Bagian 4
Kupikir, Kita harus bicara, Ra adalah kalimat yang diucapkan konselor itu ketika mencegatku setelah perkumpulan usai sejam setelahnya. Aku terus merutuki diri sebagai penolak yang buruk hingga membuat kami berakhir di salah satu bangku taman sentral. Pria itu bahkan ringan tangan membawakan 2 kaleng coklat hangat dari mesin minuman. Hal itu membuatku tak kuasa nekat melarikan diri.
"Terima kasih." Aku ragu-ragu menerimanya dengan mata yang terus terpaku pada sepatu yang berpijak atas rerumputan. Dentum aneh masih terus meledak di bagian terdalam kepalaku.
Aku butuh obat segera.
Konselor itu malah santai membiarkan suasana hening diantara kami. Sesekali kaleng cokelat terangkat ke bibirnya. Mata sayu yang sebagian tertutup rambut itu menatap lurus kedepan, seolah menikmati pemandangan seluruh Kerak Terusi termasuk danau artifisialnya dari taman sentral yang berada di atas bukit. Namun setelah diperhatikan lagi, arah mata pria itu justru jatuh pada salah satu sisi lereng di sisi utara –kawasan rumahku berada.
Aku mengigit bibir dengan khawatir, apa yang tengah ia pikirkan?
"Bagaimana kabarmu?" Tanyanya memulai obrolan.
"Baik." Jawabku singkat.
"Baik?" ulang konselor itu, "Tapi kau ada di sini."
Sial, aku mengigit pipi bagian dalam. Hanya membalas dengan hela napas pendek.
"Hanya bergurau, Ra" Konselor itu menyeringai, "Tidak masalah untuk tidak sedang baik-baik saja. Toh, aku, kau dan kita semua di kelompok ini pernah di posisi yang sama."
Benarkah? Kupikir harusnya semua konselor, psikiater dan pekerja di bidang psikis adalah manusia yang terbebas dari gangguan mental atau setidaknya tak pernah mengalami hal yang traumatis.
"Kami para konselor bukan manusia suci, Ra. Aku bahkan pernah hampir mati gantung diri setahun lalu karena tanpa sengaja membunuh seseorang."
Aku lega mendengar kata tanpa sebelum bagian sengaja membunuh.
"Kau tahu? Kematiannya membuatku terus menyesali pilihan yang kubuat hari itu. Menjadi konselor adalah penebusan dosa agar tak ada lagi aku yang selanjutnya." pria itu menghela napas pelan. "Pernahkah kau rasakan itu, Ra? tentang penyesalan dan duka yang menyatu untuk meledakkan seluruh emosi negatif dalam diri kala satu nyawa melayang, kemudian kau merasa tak ada cara mengatasinya selain memilih melakukan hal serupa?"
Entahlah. Aku belum pernah membunuh seseorang.
"Kenapa anda ceritakan itu padaku?" Aku balik bertanya.
Konselor itu tertawa pelan, "Aku hanya merasa munafik jika hanya mendengar seluruh cerita orang-orang tiap minggunya, tapi tidak pernah benar-benar berbagi kisah hidupku sendiri."
Aku menggeleng, "Tidak ada orang yang benar-benar menceritakan keseluruhan kisahnya pada orang lain. Begitu pun aku. Kurasa itu wajar karena kita selalu punya rahasia."
"Menurutmu begitu?"
Ada pikiran yang terlintas di kepalaku, bahwa terkadang seseorang tak menceritakan keseluruhan kisahnya karena dia memang tak benar-benar tahu. Kita mungkin tak benar-benar mengenal diri kita sendiri. Mungkin aku juga salah satunya.
"Mungkin saja," balasku sembari mengangguk. Kemudian pria itu bilang bahwa tadi itu kalimat yang bagus.
Mataku memandang lurus kedepan. Dari kejauhan kerlip indah lampu kota nampak mulai menyala satu demi satu. Mereka berkerlip dari jajaran gedung-gedung tinggi, juga lampu jalanan. Hari telah telah menjelang senja. Kehidupan malam Kerak Terusi segera di mulai.
Aku mau pulang.
"Kami dengar laporan bahwa kau masih sering mengonsumsi obat sejak beberapa bulan terakhir. Benar begitu?"
Sungguh? Aku malah berhenti minum obat tiga pekan yang lalu –seharusnya.
Berhenti minum obat terasa bagaikan hujan gelap yang mengguyur keringnya hidupku. Saking gelapnya, aku seolah terbawa mimpi-mimpi panjang yang lelah sekaligus menyenangkan. Awalnya hal ini memang jarang terjadi, tetapi aku rela sedikit mencicip hujan itu saat tahu obat itu justru membuat pudar keahlian terbaikku.
Berkhayal.
"Hanya sesekali," Aku tersenyum tipis, "Saat situasinya memburuk."
Juga fakta bahwa obat yang diberikan ayah itu tak memperbaiki apapun dalam hidupku selain memperburuknya.
Sebagian besar pecandu mengonsumsi narkoba demi mengejar khayalan. Namun aku justru sebaliknya, berhenti minum obat karena dengan cara itulah aku menggapai bayangan di kepalaku. Sekali saja aku berhenti maka di sanalah keajaiban dimulai. Pening dan denging di telinga –efek samping obat mendadak lenyap, indra-indraku semakin tajam dan otakku bekerja lebih cepat ketimbang biasanya. Seolah aku mencerna dunia dengan naluri, bukan pikiran. Di momen inilah, aku merasa akulah yang mengendalikan hidupku sepenuhnya. Bukan lagi mereka yang berada disekitarku.
Itu sangat menyenangkan. Rasanya seperti kecanduan, karena tindakan ini terus berulang walau aku tak tahu apa akibat setelahnya. Tidak ada seorangpun yang menghentikanku, bahkan keluargaku sekalipun. Ketika ditanya, aku hanya menjawab sudah meminumnya agar mereka berhenti khawatir –kemudian sebutir pil terlempar ke dalam lubang toilet.
Lantas retakan aneh di tanganku muncul dan aku menyesal telah kecanduan.
Konselor itu tersenyum, mengapresiasi pilihanku, "Kau juga harus sekali-kali keluar rumah, Ra. Maksudku, sekedar lebih terbuka kepada orang-orang disekitarmu dan menikmati masa remaja dengan normal."
Dan itulah hal yang juga sering wali kelasku ucapkan tiap kali kami bertemu, untuk kemudian praktiknya tak pernah berjalan sesuai rencana. Aku tetap berakhir seperti ini dan orang-orang tetap tak mau berubah.
"Atau mungkin berpergian melihat banyak hal daripada terkurung di sekeliling gunung seperti sekarang. Seperti mengunjungi situs kuno di Puncak Pinggala, atau menyaksikan gelaran budaya di Turangga, menatap senja memikat di salah satu pantai elok Nilakandi atau terpesona akan betapa majunya Ibukota kapital barat dengan ikon terbaik mereka, stasiun gantung Kelam Baja. "
Aku juga sebenarnya ingin keluar dari Kerak Terusi, benar-benar keluar dan mungkin tidak kembali lagi. Ada begitu banyak momen di kota ini yang mulai menusukku perlahan. Mungkin, kalau aku pergi dari sini, tusukan-tusukan itu bisa tercabut.
Tapi aku tak bisa meninggalkan kota ini. Seolah terdapat kutukan untukku agar tetap tinggal sampai waktu yang lama. Walau diri ini berkali-kali mencoba membujuk ayah dengan wajah anak paling baik sedunia, hatinya tak goyah. Bunda juga menolak usulku karena banyak sekali sejarah keluarga kami di kota ini selama berpuluh tahun.
"Pernah berlayar?"
Aku menggeleng, "Tidak."
"Sekali pun?"
Kerak Terusi jauh dari garis pantai manapun.
"Kami tidak pernah berpergian keluar distrik. Apalagi lintas lautan."
Konselor itu mengangguk. Kuharap ia ingat bahwa regulasi ijin berpergian lintas distrik kini sedang dibatasi. Suasana politik lokal sedang panas atau sebagainya. Ayah bilang, para pejabat pemerintah di tiap distrik sedang bersitegang satu sama lain –alasan kedua kami tak bisa pindah.
"Kamu harus mencobanya sekali-kali. Rasanya menyenangkan, Ra. Lautan luas itu...seolah memberikanmu kebebasan tanpa batas."
Aku pura-pura mengangguk. Sejatinya, aku merasa jauh lebih bebas dalam ruang pikirku sendiri. Seperti mendudukkan dunia dalam sebuah ruang luas dimana aku berbincang dengan aku yang lain dengan bebas. Dan itu gratis.
"Kami berencana menuju Distrik Nilakandi hari minggu besok untuk berlayar. Ijin dari kantor administrasi lintas distrik telah turun. Alasan kemanusiaan mempermudah perijinannya. Apalagi ombak di laut utara juga sedang ramah di bulan-bulan ini. Hampir sebagian besar anggota kita juga akan pergi. Kamu mau ikut?"
Penolakan sudah berada di ujung lidahku, tapi pria itu melanjutkan sebelum aku bicara, "Tak ada paksaan, Ra. Kami hanya memberi kesempatan dan kaulah yang mengambil keputusan."
Aku tak menjawab.
"Ra, siapapun yang masuk ke dalam kelompok ini artinya dia siap untuk mengubah hidupnya. Aku pun telah bersumpah pada dia yang kubunuh untuk membantu mereka untuk mau berubah sampai kapanpun."
Itu artinya aku berada di tempat yang salah.
"Tapi aku tak pernah berpikir untuk benar-benar mengubah orang lain di kelompok ini. Termasuk kau. Meskipun salah satu diantara kalian tergerak karenaku, pada akhirnya yang mengubah seseorang adalah keputusannya sendiri." Pria itu merengkuh bahuku, dengan tatapan yang berkobar –seolah yakin soal kalimat itu.
Aku beringsut dengan risih, menyingkirkan tangannya. Entah mengapa aku menangkap unsur paksaan dalam kalimatnya.
"Bagaimana?"
"Kalau aku sempat," Aku mengangkat bahu. Setidaknya, aku harus menghargai tawarannya –seperti yang diajarkan bunda. Juga agar pembicaraan ini cepat berakhir.
Wajah Konselor itu mendadak cerah dengan senyum yang terkembang. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, mengetikkan sesuatu disana. Di detik berikutnya, ponselku ikut berdering.
"Itu nomer teleponku. Kau bisa hubungi sewaktu-waktu bila perlu."
Ini mulai terdengar ganjil. Apakah semua konselor juga seperti dia? Maksudku, bersikap terlalu baik pada orang yang memiliki rekam jejak yang sama dengannya? gelagat rasa tidak nyaman makin berkecambah dalam dadaku.
"Baiklah." Aku beranjak berdiri dari bangku, bersiap untuk pulang. Abai akan pemikiran barusan.
Hari telah menjelang malam. kabut tipis perlahan mengudara dari puncak gunung.
Aku mendengus sebal. Ini buruk, Bunda takkan senang anak gadisnya pulang larut. Pulang malam juga hanya mengantarkanku pada situasi bernama 'keterlambatan makan malam keluarga'. Situasi yang amat menyebalkan. Karena pertama, bunda tak akan suka jika anak gadisnya pulang lebih dari jam 6; kedua, aku jelas-jelas tak mau menghabiskan semangkuk sup ayam hangat dengan omelan panjang.
"Hei, Ra."
Aku menoleh sekali lagi, konselor itu memanggilku.
"Apapun yang telah hilang, memilih untuk mati takkan pernah menyelesaikan masalah, apalagi terus merasa bersalah dan lari dari kenyataannya." Suara berat miliknya kembali terdengar, mata sayunya mencengkramku lekat-lekat.
"Jangan mati, Ra. Tapi jangan pura-pura hidup juga."
Perkataan itu membuatku kembali merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top