Bagian 6

Tatapan tajam milik kedua pasang netra itu saat berjalan mendekat sontak membuat nyaliku ciut di momen berikutnya. Aku memaki diriku dalam hati yang begitu bodoh terbawa suasana oleh bayangan tadi. Sosok manusia burung itu sudah lenyap tak berbekas begitu aku kembali melirik bangku yang tadinya ia duduki.

Umpatan pelan kembali terlontar dari mulutku.

Orang-orang yang membenciku sering kali mengungkapkan kebenciannya degan cara yang beragam. Baik secara langsung atau tidak. Ada kalanya mereka mengolokku dengan hal yang tak masuk akal, seperti apakah aku menjilat darahku sendiri, berbicara pada hewan, dan hal sialan lainnya.

"Ayo, dong. Jawab, Ra! Kamu kalau kencing sambil berdiri, ya?" Lalu mereka tertawa.

Olok-olokan itu makin menjadi saat mendengar kalau aku tergabung dalam kelompok dukungan. Seolah akhirnya mereka mendapat pembenaran atas tindakan yang mereka lakukan.

"Ra pergi ke tempat orang-orang gila!"

"Jangan bikin orang sinting marah haha..."

Kemudian aku juga menemukan coretan-coretan yang senada dengan apa yang anak-anak lain katakan tentangku di dalam bilik toilet. Dalam pikiranku, aku mulai bertanya siapa yang benar-benar gila tindakannya di antara kami sekarang.

Di lain kesempatan, orang-orang hanya bersikap buruk dengan dalih aku pantas menerimanya atas kejahatanku. Tapi aku bahkan tidak tahu kejahatan apa yang mereka maksud. Seperti saat aku mendapati pagar rumah kami yang berlumuran telur mentah –ada juga yang busuk dengan campuran tepung. Kakak bahkan pernah meneriaki mereka yang berani mencoret pagar rumah dengan kata-kata makian. Meski begitu, orang-orang tetap memutuskan untuk kembali dan menganggu kehidupan kami.

Tapi yang paling kutakutkan adalah ketika mereka berani menyakitiku secara fisik.

Pikiranku kembali ke siang itu, saat seorang cowok di kelas menarik paksa tasku dan menendang perutku. Dia marah karena mengira aku menganggu pacarnya. Padahal aku hanya berniat membagikan buku PR nya yang dikumpulkan. Untunglah saat dia hendak menyundutkan batang rokok ke mataku, wali kelas kami datang. Tapi aku tak bisa berharap banyak setelah itu.

"Hei Ra," Tangan milik gadis perokok itu sudah melingkar di leherku –gestur yang menunjukkan betapa berkuasanya dia, "Ingat apa yang kukatakan tadi pagi soal tidak membuat masalah atau terima akibatnya?"

Aku meremas jari-jemariku yang berkeringat dengan tatapan tertuju pada lantai gerbong. Rasa sakit atas perlakuan kasar itu bukan apa-apa. Tapi, perasaan yang kualami –perasaan takut akan apa yang terjadi selanjutnya akan terus menghantuiku. Aku takut saat sekali saja mereka berani menyakitiku dan melampaui batas, aku akan kehilangan orang-orang yang kusayangi.

Tetap tenang. Tahan napas. Pasang seringai datar dan bentuk ekspresi wajah semelas mungkin, "Maaf, aku hanya salah lihat..."

Sebuah tamparan keras mendarat ke pipi kiriku.

"Melihat apa? melihat mayat orang yang kau bunuh?" cewek itu menyeringai, "Sepertinya kau takut dengan berita penemuan jasad anak kecil barusan, kan?"

Tunggu, bukan aku yang melakukannya.

Rekannya yang masih bermain ponsel ikut melirikku, "Jangan mengelak dengan pura-pura bodoh, Ra. Semua orang di kota ini harusnya sudah curiga bahwa kau terlibat sejak kasus pertama. Polisi hanya masih mencari bukti kuat untuk menangkapmu besok-besok."

Apa yang kalian bicarakan? aku masih tidak mengerti dengan semua ini. Orang-orang yang menghilang itu, aku tak pernah satupun mengenal mereka. Kenapa menuduhkan hal itu padaku?

Cewek perokok itu menjambak rambutku kasar dan menariknya tanpa ampun, "Katakan sesuatu, bodoh! Kami melihat bagaimana kau meracau ketakutan sepanjang berita itu berlangsung."

Tidak. kalian salah. Kalian tidak akan paham.

Sebuah tendangan mendarat telak di rusuk bagian kananku. Aku tersungkur ke salah satu sudut dengan rintihan pilu. Jemariku yang retak kembali berdenyut mengirimkan gelayar rasa sakit saat aku berusaha untuk bangkit.

"Mengakulah, gadis gila. Kami semua tahu kau adalah orang pertama yang dikutuk!" cewek perokok itu melanjutkan untuk menendangku lagi dan lagi, tanpa ampun, "Dan karena kutukan itu, Kau membuat sebagian orang di kota menghilang dan remuk seperti anak kecil itu, kan?"

Aku mengigit bibir bawahku, menahan agar tidak berteriak sekarang. Dalam kepala, aku memikirkan bagaimana jadinya jika aku memutuskan untuk melawan balik mereka seperti yang ada di novel dan berkata : Kalian sungguh pengecut karena berani menyakiti yang lebih lemah!

Mungkin hasilnya akan mengecewakan. Mungkin cewek perokok itu akan naik pitam dan melukaiku dengan benda tajam, atau temannya akan merekam tindakan bodohku dan menjadikannya alasan untuk melaporkanku. Selayaknya Korban perundungan dimanapun yang tidak pernah mendapatkan keadilannya.

Namun, yang paling mungkin adalah aku tidak melakukan apapun. Aku akan tetap begini saja hingga semuanya berakhir dengan sendirinya. Selalu begitu.

"Memangnya apa dosa mereka sampai kau membunuhnya, heh?" tangan cewek perokok itu mencengkram kerah jaketku, memaksaku berdiri. "Harusnya kau simpan saja kutukan itu untuk dirimu, bukan menularkannya."

Tidak. Aku tidak pernah membunuh siapapun.

"Kami muak melihat wajahmu yang sok tak berdosa itu." rekannya mulai menyorotkan kamera ponselnya ke arah wajahku.

Kalau begitu jangan lihat aku.

Cewek dengan ponsel itu meraih tanganku yang sepertinya ia selidik sedari tadi. Tanpa keraguan, ia melepas paksa perban dan plester yang menutupi kulit jemariku yang penuh luka retakan yang berwarna merah segar. Ia menjerit pelan, rekannya berseru jijik. Kemudian ia berseru bahwa ini bisa jadi bukti besar untuk diunggah ke dunia maya.

"Bagaimana judul video ini nanti ya?" cewek dengan ponsel itu tertawa, "Video klarifikasi langsung dari pelaku penyebab kematian abnormal? Itu terdengar bagus. Kami yang akan membuatmu mengakui dosa-dosamu."

Kumohon, Jangan lakukan itu. Aku tak mau keluargaku tahu soal ini.

Ekor mataku menatap kaca penghubung dengan gerbong lain, berharap pertolongan. Orang-orang di gerbong satu lagi pasti menonton ini. Tapi sepertinya mereka takkan peduli. Mereka biasanya hanya pura-pura tak melihat. Mereka mungkin berpikir ini bukan urusannya, jadi buat apa terlibat dengan hal yang merepotkan?

Selalu seperti ini. Tidak ada yang benar-benar menolongku saat orang-orang di luar memperlakukanku dengan buruk. Mereka semua hanya menonton.

Dan aku tetap tidak bisa menolong diriku sendiri.

Itulah yang membuat dirimu terlihat sangat menyedihkan.

Alas sepatu milik cewek perokok itu sekali lagi menghajar pelipisku, membuat kepala ini sekali lagi mencium lantai gerbong dengan keras. Aku meringkuk pasrah dengan kepala yang seolah berputar, pusing sekali. Mataku mulai berkunang-kunang. Semuanya terasa semakin menggelap. Aku hanya ingin pulang. Aku ingin obatku.

"Kenapa aku? Aku punya salah apa pada kalian?" tanyaku dengan suara lemah. Wajahku begitu kebas hingga tak bisa merasakan dinginnya lantai. Mataku terasa panas hingga ingin sekali menangis.

Memangnya, kenapa lagi? suara dalam kepalaku yang malah menjawabnya.

Cewek perokok itu tergelak, "Lihat? anak ini bahkan masih belum mengaku."

"Jangan begitu, bodoh! sepertinya dia lupa apa yang terjadi enam bulan lalu." Gadis dengan ponsel itu menyeringai, menunjukkan suatu laman surat kabar di internet di dekat wajahku. Mataku seketika membulat demi melihat potongan berita lama. Sebuah lonjakan memori seolah hendak merengsek keluar dari sudut terdalam kepalaku.

"Bukankah kau juga melakukannya pada mereka, Ra?"

Hentikan. Jangan katakan!

DOR!

Suara letusan tembakan dibarengi teriakan pilu menggema di seluruh gerbong. Disisa kesadaran, aku melihat cewek perokok itu melolong kesakitan dengan semburat warna merah yang membasahi bagian depan seragamnya. Kemudian perlahan ia terhuyung kebelakang, membentur pintu gerbong dan luruh jatuh merenggang nyawa.

Rekannya yang membawa ponsel berteriak panik, ia berusaha melarikan diri dan meminta bantuan dari gerbong sebelah. Naas, suara letusan kembali terdengar dan isi kepala cewek itu sudah berhamburan mengotori lantai. Tumpahan darah dengan cepat menggenangi seisi gerbong.

Aku mengangkat kepala dengan tatapan tidak percaya. Napasku mendadak sesak.

Pada detik berikutnya, aku baru menyadari sosok manusia dengan topeng burung telah berdiri tak jauh dariku. Sebuah pistol dengan bentuk tak biasa terangkat di tangannya menuju dua jasad yang sudah tak bernyawa itu.

DOR! DOR!

Pistol itu kembali menyalak dan melepaskan tembakan. Tubuh dua cewek itu kembali berlubang untuk kesekian kali. Suara-suara teriakan panik ikut terdengar dari gerbong depan. Tubuhku meremang demi melihat pemandangan darah berceceran dimana-mana. Isi perutku tiba-tiba menunjukkan geliat meminta untuk dikeluarkan segera.

Laju trem mulai pelan, diselingi pemberitahuan situasi darurat dari operator utama.

Kemudian aku muntah. Kubiarkan isi perutku yang beraneka rupa tumpah ruah membasahi lantai tak berdosa dengan suara menyedihkan. Juga bersamaan dengan ingus dan air mata yang mengikuti muntahan itu. Kombinasi antara mual, lunglai dan pusing benar-benar menyiksaku. Kepalaku terasa berputar, berdenyut mengalirkan gelayar rasa sakit seolah ingin meledak.

"Selalu menyenangkan rasanya saat melakukan kejahatan pada orang jahat," Suara milik manusia burung itu kembali seolah berbisik di kepalaku. Dia lantas tertawa pelan. Tawa yang sangat ganjil.

"Kau juga merasakan hal yang sama kan, Ra?"

Tubuhku kini sempurna tersungkur lemah bagai sehelai kapas.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top