Bagian 5
"Bunda ikut senang kau akan pergi ke bioskop Town Square bersama teman-temanmu akhir pekan besok, Ra." Suara riang bunda kembali terdengar dari seberang panggilan, "Lihat, kan? kau hanya perlu terbuka dan bersikap manis, maka orang-orang akan senang padamu."
"Iya." aku kembali berbohong pada bunda agar ia berhenti khawatir atas kehidupanku. Bunda sudah melakukan banyak hal untuk memberiku kehidupan yang normal. Aku hanya tidak mau mengacaukan semua pemberian itu dan membuatnya bersedih lagi seperti hari yang lalu.
Hari dimana Bunda menangis tak tahan melihat kondisiku yang masih buruk dan bilang, "Tolong jangan menambah hal baru lagi, Ra. Kamu harus membantu, Bunda."
Jangan menambah masalah baru. Jangan membuat Bunda repot. Jangan menyusahkan. Jangan jadi beban. Jangan menjadi tidak berguna. Itulah yang otakku tafsirkan beberapa detik sebelum kembali meringkuk dengan rasa bersalah di kasur. Sejak saat itulah aku mencoba untuk memisahkan kehidupan saat di rumah dengan di luar. Hidup dengan penuh rahasia dan topeng palsu. Apapun yang terjadi, Bunda atau ayah tak boleh tahu betapa menyedihkannya diri ini di mata orang-orang. Aku hanya perlu berpura-pura pada mereka seolah semua mulai berubah baik. Termasuk bersedia ikut dalam kelompok dukungan dan memiliki teman.
Aku tak ingin mereka semua khawatir.
"Ra," Suara Bunda kembali memanggil sebelum panggilan ditutup, "Terima kasih karena sudah mau berubah."
Aku akan berubah. Tiga kata yang ternyata menghambat kebahagiaanku sejak kuperdengarkan pada ayah dan bunda. Tapi pada akhirnya keinginan kosong itu tidak pernah mengubah apapun. Aku masih sendiri dan dibiarkan sendiri di tengah hiruk pikuk Kerak Terusi yang seolah hanya sekedar bernyawa. Kota ini dingin, tanpa kehangatan.
Sama sekali belum ada yang berubah dalam diriku. Kecuali caraku yang menyikapi masalah justru semakin munafik lagi. Semua orang menginginkan kehidupanku kembali normal dengan berbagai cara, tapi kurasa tak ada satupun cara yang tepat.
Tapi kalau dipikirkan lagi, menjadi sendiri seperti ini pun bukanlah salahku, tapi mungkin saja salah pikiranku yang selalu membisikkan bahwa semuanya buruk. Seperti saat aku mendengar bahwa dunia selalu bising di sekitarku. Orang-orang berbicara, berteriak, berlarian, melihat hingga menyentuh tapi tak pernah juga mendengarkan. Mereka semua tak pernah memahami. Mereka hanya sibuk dengan urusan sendiri. Semua itu seolah mengurungku dalam dunia yang asing.
Aku tak bisa mengendalikannya, pun tak bisa membiarkannya. Yang bisa kulakukan hanyalah memperhatikan. Kemudian jalinan kompleks yang melilit otakku berdesing, berputar dan meraung untuk merangkai beragam keping kenyataan menjadi kumparan realita baru di mataku. Tiap kali itu terjadi, duniaku terasa sangat berbeda.
"Pemberhentian berikutnya, Blok 14 kawasan lereng utara." Suara pemberitahuan berbunyi nyaring tepat saat kendaraan dengan tiga gerbong ini berhenti di halte berikutnya. Aku mengangkat wajah, memperhatikan sebagian besar penumpang di gerbong trem otonom turun. Kemudian beberapa anak dengan seragam sekolah masuk dan duduk di bangku tak jauh dariku. Mereka berbincang dengan suara riang, saling melempar tawa bersama.
Riang dan tawa. 2 hal yang tak bisa kugapai sekarang, kecuali dengan berangan kalau aku sedang melakukannya.
Trem ini kembali melaju beberapa menit kemudian, menyusuri jalanan virtual yang bersisian dengan jalur kendaraan biasa. Dari balik kaca berembun, aku bisa melihat jalanan hitam yang mengilap dan memantulkan bayang-bayang samar. DI luar sana suasana nyaris gelap. Matahari sedikit lagi hampir tenggelam di balik gunung berkabut. Bergantikan gelaran langit bersemu nila kelabu dengan tanpa kerlip bintang. Jalanan kota ramai, puluhan orang riuh menikmati senja berkabut, juga kendaraan yang melintas tiada henti.
"Pemirsa, Mayat siswa sekolah dasar yang hilang ditemukan di ceruk barat, Kerak Terusi. Penemuan ini menjadi titik terang terkait kasus hilangnya beberapa orang dalam pola serupa yang menggemparkan kota akhir-akhir ini..."
Aku menoleh keatas, menatap siaran berita layar tipis yang tertanam dalam dinding gerbong. Seorang reporter dengan tampilan formal sedang melaporkan langsung dari tempat kejadian. Sebagian orang di gerbong nampak ikut mendongak.
"...Seorang anak laki-laki yang sempat dikabarkan hilang tiga hari yang lalu, kini diketemukan tergeletak di pinggiran sungai ceruk Barat, pada tanggal 27 sore ini pukul 14.29, oleh warga setempat."
Kasihan. Anak yang malang.
"...Pihak Kepolisian distrik membentuk tim penyelidikan khusus atas kasus kematian abnormal ini."
Tapi aku tidak ingat bahwa kasus orang hilang sedang marak. Apa saja yang telah kulewatkan?
"...Orang tua korban mengidentifikasi jenazah. Dilaporkan bahwa korban adalah anak laki-laki berumur tujuh tahun dengan kondisi jasad yang tak lagi lengkap dan mengalami keretakan pada sebagian besar anggota tubuh..."
Sebuah gelayar sakit kembali berdenyut di jemari-jemariku, bersamaan dengan migrain yang kembali menyerang kepala. Aku mengigit bibir, menahan ringis sakit dengan tubuh gemetaran.
Tidak, jangan lagi. Kumohon bertahanlah sampai aku meminum obatku.
"...Mayat anak itu sepertinya dibuang di sini, tepat dibawah jembatan" reporter itu mengacungkan jari telunjuknya pada area rerumputan yang disorot oleh kamera. "Penyebab kematian belum bisa dipastikan apakah ini pembunuhan atau bukan. Polisi hanya mengonfirmasi bahwa tidak terdapat sidik jari ataupun tindak kekerasan pada tubuh korban sejauh ini."
Mataku kembali melayang ke arah layar televisi. Acara berita itu kemudian menayangkan laporan pers dari kepolisian setempat. Kepala polisi dengan kumis melintang itu mengatakan akan adanya pendekatan medis sekaligus ilmiah terkait penyidikan kasus ini. Ia juga menyatakan indikasi dekomposisi jaringan sel yang dominan pada tubuh korban hingga membuatnya hancur secara tidak wajar. Selama penyidikan masih berlanjut, ia menekankan untuk mewaspadai orang-orang yang sekiranya terjangkit anomali serupa.
Dekomposisi. Retakan.
Kepalaku kembali diserang rasa pusing yang aneh. Aku memaksakan mengangkat seluruh jemariku yang penuh luka retakan. Otakku seolah berputar, mencoba menghubungkan berbagai penjelasan.
Aku selalu memikirkan retakan ini. Dia mirip sekali dengan parasit yang siap lepas kendali kapanpun ia ingin menyakitiku. Seolah memperingatkanku untuk lepas dari sesuatu yang harusnya tak kulakukan. Tapi aku tak pernah tahu darimana ia muncul dan tak berniat mencari tahu lebih jauh kepada dokter.
Aku sempat yakin bahwa ini hanyalah salahku tidak minum obat lagi.
Tapi saat melihat kembali penemuan jasad anak kecil dengan kondisi retakan yang serupa denganku, sebuah pertanyaan muncul bahwa apakah sekarang adalah waktu yang tepat untuk cemas?
Aku menelan ludah. Jika dipikirkan lagi lebih dalam, aku sejatinya berbohong telah bilang bahwa tak pernah menyakiti diri sendiri. Retakan ini muncul karena aku kecanduan tidak minum obat dan sekarang ia menyakitiku. Aku telah membiarkan diri ini tersakiti. Aku yang menyakiti diriku sendiri seperti orang-orang itu.
Aku sama seperti mereka.
Berbagai skenario buruk kemudian tercipta di kepalaku. Tentang retakan ini yang bisa jadi membunuhku dengan cara yang tidak pernah kupikirkan. Aku kemudian takut retakan ini membuatku kehilangan seluruh keluargaku. Aku bisa mati terlebih dahulu, atau mereka yang terjangkit hal yang serupa karenaku. Semua ketakutan akan kematian berkumpul dan tersusun berantakan di kepala, membuatku tak ingin merasakan apapun untuk sesaat. Semuanya seolah mati rasa dalam beberapa detik.
Aku tak mau kehilangan mereka. Aku juga tak mau kehilangan diriku sendiri. Mereka tak boleh tahu soal ini, apalagi siapapun yang lain.
Aku tak boleh membuat mereka khawatir lagi.
Di tengah napas yang kian menderu antara takut dan cemas, Aku memejamkan mata, berbisik bahwa semua akan baik-baik saja. Jangan takut. Bayangkan saja kehidupanku yang kembali normal. Tanpa pengucilan, retakan ini atau diriku yang menyedihkan. Bayangkan tentang makan malam yang hangat dengan ibu, ayah, kakak dan adikku saat tiba nanti.
Aku seolah bisa melihat ruang makan rumah kami. Aku melihat Bunda yang segera meneriaki adikku untuk mempersiapkan peralatan makan. Begitupun kakak yang ikut terkena omel karena sudah mengambil sup ayam duluan sebelum aku bergabung. Kakak laki-lakiku yang berusia sembilan belas itu hanya menggaruk rambut yang tak gatal. Dia hanya beralasan perutnya sudah terlampau lapar. Ayah hanya tertawa sembari mengajakku segera bergabung setelah membersihkan diri.
Aku menatap wajah mereka satu per satu. Tanpa sadar seyuman tergurat di bibir. Bersyukur masih menjadi bagian dari keluarga yang bahagia. Ini adalah momen yang sangat aku nikmati. Momen kebersamaan saat makan malam tak boleh dilewatkan satu kalipun.
Rasa sakit di seluruh jemari dan kepalaku perlahan mulai mereda. Semua rasa takut berganti kehangatan semu yang melegakan.
Aku merasa kami bahagia di momen itu.
Apa yang kau tertawakan?
Suara itu kembali berbisik di sudut kepalaku.
Ini kah yang kau inginkan? Menuruti ego besarmu, dan selalu kembali alam khayalan, karena hanya disana kau bisa mengendalikan apapun yang kau suka?
"Lalu kenapa?" bisikku.
Karena ego bodoh itu akan menghancurkamu nanti. Kamu mengikis realitas nyata dengan fiksi palsu demi mencari kebahagiaan yang tak bisa kau dapat.
Napasku tercekat, "Itu tidak benar."
Gadis kecil yang sendiri. Hanya sekedar hidup tanpa arti...
Suara itu kembali. Kali ini terdengar bersenandung seolah bergema di seluruh ruang kepalaku. Selembut angin, namun juga terasa seperti cengkeraman.
...kemudian berlari kesana kemari. Merengek dan mencari yang telah pergi.
"Diam."
Suara-suara itu tetap tidak mau tenang di dalam sana. Aku bisa mendengar ia mulai tertawa penuh kemenangan telah mengacaukanku.
"Diam!" desisku lebih keras.
Tarik napas. Embuskan. Jangan bergerak. Aku harusnya tahu situasi ini. Ini semua hanya terjadi lagi di kepalaku. Aku yakin juga bisa melalui ini semua tanpa obat terlebih dahulu. Semua akan baik-baik saja.
Masih bicara pada diri sendiri, lagi?
Tenanglah. Abaikan suara-suara itu. Biarkan mereka perlahan pergi. Pejamkan mata dan Jangan biarkan sampai orang lain tahu.
Bagaimana kalau orang lain tahu? bukankah itu akan menarik?
Jangan. Aku tidak akan membiarkan siapapun tahu.
Suara itu terdengar seperti tertawa pelan. Seolah mengejekku.
Angkat saja kepalamu
Aku reflek mengangkat kepala, mengintip ke seberang bangku di hadapanku. Tepat saat trem tengah melintasi terowongan besar dengan deretan lampu penerangan dengan cahaya kuning lindap. Sebuah gelayar ketakutan langsung menyergap seluruh tubuh hingga membuat bulu kuduk meremang.
Bayang-bayang aneh berkelebat di depan mata. Mencipta sebuah sosok jangkung dengan tampilan rapi serba hitam. Sebuah topi tinggi, mantel hitam dengan kerah putih mencuat di bagian leher. Juga sebuah wajah yang tertutup oleh sebuah topeng burung dengan paruh putih panjang dan dua lubang hitam gelap di bagian mata. Dia duduk takzim sembari membalas tatapanku.
"Halo, Ra."
Tidak. Tidak. kau tidak nyata.
"Kau masih berpikir ini semua hanya terjadi di kepalamu?"
Semua ini hanya khayalan saja. Dia mungkin hanya perwujudan suara-suara itu. Aku merapatkan telapak tangan ke lubang telinga. Berharap ia mengilang.
"Aku disini untuk membantumu, Ra. Berhentilah berpikir dan Lihat mataku!"
Kau bukan apa-apa selain apa yang otakku ciptakan. Jadi kau yang diam dan Kembalilah menjadi sekedar angan-angan kosong!
"Aku nyata, Ra." Suara si manusia burung itu terdengar menggeram, "Bahkan lebih nyata dari kehidupanmu."
"HENTIKAN! KAU TIDAK NYATA!" Aku menjerit parau, membuat seluruh pemilik mata di gerbong ini melihatku. Mereka sempurna menyaksikanku yang tengah jatuh berlutut di lantai dengan memegangi kepala.
Detik demi detik berjalan begitu lambat. Aku perlahan menyadari situasi. KEadaan sekitar sepertinya tak menghendaki teriakan barusan. kelompok anak sekolah yang barusan naik itu, aku mengenalnya. Dia adalah cewek perokok di toilet sekolah juga temannya yang masih saja sibuk dengan ponsel. Dua orang yang paling tidak ingin kutemui lagi.
Aku telah melakukan kesalahan besar dengan bertingkah gila di depan mereka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top