Bagian 7

Aku tersentak bangun dengan teriakan seperti orang gila.

Jantungku berdetak keras dengan keringat yang membasahi sekujur tubuh. Tanpa sadar, aku meraup udara begitu tamak demi menenangkan diri. Hembusan angin dingin yang menerpa kulit wajah membuatku benar-benar yakin telah kembali pada kenyataan.

Perlahan, aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling dan menyadari bahwa telah terbangun di kamar sendiri. Aku mengenalinya dari tumpukan buku yang teronggok malas di pojokan dan dindingnya yang berwarna kelabu. Tanganku perlahan meraba dada, perut dan kaki. Aku telah mengenakan piyama tidur yang lembut, bukan pakaian yang kuingat. Perasaan cemas kembali menyergap begitu jam digital di atas nakas memberitahu bahwa aku telah bangun di hari berikutnya.

Ada yang salah. Pasti.

Di tengah cahaya remang, aku mencoba mengingat apa yang salah hingga bisa membuka mata dengan perasaan seperti ini. Puluhan memori datang silih berganti. Tentang pertemuan kelompok dukungan, penemuan jasad anak kecil, si manusia burung, dua cewek yang mati tertembak di trem itu dan aku akhirnya bertanya tentang bagaimana caranya diri ini bisa terbangun di kamar.

Sesuatu telah terlewat. Seolah ada keping yang hilang dari memori kepala yang membuatku putus asa untuk menyimpulkan situasi ini apa adanya.

Hanya mimpi.

Pikiranku terus menghibur diri dengan kesimpulan itu hingga sudut mataku menyadari ada yang salah. Tepat saat angin dingin kembali berhembus masuk begitu saja menerpa wajah, aku tahu betul apa yang membuatku benar-benar bangun.

Kupikir rumah harusnya menjadi tempat yang paling aman. Tiada yang berani mengusik karena ayah dan bunda selalu ada untuk menjagaku. Bahkan termasuk orang-orang yang sering berteriak di depan pagar. Mungkin pernyataan barusan hanya berlaku sampai pagi ini.

Seseorang sepertinya baru saja memecahkan jendela kamar. Pecahan kacanya nampak berceceran di atas ubin.

Aku terkesiap di antara kantuk yang mereda. Sekelebat rasa takut tumbuh dengan asumsi bahwa skenario di dalam kepalaku benar-benar terjadi. Tentang seorang yang mengendap-endap dari luar sana, berhasil masuk ke dalam rumah dan melukaiku. Setelah sekian lama, aku merasa takut bila itu sempurna terjadi. Tubuhku gemetaran.

Ketika kakiku menapak lantai, rasa dingin menjalar cepat sampai ke kepala. Aku buru-buru meraih gelas kosong di atas nakas dan menjadikannya untuk melindungi diri. Dengan cemas, aku terus memalingkan kepala ke sekeliling kamar karena merasa seseorang memperhatikanku dari salah satu sudut. Kurapatkan tubuhku ke tembok, berharap tak ada hal yang kubayangkan berada di tempat yang sama.

Seseorang itu mungkin saja masih di dalam.

Angin subuh sekali lagi bertiup dari lubang besar di jendela, membuatku sedikit kehilangan kewarasan. Ada bisikan di kepala yang berseru bahwa ini masih bagian dari mimpi buruk yang belum usai. Tidak masalah, ini tidak nyata. Jadi cepatlah berbaring di kasur dan tidurlah. Ketika kau bangun kembali nanti, pagi ini akan menjadi pagi yang biasa.

Tidak boleh. Bisikan lain yang lebih realistis dalam kepalaku angkat suara, Kau tidak boleh mengabaikan situasi ini. Kau harus pastikan ini mimpi atau kenyataan.

Tapi aku terlampau takut untuk memastikannya. Sekilas aku memandang pintu kamarku dan berpikir bahwa apa seseorang akan mendobrak pintu ini dan membunuhku?

Jika ini semua mimpi, kau masih punya banyak waktu untuk kembali tidur lagi, Bisikan yang lebih realistis kembali bersuara, Kalau ternyata ini bukan mimpi, kau harus memeriksa apa yang terjadi dan menghubungi ayah lewat ponsel.

Benar juga. Aku buru-buru meraih ponsel tipis di dekat bantal. Tanganku yang masih bergetar menyebabkan aku selalu salah memasukkan kata sandi sampai lima kali. Kepanikan menyergap setiap sel dalam tubuhku. Ketika ponselku berhasil terbuka, yang ada dalam pikiranku hanyalah menelpon ayah yang berada di kamar bawah.

'Halo Ra.'

Kalimat pendek itu langsung menyambutku begitu kunci terbuka. Layar ponsel langsung menampilkan sebaris tulisan dalam aplikasi catatan yang jarang sekali kubuka selama ini. Sebuah pemikiran lain mendadak muncul di kepalaku. Aku menahan napas, Jemariku segera mengusap naik layar ponsel.

'Berapa banyak mayat yang kau ingat? Berapapun itu, kuharap kau tidak muntah lagi saat bangun dan terkejut saat menilai situasi. Semalam, aku hanya sekedar mengantarmu pulang. Tidak lebih.'

'Aku tahu kau kemarin menghindariku. Sama halnya saat kau menghindari kenyataan. Waktunya bangun dari mimpi-mimpimu, Ra. Aku hanya berusaha membantu.'

Aku menggigil, berusaha memahami situasi. Peperangan kembali terjadi di dalam kepalaku. Satu bisikan kembali mengatakan agar percaya, tapi bisikan lain berusaha untuk mengenyahkan pemikiran itu. Jemariku kembali bergerak mengusap layar lagi. Berharap ada penjelasan yang tersisa. Di momen berikutnya, napasku benar-benar tertahan.

'Jangan menyangkal keberadaanku, Ra. Aku ini ada dan akan datang kembali untuk membawamu pada kebenaran."

Tubuhku langsung ambruk bersimpuh di lantai.

Ayah adalah orang pertama yang menemukanku di sudut kamar. Ketakutan sambil bergelung dengan selimut. Beliau memelukku sembari bilang semua akan baik-baik saja, karena tak ada satu orangpun dari keluarga kami yang terluka. Juga tak ada barang berharga yang hilang, kecuali kumpulan foto keluarga yang hilang dari album. Aku tetap saja termenung merasa kehilangan setelah mendengarnya, karena foto itu juga barang berharga. Seluruh kenangan indah kami berada di sana.

Kakak muncul beberapa menit kemudian dengan tongkat kasti, mengatakan telah menyisir sekitaran rumah untuk memastikan penyusup itu telah pergi tanpa jejak. Adik kecilku ikut memelukku erat. Bunda juga langsung menelpon polisi pagi itu juga, bilang mereka untuk segera datang.

Namun hingga satu jam berlalu, para polisi tidak kunjung datang untuk memeriksa tempat kejadian. Aku mulai ragu, apa bunda benar-benar menelpon mereka? atau para polisi itu tak menanggapi serius atas urusan ini?

***

Duniaku terus saja berjalan di luar kendali dan aku tidak pernah siap untuk itu. Pagi ini, aku sangat ingin kembali ke kasur untuk kembali tidur dan berharap ini hanya mimpi. kemudian besok diri ini akan terbangun untuk menyadari kalau semua yang terjadi bukanlah kenyataan.

Tapi semuanya terasa nyata.

Nyata. Karena walau aku sudah menegak 2 pil obat sekaligus, televisi masih menyiarkan berita penembakan yang terjadi di atas Trem jurusan lereng utara semalam. 2 siswa SMA dikabarkan tewas. Aku masih ingat ekpresi dramatis ayah dan bunda saat melihat kabar itu. Namun tidak seorangpun yang menyadari bagaimana ekspresiku di saat yang sama. Muram bercampur panik.

Nyata. Karena aku kembali muntah di depan ayah dan bunda. Tepat setelah teringat genangan tentang cairan merah yang bercampur dengan warna kuning pekat menggenangi lantai gerbong malam tadi. Juga tubuh kedua cewek yang terbujur kaku dengan mata melotot dan mulut terbuka.

Nyata. Karena aku mendengar kalimat tegas bunda yang memaksaku pergi ke sekolah setelah semua yang terjadi. Aku sudah merengek kepadanya untuk mengizinkanku tidak berangkat. Aku sungguh khawatir akan banyak hal bila keluar rumah hari ini. Salah satunya, aku tak ingin terseret dalam kasus itu. Pun jika aku terlibat sebagai saksi, tak ada yang percaya bahwa pelakunya adalah pria gila dengan topeng burung membawa pistol.

Nyata. Karena aku baru menyadari keganjilan tentang kepulanganku semalam, bahwa keluargaku tidak menyadari soal manusia burung itu. Bunda hanya bilang kalau aku langsung tidur karena kelelahan begitu sampai –dan beliau membiarkannya. Kakak juga mengaku sudah membangunkanku berkali-kali untuk makan malam. Mereka hanya tahu seorang penyusup datang dan mengacaukan seisi rumah.

Nyata. karena aku tidak lagi mendengarkan keriuhan di sekitar danau artifisial seperti biasanya pagi ini. Semua orang pasti mengurung diri di rumah masing-masing karena kejadian semalam. Hanya terdengar sayup kecipak air biru danau yang tersapu angin. Juga telisik ranting dedaunan yang bergesekan.

Kemudian aku teringat tentang si manusia burung yang akan menemuiku lagi.

Sialan!

Gelombang putus asa datang dalam sekejap dan membuatku kembali merasa ketakutan seolah ditimpakan bagai badai besar. Jemariku yang penuh retak kembali mengirim denyut sakit seiring kepalaku terus memikirkan ketakutan itu. Kemudian aku dilanda cemas akan apa yang mungkin terjadi setelah ini. Semua terjadi begitu cepat dan tak terduga. Hal-hal buruk itu entah bagaimana datang seenaknya dalam hidupku dan seolah berusaha untuk mengubah apa yang telah ada.

Air mataku keluar begitu saja karena aku marah pada diriku sendiri. Diriku yang lemah, bodoh dan tidak bisa melakukan apapun. Aku yang terlalu pengecut karena berpikir semua harus baik-baik saja, namun yang terjadi justru sebaliknya. Hari-hariku menjadi kian menggelap tanpa kejelasan dan aku tak siap untuk itu.

Hari-hari yang dipenuhi kebencian, kematian dan ketakutan.

Semua seolah terjadi begitu cepat bagai mimpi. Aku merasakan putus asa dalam kesendirian yang tak kunjung surut. Dia membelenggu seperti bayangan buruk yang tak bisa diakhiri. Perlahan kesadaranku mulai menguap bersama dengan keinginan untuk melanjutkan hidup.

Aku ingin lari saja dari kenyataan.

Aku ingin sekali pulang sekarang juga, lantas meringkuk di kamar, tidur dan menyadari semua akan baik-baik saja ketika bangun nanti. Bahkan kalau boleh, aku sangat ingin tidak bangun lagi dari tidur. Selamanya.

Aku ingin mati...

"Ra."

Saat suara itu menerpa pendengaran, kesadaranku seolah terlempar lagi pada taman kecil di pinggiran danau artifisial yang mulai lengang. Aku kembali melihat pohon-pohon rindang dengan taman penuh warna bersama kecipak air danau, juga raut wajah barusan yang memanggilku. Untuk pertama kalinya aku terpaku menatap sepasang mata miliknya, dengan warna iris kecokelatan yang lebih gelap dari bangku kayu yang kududuki.

"Aku tahu kamu ada disini."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top