Bagian 8
Aku selalu sadar bahwa tidak ada yang bisa ditatap dari diriku yang sekarang. Segalanya hanya kekeringan yang menjemukan.
"Bolos kelas?"
Namun sorot mata miliknya terus menatapku. Aku tak mau menatap balik mata cokelatnya yang berkilauan, atau rambut ikalnya yang jatuh di sekitarnya. Karena mata sialan itu berusaha terus mencengkram hingga membuatku benar-benar merasa ampas.
"Sekolah dipulangkan lebih awal. Guru-guru sibuk dengan agenda darurat." karangku dengan asal. Padahal nyatanya, aku hanya melarikan diri karena polisi mungkin menangkapku bila tetap berada di sekolah.
Konselor itu mengangguk, tidak banyak bertanya. Ia kini mengenakan setelan biru dengan rambut yang masih berantakan saat menyapaku ramah di bangku taman barusan. Aku terkejut karena tidak mengharapkan pria itu muncul. Kemudian bibir ini cepat menguasai diri dengan tersenyum ramah dan berharap pertemuan ini berakhir begitu saja.
Tapi pria itu malah mengajakku menikmati dua potong burger di salah satu kios yang mangkal di pinggiran danau.
"Aku akan mengunjungi seseorang selepas ini," Dia berkata santai sambil menyantap roti dengan isi daging dan keju saja. Mata sayu milikinya menyaksikan hamparan air biru danau dengan tatapan lurus, "kalau ada waktu, kuharap kau ikut agar aku bisa mengenalkannya padamu."
Aku tidak punya waktu, bunda sudah menyuruhku pulang segera, polisi akan menemukanku untuk diinterogasi dan manusia burung itu bisa datang kapan saja jika aku berkeliaran lebih lama lagi. Harusnya aku mengatakan tidak dan menyebut salah satu dari berbagai alasan itu. Bukan malah mengatakan, "Aku senggang kok."
Dia menatap anak rambutku yang berkibaran terkena angin sambil tersenyum, "Sudah kuduga."
Lengangnya suasana membuatku bisa mendengar suaranya dengan jelas. Maksudku, makna dibalik ucapannya. Dia mungkin ingin bilang kalau aku terlalu menahan segala hal yang keluar dari mulutku. Seolah dia ingin kembali mengingatkan betapa tidak jujurnya responku terhadap cerita-cerita di kelompok dukungan. Namun saat aku berani melihat matanya, semua makna itu tak berada disana.
Aku seketika mulai takut dengan jalan pikiranku sendiri.
Kami meninggalkan danau dengan mobil tua milik konselor itu. Pagi ini, tidak banyak kendaraan yang lewat. Terutama ketika mobil tua ini mulai menapaki jalanan menanjak menuju kawasan Puncak Timur yang penuh rindangnya pepohonan. Aku seketika menyadari bahwa orang yang hendak kami temui mungkin sudah mati.
Puncak Timur memang seringkali dikaitkan dengan kematian. Tempat kepergian, kenangan dan duka cita. Semua yang telah menuai seluruh kehidupannya akan dipulangkan kembali ke tanah basah di salah satu titik tertinggi di Kerak Terusi itu. Berpulang dalam kesendirian.
Puncak Timur adalah kawasan pemakaman umum.
Aku sejatinya tidak tertarik untuk melihat puluhan gundukan tanah yang menyimpan tubuh tanpa nyawa meski sudah tidak takut lagi dengan cerita seram. Tempat itu menyedihkan –bukan menyeramkan. Segalanya nampak asri dan hijau dalam ingatanku. Namun pemakaman itu terlalu mirip dengan anjing kedinginan di pinggir jalan. Tak terawat. Hal tersebut yang membuatku muntah saat mengunjunginya bersama bunda setahun silam.
Kamu seharusnya tak boleh kembali ke sana, bisikan di kepalaku kembali bersuara.
Pria itu sama sekali tak menyinggungnya selama perjalanan. Kami hanya membicarakan awan gelap, cuaca yang tak menentu, pemilihan kepala distrik sampai kasus pembunuhan semalam.
"Salah satu gadis itu adalah keponakanku, Ra. Gadis yang berambut pendek dengan wajah sedikit liar."
Aku mengigit bibir, segera mengalihkan pandangan keluar jendela. Namun langit cerah malah membawa kembali mayat milik keponakannya di mataku. Aku segera menghirup napas banyak-banyak, dan mengembuskannya dalam hitungan kelima.
Bagaimana kalau pria ini sampai tahu?
kusumpahi bisikan itu sepelan mungkin agar mau diam.
Konselor itu ikut menghela napas, "Aku menghabiskan waktu semalaman untuk menguatkan ibunya –kakak iparku. Wanita tua itu sangat terpukul mengingat betapa acuh dia pada putrinya. Dia terlalu sibuk dengan suaminya yang menghilang sampai lupa bahwa anak itu juga merasa kehilangan dan malah hilang arah. Sekarang, keduanya malah pergi selamanya."
Aku menoleh ke arahnya, penasaran soal kakaknya yang menghilang.
"Menghilang dalam artian yang sebenarnya, Ra. Lenyap tak berbekas." Konselor itu seolah menangkap ekspresiku, "Kakakku termasuk orang-orang yang menghilang itu. Tepat tiga bulan dari sekarang dan jasadnya tak pernah ditemukan."
Wajah pria itu nampak tenang. Cara menyetirnya juga tidak berubah, tapi aku merasakan perubahan suasana di dalam mobil. Seolah ia baru saja memuntahkan benda tajam dari mulutnya.
"Apakah itu semua membebanimu?" aku memutuskan bertanya.
Bodoh, tentu saja itu pasti berat baginya.
"Kematian hanyalah soal kepergian, Ra. Semua orang akan mati." Konselor itu malah tersenyum, "keluarga, sahabat, sampai anggota kelompok dukungan, aku melihat semua kematian mereka. Semuanya pergi, tapi aku tak pernah kehilangan hanya karena mereka tidak lagi bernapas dan terkubur di dalam tanah. Karena jika aku merasa kehilangan, maka aku harus mencari untuk menemukan mereka kembali. Namun nyatanya mereka masih di sini, menyisakan potongan memori di kepala."
Mata konselor itu menemukan mataku dan menguncinya dari kaca spion.
"Ra, selalu ada orang-orang yang hadir dalam kehidupan kita. Tetapi, mereka tidak bisa selamanya terus bersama kita. Suatu hari, mereka pasti akan pergi dengan cara apa pun. Lalu saat mereka pergi, bukan berarti kita akan kehilangan. Itu hanya batas waktu kita untuk bersama mereka. Dan yang hanya bisa dilakukan saat itu terjadi adalah merelakan dengan lapang."
Aku sering mendengar dia memberikan nasihat dan tanggapan pada cerita orang-orang di kelompok dukungan. Tetapi baru sekarang dia memberikan kata-kata semenohok ini.
Mobil kami berbelok memasuki pelataran pemakaman yang luas. Saat keluar, hawa dingin menembus kulitku dengan ganas dan membuatku merasa tak nyaman. Pemakaman kota sedang sepi. Hanya ada kabut tipis yang mengudara dari balik pohon-pohon kamboja. Pria itu menepuk pelan bahuku dan mengajak bergegas.
Aku mengikutinya saat melewati tiap gundukan tanah dengan perasaan gelisah. Berjalan di belakangnya membuatku memikirkan banyak hal. Saat melihat punggung itu, dia tampak sama sepertiku. Memiliki bekas luka, kenangan, dan kerapuhan. Kemudian kepalaku memutar adegan tentang segala sikap burukku padanya beberapa minggu terakhir. Juga anggapan kalau para konselor adalah manusia suci yang sok superior adalah kesalahan.
Dia juga manusia biasa.
Setelah beberapa kali mencari, pria itu berhenti di sebuah makam yang dipenuhi bunga. Tepat di bawah naungan sebuah kamboja tua. Dia terduduk di samping makam. Jemarinya lembut membersihkan rumput dan dedaunan di atas gundukan tanah. Matanya nampak teduh saat melakukannya.
"Dia anakku, Ra." Katanya sambil menyebut sebuah nama –persis yang tertulis pada nisan. "Sudah terbaring damai di sini sejak setahun lalu. Seperti yang kuceritakan."
Perkataannya membuatku kaget. Mataku kembali menatap makam.
"Aku kehilangan dia karena terlalu sibuk dengan proyek perusahaan. Dia sakit-sakitan sejak kecil dan aku terlalu mengabaikannya. Semua orang menyalahkanku sejak hari kematiannya termasuk istriku. Kupikir memang benar kalau aku yang membunuhnya."
Semilir angin lembut memainkan ujung rambutku, juga bunga kamboja di atas sana. Beberapa bunga berguguran, luruh perlahan menyentuh rerumputan basah. Sebongkah perasaan bersalah makin berkecambah dalam dadaku.
Mata sayunya menatap langit pagi yang mendadak kelabu, "Setelah gagal gantung diri, aku berencana meninggalkan Kerak Terusi menuju Kapital Utara. Hidup sendiri dan menjalani hidup hari-hari dengan tenang. Tapi entah bagaimana anakku mengetahuinya. Dia seolah tahu aku akan pergi dan dia berusaha membuatku tetap tinggal di sini. Bayang-bayangnya mengikutiku."
"Namun, aku harusnya tetap ingin pergi. Ada banyak sekali alasan. Bukan hanya soal dia, tapi juga tentang pemikiran, perasaan dan suara-suara di kepalaku. Dan pada akhirnya, di sinilah aku sekarang."
Aku menelan ludah, "Suara-suara seperti apa?"
"Sesuatu yang tak terlihat, tetapi menghantuimu sepanjang waktu. Muncul di saat-saat terburuk untuk menghantuimu." Konselor itu menatapku, "Mereka akan berbisik soal luka lama yang tertoreh, Kemudian menyeretmu dalam penyesalan tanpa akhir."
Sesuatu yang ganjil kembali menyeruak muncul di kepalaku. Suara-suara itu mendadak makin ramai dan aku membayangkan bahwa seseorang tengah berbisik di belakangku dan mengatakan kalau aku akan menyesali momen ini nantinya.
Pria itu berdiri sejajar denganku. Mata cokelatnya lagi-lagi tertuju pada mataku. Jemari pria itu mendarat di puncak rambutku, mengusapnya perlahan, "Penerimaan adalah proses yang panjang, Ra. Dia mungkin tak bisa memutar balikkan waktu dan mengembalikan yang telah pergi. Tapi kita selalu berhak atas ketentraman di hati kita akan kenyataan, bukan terbuai akan kepalsuan."
Suara itu mulai terdengar tertawa keras.
"Jika kau siap, aku akan menemanimu bertemu mereka." Konselor itu menyeringai ganjil. Ujung matanya menyorot sisi lain dari pekuburan.
Mereka?
Belum sempat aku menangkap maksudnya, sebuah sentakan aneh menyakiti kepalaku. Aku reflek mundur dengan cepat, menyebabkan kakiku kehilangan keseimbangan. Tidak seperti di film, cara jatuhku tidak secara perlahan. Saat sadar, kepalaku sudah sejajar dengan rerumputan dan kakiku terlipat.
Pemakaman ini akan menyakitimu, Ra. Pulanglah!
Mataku mendadak berkunang-kunang. Bintik hitam kelabu berputar memenuhi pandangan. Sebuah cairan terasa mengalir keluar dari hidungku. Aku bisa melihat konselor itu mengatakan sesuatu dengan panik, tapi tak ada suara apapun yang terdengar.
Kali ini bisikan itu mungkin benar. Aku seharusnya tak boleh ada di sini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top