beberapa lampu penerangan jalan di sisi luar hutan yang landai. Kegembiraan ini tak berselang lama, hingga tanah yang licin membuat telapak kakiku yang tanpa alas tergelincir.

Aku jatuh terjerembab ke jalanan tepat saat sebuah mobil pengangkut barang hendak melintas. Suara gesekan ban dengan aspal terdengar nyaring ketika bagian depan mobil itu sempat menyambar tubuhku hingga terpental jauh beberapa meter.

Permukaan jalan yang hitam menggores lengan kiriku begitu terbanting lemah di atasnya. Sambil mengerang kesakitan, aku melihat bagian siku kiri piyamaku robek, menyisakan kulit di dalamnya tergores cukup parah dan terasa membakar. Darah yang keluar tak sebanyak yang kubayangkan, tetapi tetap merembes keluar. Ujung mataku kembali menangkap riuh suara para polisi dari atas lereng. Pikiranku kembali memaksa untuk kembali bergerak.

Tubuhku terasa remuk. Lututku bahkan terlampau lemas saat kupaksa berdiri. Jeritan panik pengendara mobil itu terdengar, berusaha menolong. Tapi aku mengacuhkannya dan kembali berjalan pincang menuruni bukit tanpa tujuan kecuali pergi sebisa mungkin.

Aku terus mengumamkan kata-kata bahwa aku akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja nanti. Keluargaku akan baik-baik saja di sana. Benar begitu kan, Bunda? selama kita berpikir demikian, maka semua akan baik-baik saja bukan?

Menurutmu, apa pengertian baik-baik saja?

Bisikan itu datang kembali. Tapi aku berusaha mengacuhkannya.

Baik-baik saja adalah keadaan jika kamu berada di rumah sekarang, dan kamu tahu kalau sedang tidak baik-baik saja. Kemudian kamu menerima semua yang seharusnya sudah terjadi. Bukan malah lari seperti pengecut.

"Diam!" Teriakku, "Berapa kali kukatakan padamu untuk diam?!"

Itu baru tidak baik-baik saja.

Napasku kembali tersengal. Aku megap-megap mencari udara sambil terduduk di pinggir jalanan sepi dan memukuli dada. Sial, ini karena suara-suara di kepalaku tidak mau tenang. Dia terus membuat keributan dan aku mendengarkanya. Aku terus saja memikirkannya. Akulah yang membuatnya seolah-olah itu penting. Semua itu yang membuatku kesal.

Aku menoleh ke belakang. Orang-orang itu sepertinya sudah berhenti mengejar. Tidak terdengar lagi sayup-sayup teriakan dari arah hutan. Atau derap langkah para polisi. Suasana mendadak begitu lengang. Senyap. Hening. Padahal sebelumnya aku sangat yakin segalanya terasa riuh dan menegangkan.

Semua keramaian itu hilang begitu saja.

Hanya menyisakan aku yang sendirian bagai orang linglung di tengah jalanan hutan lereng utara. Kepalaku kembali terserang pusing yang membuat pandanganku buram. Kemudian aku dihinggapi kesadaran tentang apa yang mungkin sebenarnya terjadi. Sebuah ketakutan akan asumsi di kepala ini jika benar adanya.

Jangan-jangan, akulah yang membuat semua bayangan dan suara itu?

Ponsel di kantong celana piyama kukeluarkan. Aku segera mencari kontak konselor itu dan menelponnya.

"Halo."

"Ini aku," kataku dengan suara gemetar.

"Ra, senang mendengarmu. Apa kabar?"

"Buruk dan aku ingin bertanya," Aku berusaha menata napas di tengah kepanikan, "Kamu tadi pagi bilang tentang suara-suara di kepalamu. Apakah mereka pernah bicara padamu?"

"Kenapa?"

"Kumohon, jawab saja."

"Mereka bicara denganmu?"

Aku mengangguk, "Kamu pernah diajak bicara oleh mereka?"

"Terkadang. Memangnya kenapa?" Pria itu terdengar menghela napas.

"Apa mereka sampai menganggumu?"

"Ra, sebenarnya ada apa?"

"Ada suara-suara di kepalaku. Mereka terus mengangguku dan kemudian aku dihantui sesuatu yang sebenarnya tidak yata. Menurutmu, suara-suara itu memang bicara padaku atau aku memang sudah gila?" Aku mulai terisak.

"Tenanglah, Ra. Kamu tidak gila. Itu hanya pikiranmu saja."

Bukan. Ini bukan pikiranku. Suara-suara itu memang ada.

Akui saja, Ra.

"Apa?" aku balik bertanya. Itu jelas bukan suara si konselor. Bisikan itu datang kembali.

"Kamu sadar kalau kamu gila."

Suara balasan yang terdengar begitu jelas di sisi kanan membuatku terperajat. Belum sempat aku menoleh, sebuah tangan membekapku mulutku dari belakang. Aku berseru panik, berusaha berontak sekuat tenaga. Sudut mataku berhasil menangkap sosok tinggi yang menyerangku.

Dia adalah si manusia burung!

Aku masih bisa mendengar suara tawanya saat mataku mendadak gelap. Tubuhku terasa makin ringan, kemudian kesadaranku perlahan memudar begitu saja. Hal terakhir yang kuingat adalah ponselku terjatuh tanpa ada satupun suara dari konselor itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top