Bagian 3
Aku sering kali merasa menjadi sesuatu yang tidak eksis sepenuhnya dalam berbagai momen kehidupan. Rasanya seperti mengambang tidak berarti. Tak benar-benar hidup ataupun ada. Aku merasa hanya menjadi sebongkah noktah sendirian di tengah arus komunitas manusia yang seharusnya tak berada di kota ini. Namun banyak dari sekian orang seolah mengamini pemikiran tersebut.
"Permisi, tolong satu roti melonnya."
Tidak ada balasan. Wanita paruh baya yang menjaga gerai di pinggir jalan itu bergeming, tetap saja sibuk menata jajaran roti yang baru masak dari pemanggang. Sempurna mengabaikanku. Aku menghela napas panjang.
"Anu...permisi?"
Suaraku mengeras, namun dia masih tidak menyadari kehadiran satu-satunya pelanggan yang ia miliki di tengah hujan begini. Ini sungguh merepotkan. Kalau diingat kembali, sudah hampir tiga minggu sebagian penduduk kota bereaksi demikian. Bersikap seolah aku tiada. Mengabaikan setiap kehadiranku. Seolah eksistensi mahluk bernama Ra sudah tidak boleh ada lagi di Kerak Terusi.
Aku hanya lapar.
"Tolong roti melonnya, satu saja!"
Kalau dianggap tiada, mengapa aku tidak langsung mengambilnya saja?
Sebelum jemari ini bertindak lebih jauh, wanita itu akhirnya menoleh kepadaku. Dia memasang ekspresi wajah yang tidak seharusnya ditujukan pada pembeli manapun. Ekspresi terkejut, berganti masam dengan campuran risih. Lantas dengan enggan mengambil bungkus kertas, memasukkan sepotong roti –yang tidak nampak hangat dari etalase ke dalam sana.
Aku menyeringai datar, meletakkan gelang identitas pada sensor digital untuk pembayaran. Kemudian menerima bungkusan itu sebisa mungkin dengan ujung jemari yang gemetaran.
Tidak. Jangan lagi.
Tanpa ragu, aku kemudian nekat menerobos rintik hujan yang belum sepenuhnya sirna demi menyusuri jalanan yang lenggang. Sembari mempercepat langkah, kueratkan syal batik pemberian ayah yang melilit leher. Berharap menghalau rasa dingin walau sebenarnya cukup percuma. Seluruh pakaianku lembab nan basah karena tempias hujan deras. Lengkap dari ujung rambut panjang, jaket hitam hingga rok abu-abu yang kukenakan.
Jika boleh berangan, aku menginginkan segelas susu hangat dicampur madu yang biasa disajikan bunda dengan kue kecil buatannya sekarang. Lantas kami menghabiskan sisa hari dengan menonton serial fantasi dengan celoteh teori dari kakak yang asal bunyi mengenai jalan ceritanya.
"kak Ra sangat mirip dengan tokoh utama serial fantasi ini bukan?" Celoteh adikku di suatu sore, "Gadis remaja berambut hitam panjang dengan kehidupan normal, tapi siapa tahu menyimpan kekuatan misterius di tangannya? Semisal menghilang atau mengeluarkan petir. Lantas bersama teman-teman terbaiknya, menjelajah seluruh gugusan dunia paralel."
Aku tertawa pelan saat mengingatnya, bahwa kakak sepertinya berhasil meracuni pikiran adik kecil kami dengan serial itu –pun juga denganku.
Sebenarnya aku –sebelum tidur sering menginginkan khayalan menjadi gadis dalam serial itu jadi nyata. Tiap kali mataku terpejam, aku membayangkan punya kehidupan yang tidak sekedar terlalu normal, pergi jauh dari kota ini dan bertemu dengan orang-orang baru. kemudian memiliki kekuatan super untuk menyelamatkan dunia? mungkin tak perlu sampai sana. Tapi khayalan itu jauh lebih membuatku hidup dari pada terbelenggu menjadi diriku yang sekarang.
Gadis yang hanya sekedar hidup.
Di detik berikutnya, aku terus terbawa angan bahwa bunda akan kembali mengomel karena pertengkaran konyol kedua saudaraku. Sedangkan ayah? aku meletakkan beliau dengan takzim duduk pada sudut ruangan dengan kajian buku tebalnya. Tersenyum melihat ulah kami bertiga.
Keluarga kami yang hangat dan menyenangkan. Keluarga yang menjadi tempatku untuk selalu pulang.
Anganku terhenti bersamaan dengan kepala yang mulai terasa berat –tak terbiasa hujan-hujanan, karena bunda pasti melarangnya. Suasana langit kota masih muram akan kelabunya awan. Ketika mengadah, terpaan tempias gerimis yang berjumlah ribuan itu langsung menamparku, membuatku menunduk. Sesekali tertangkap lewat gendang telinga, suara gemuruh guntur dari atas sana. Bersamaan dengan deru angin yang berhembus menusuk tulang, memainkan rambut panjangku.
Aku mempercepat langkah, setengah berlari menuju taman sentral. Agenda kelompok dukungan sepertinya akan tetap dimulai.
***
Semua orang dalam lingkaran itu bertepuk tangan pada cowok dengan tindik yang berdiri di tengah lingkaran. Dia baru saja menceritakan kalau dia hampir mati overdosis bulan lalu, kemudian selamat dan memutuskan bertahan hidup.
"Dua bulan silam, aku juga pernah menyilet perutku beberapa kali. Aku hanya merasa tidak berhak untuk hidup saat itu. Kehidupan terasa kacau dan suamiku menceraikanku setelahnya." Seorang wanita berbadan gempal melempar seringai, "Kemudian aku terselamatkan, dan kini tak pernah melakukannya lagi."
Lagi, orang-orang bertepuk tangan dan melempar senyum hangat padanya. Sore ini sehabis hujan, aku harus kali kedua duduk melingkar bersama sekumpulan remaja dan beberapa orang dewasa. Kami diberikan sekotak kue dan air mineral. Lantas mereka bertukar nama dan cerita –alasan berada disini. Kemudian seorang konselor –pria tiga puluhan dengan cambang dari dinas sosial distrik akan memulai petuah bijak yang sama saja sejak minggu lalu. Tentang memaknai hidup dengan cara yang lebih baik.
"Hari akan berlalu dan kenangan buruk mungkin takkan pernah beranjak. Tapi kita selalu punya pilihan untuk mengambil sikap terhadap memori itu," Ujarnya dengan suara yang berkobar, "Membiarkannya terus menyakiti kita atau justru menerima apa adanya."
Kenangan. Memaafkan. Penerimaan. Kata-kata itu seolah melayang keluar dari mulut pria itu berkali-kali. Aku jenuh mendengarnya.
Jika bukan karena atas desakan bunda, ditambah dengan datangnya surat undangan resmi untuk bergabung dengan kelompok ini, aku takkan mau datang. Ini mungkin salah paham, karena aku belum pernah mencoba bunuh diri, mengalami pelecehan, kecanduan obat terlarang atau malah terjerumus pornografi. Aku hanya menghabiskan waktu lebih lama di dalam rumah hingga sesekali menangis sepanjang malam. Juga mungkin memecahkan beberapa barang tanpa sengaja karena rapuhnya jemariku. Bunda mungkin hanya lelah melihat tingkah aneh putrinya. Ayah bahkan pernah berniat membuatku mendatangi psikiater di distrik sebelah, tapi aku terus-menerus menunjukkan sikap manis di hadapannya hingga sepertinya membuat niat tersebut pudar.
"Aku merasa diriku kotor dan tidak berharga sejak kejadian itu. Aku tak berani menyampaikannya pada orang tuaku karena khawatir situasi akan buruk." Seorang gadis sepantaranku terisak sedikit keras saat bercerita, dia kemudian bilang hendak melompat dari jembatan menuju jurang di pinggiran distrik.
Aku mulai mempertanyakan kehadiranku disini. Sebagian diriku mengatakan bahwa aku bukan bagian dari perkumpulan orang-orang menyedihkan yang sedang memamerkan cara mereka hendak mati –untuk kemudian melanjutkan hidup. Aku lebih suka sendiri, tanpa membagikan isi kepalaku pada orang lain. Aku tak seperti mereka. Kami tak sama. Aku...berbeda.
Tapi bisikan di kepalaku justru mengatakan hal yang sebaliknya.
"Ra, sekarang giliranmu." Konselor itu tersenyum dengan tatapan sayu, memecah lamunanku, "Ceritakan kisahmu."
Aku mengigit bibir, merasa mulutku begitu kering. Kemudian berdiri sedikit limbung, menatap wajah semua orang dan mengingatkan diri sendiri bahwa alasanku disini hanya karena orang tua yang terlalu paranoid. Bukan karena bagian dari mereka. Semua orang melihatku, menanti.
"Anu...aku..." Suaraku tercekat di pangkal tenggorokan. Apa yang harus kuceritakan?
"Tidak apa-apa, perlahan saja, Ra." Konselor itu menepuk bahuku, menguatkan.
Baiklah, Perlahan.
"Namaku Ra. Mungkin dari kalian ada yang sudah mengenal, atau pernah melihatku di salah satu sudut Kerak Terusi" Aku mengedarkan pandangan, melihat reaksi mereka, "Aku di sini karena bundaku. Dia terlalu cemas dengan jalan pikiranku dan membuatku bersalah atas hal itu. Padahal aku pun belum pernah menyakiti diri sendiri apalagi berusaha mengakhiri hidup."
Mereka menatap penuh selidik, terutama pada jemariku yang penuh plester. Telingaku menangkap dengung bisik-bisik. Aku buru-buru menyembunyikan jari kebalik saku jaket. Ini perkara yang berbeda dari sengaja menyakiti diri. Retakan ini datang dengan sendirinya, bukan apa yang kuinginkan.
Konselor itu meminta untuk terus melanjutkan.
"Kehidupanku sebenarnya tidak terlalu normal. Orang-orang sering membuatku sendirian dalam keramaian. Sebaliknya, mereka malah menciptakan keramaian di kala aku ingin sendirian. Seolah tiap orang beranggapan walau aku tidak baik-baik saja, kehidupan harus tetap berjalan. Tak ada yang benar-benar peduli."
"Tapi aku masih memiliki keluargaku. Mereka berharga dan kami bahagia. Kami juga sering menghabiskan sisa pekan dengan berpiknik di pinggir danau artifisial seperti kemarin. Aku terkadang berkisah tentang hari-hari yang melelahkan –walau tak semuanya. Setidaknya mereka mau mendengarkan isi kepalaku, menerima apa adanya. Aku...sungguh menyayangi mereka sedikit lebih banyak daripada umumnya."
Tidak ada yang bertepuk tangan, seolah menunggu kelanjutan kalimatku.
"Ini mungkin terdengar aneh, tapi akan kulakukan segalanya agar membuat kami tetap utuh." Aku mengigit bibir, "Mungkin itulah alasanku untuk terus bertahan sampai sekarang. Terima kasih."
Hening sejenak menggelayut di udara. Aku mengedarkan pandangan, menunggu reaksi mereka.
Satu tepuk tangan terdengar, disahut dengan tepukan tangan yang lain. Sebagian dari mereka akhirnya bertepuk tangan padaku dengan malas, juga balas menatap dengan cara yang aneh. Konselor itu entah beraksi apa, namun ia tetap berusaha tersenyum dan mempersilahkanku kembali. Kepalaku mendadak pening ketika duduk. Sakit sekali. Aku butuh obatku segera. Dimana obatku? sepertinya bunda meletakkannya di laci dapur semalam.
Ujung jemariku kembali gemetaran, terasa ngilu. Luka retak itu seolah mencengkram tiap jengkal lapisan dermis kulit sembari seolah berusaha mengulitinya perlahan.
Sial, aku harus pulang sekarang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top