Bagian 16
Tidak banyak orang yang berada di koridor. Namun, cukup bagiku untuk menyadari sorot mata mereka tengah menguliti diri ini yang sedang lewat. Lewat gurat ekspresi, terbaca bahwa para perawat dan petugas keamanan itu tahu apa yang barusan terjadi di taman. Diriku sontak diterpa ketakutan bahwa satu atau dua orang dari mereka akan melempariku, mengataiku lacur atau semacamnya.
Terundung panik, Aku setengah berlari melintasi mereka dengan cara menyedihkan. Kedua kaki yang berulang kali saling sandung sembari lengan kiri bertumpu pada kruk dan telapak tangan kanan yang bersandar ke sepanjang dinding.
Begitu tiba di kamar, aku segera menuju kamar mandi, membuang piyama yang kukenakan ke lantai dan menghidupkan kran wastafel. Sembari berdiri polos hanya dengan dalaman di hadapan cermin, kutampung air dengan setangkup telapak tangan dan membasuhkannya dengan kasar pada wajah, terutama dahi. Sekali. Dua kali. Berkali-kali selama menit-menit berikutnya hingga terhenyak mendapati bercak merah yang tercetak dari balik perban basah pada jemari.
Itu darahku. Retakanku pasti merekah kembali.
Bukankah para dokter selalu bilang untuk tidak kasar saat menggunakan tangan?
Aku menggertakkan gigi, berusaha tidak acuh.
Siram, bilas, lalu gosok. Jangan berhenti. Tidak boleh ada sisa, semuanya harus bersih. Cairan itu masih tertinggal. Liur pria itu kotor. Najis sekali. Rasanya seperti menggeliat-geliat pada dahiku.
Memuakkan.
Bersama gemericik air, ingatanku kembali memutar detik-detik kala bibir Hida menyentuh keningku, lantas terasa meninggalkan seberkas cairan mulutnya di sana. Sekujur punggungku dihinggapi gelayar dingin seketika. Napasku menderu pada tengah kemelut sesak berbalut takut. Jantungku seperti berderap dan seluruh saraf bagaikan meletup-letup bila teringat kembali akan sentuhan tangannya pada kulit ini.
Pokoknya bilas. Bersihkan lagi.
Sialan, aku sudah membilasnya berulang kali, berharap bisa menyingkirkan sensasi jijik yang menghinggapi. Akan tetapi, salivanya bagai tertinggal. Mau berapa kali tercuci dengan air serta sabun, liur Hida seperti sudah meresap ke sebalik pori-pori, mengendap dan menyatu dengan raga ini.
Tidak. Tidak. Tidak. Aku merasa hina. Ini kali pertama pria asing meninggalkan sebuah jejak pada tubuhku. Rasanya seperti dilecehkan.
Tubuhku telah kotor. Nista. Ternodai.
Dasar jalang!
Aku mual, mau muntah demi mendapati sorak penghinaan imajiner barusan. Kupukul-pukul perut, berharap setidaknya asam lambung di dalamnya merayap keluar dari mulut yang menganga lebar. Namun, tidak ada yang tumpah selain suara parau yang disertai batuk, juga dahak keruh nan kental.
"Bangsat!"
Dalam detik-detik setelahnya, dinding kamar mandi berkeramik putih memantulkan rentetan serapah yang kusumpahkan dengan gema lantang. Berikut juga cermin di hadapan yang bergetar dengan noda merah pada sekujur permukaannya – bersebab menjadi objek pelampiasan luapan emosi melalui kepalan tangan. Bersama buaian riuh, aku mengumpatkan tanya mengenai alasan pria itu sampai bertindak kelewat batas.
Kenapa? Kenapa dia harus melakukannya? Kenapa harus dengan cara seperti itu?
Sebagai balasan, suara dari kepalaku kembali memperdengarkan pembenaran.
Dia menyukaimu, suara itu terkekeh, kecupan itu ialah bukti cintanya.
Jika memang benar suka, bukan berarti dia berhak berbuat seenaknya terhadapku.
Si konselor itu enggan berpisah, makanya dia berusaha meninggalkan 'sesuatu' pada tubuh ini agar kau juga tidak lupa akan dirinya.
Kepalaku menggeleng keras-keras. Itu mustahil.
Dia pasti kembali mendapati kenangan pahitnya melalui dirimu. Wajahmu, tubuhmu, eksistensimu serupa dengan sosok yang pernah mencampakkannya. Kini, dia berpikir untuk menebus semuanya.
"Apa maksudmu?" desisku.
Apa lagi? Tentu saja menjadikanmu pelampiasan.
Tubuhku sontak bergidik.
Hubungannya pernah kandas sebelumnya. Sekarang, kau dianggap kesempatan kedua pria itu untuk memperbaiki kesalahan. Kau pikir mudah baginya untuk melepaskanmu?
Bukan salahku juga bila diriku membuatnya teringat pada wanita yang ia dulu cintai.
Suara imajiner itu semakin jumawa, Itu tidak mengubah fakta betapa Hida memperlakukanmu istimewa ketimbang orang-orang di kelompok dukungan, kan?
Hentikan.
Dia tidak pernah melihatmu sebagai Ra – si gadis terkutuk seperti yang para khalayak laknatkan. Semua kebaikannya padamu bukan karena tanggung jawabnya sebagai sukarelawan atau simpati kemanusiaan. Kau hanya sebatas objek obsesi pria sok suci yang kesepian.
Kumohon, hentikan.
Dasar, gadis murahan. Dicintai hanya sebagai boneka pelarian.
Aku mengeratkan jemari, lantas memukuli pelipis agar suara itu berhenti menganggu.
Seleranya sungguh buruk sampai harus mengejar seorang penyakitan sepertimu.
"Diam!" jeritku, bersamaan dengan padamnya suara itu.
Aku tersengal bersama pandangan yang mengabur. Tubuhku yang bermandikan peluh perlahan limbung dengan kaki yang lemas. Jemari yang terbungkus perban acak-acakan mencengkram pinggiran watafel dengan erat, berharap agar tidak pingsan. Sekujur badan ini mendadak terasa panas. Ada semacam gelayar yang meletup-letup di pori-pori, mirip petasan.
Kepalaku lantas terserang pusing disertai denging pada gendang telinga. Mulutku membuncahkan ringis menahan nyeri. Di ujung tanya, kupikir tubuh ini tengah bereaksi karena sesuatu.
Tidak, bukan gejala retakan. Melainkan situasi. Rasanya momen ini pernah terjadi dalam pendaman kenangan. Sensasi ini tidak asing. Perasaan jijik, mual dan terlecehkan mulai terasa familier. Memori pada sekujur kulitku seperti terpicu kembali karena mengenalinya, sedangkan ingatan dalam kepala justru gagal untuk diulik lagi. Semuanya terasa kabur.
Aku mungkin pernah mengalami situasi ini sebelumnya.
Apa saja yang sudah terjadi pada tubuhku?
Terlalu bersikeras untuk mengingat berimbas pada hidungku yang mendadak terasa perih. Seberkas cairan mengalir dari salah satu lubangnya, mengalir turun melalui guratan wajah dan menetes dalam wujud noda merah pada wastafel.
Lagi-lagi mimisan. Aku mendengus, yakin akan segera mengidap anemia setelah ini.
Setelah mengelapnya, kucoba untuk bernapas dengan lebih baik. Tarik napas, lalu embuskan. Tarik, tahan dan lepaskan perlahan. Meski sempat kesulitan menata udara yang masuk ke paru-paru, akhirnya aku ingat cara berespirasi dengan benar. Gemuruh dalam dada perlahan menyurut, berikut juga denyut nyeri pada pelipis berangsur pudar.
"Aku baik-baik saja. Aku akan melupakannya." Sebisik afirmasi kudengungkan.
Untuk sejenak, aku akhirnya mendapatkan kembali kontrol atas diriku.
Setelah sekian menit terkungkung senyap, aku merasa ada mata yang sedang menatap balik dari arah pantulan kaca. Kepalaku terangkat, sembari mencondongkan badan ke depan demi memastikannya.
Aku melihat wajah asing tengah menyeringai lebar pada cermin.
Teriakan panik buncah dari bibirku. Tubuh ini terhuyung mundur sampai roboh menimpa ubin. Namun, pandanganku berusaha mengejar sosok asing pada cermin demi kewaspadaan.
Benar saja, sang pemilik wajah masih di sana, tidak bergerak selain menatapku sembari menggariskan selintang senyum pada mulutnya. Dia nampak ringkih, juga kurus hingga belahan rusuknya tercetak jelas. Surai sehitam jelaganya masai, acak-acakan. Bibirnya kering dan giginya sedikit menguning.
Pandangan kami bertemu, saling bersitatap. Aku menemukan kedua netranya beriris warna hijau. Terlihat kelam, berisikan kekosongan, dan merefleksikan kehancuran.
Juga keengganan menerima diri.
Tunggu, bukankah itu mataku sendiri?
Tidak, apakah itu ... aku?
Kupijit mata berulang kali, memastikan diri tidak sedang diperdaya oleh delusi. Walau sempat gagal mengenalinya, aku separuh yakin bahwa pemilik refleksi itu adalah diriku. Aku yang berada di cermin sungguh terlihat nyata, utuh, dan sedikit berbeda. Sorot mata, gurat ekspresi dan caranya tersenyum sama sekali tidak mencerminkan diriku.
Eksistensi kami seperti terpisah, berbagi kesadaran sendiri-sendiri. Dia terlihat seperti Ra yang berbeda dari Ra milikku....
Oh astaga, aku nyaris tersedak menahan tawa. Tidak, aku sungguhan tertawa keras. Menertawakan betapa lambatnya otakku sampai terlambat sadar.
Aku pasti hanya sedang tidak waras – lagi.
"Hei, mau dengar sebuah cerita?"
Tawaku sempurna padam.
"Baiklah, kau akan suka fabel domba dan serigala." Serunya.
Tidak, sekarang apa? Waham liar apa lagi yang mau otakku tunjukkan?
"Suatu hari, seekor serigala meminta domba untuk berkisah. Tanpa pikir panjang, si domba menuturkan hikayat seorang putri kesepian di tengah belantara."
Tanpa persetujuanku, sosok Ra yang lain mulai berceloteh dengan nada yang dramatis selayaknya pertunjukan opera. Suaranya terdengar serak dan mengambang. Tubuhnya sedikit menjauh dari kaca dengan tangan yang bergerak secara ekspresif. Aku mengigit bibir, bangkit dari lantai dan merapatkan tubuh yang gentar ke dinding.
"Serigala menanyakan perihal nasib sang putri. Lantas, domba bilang 'Putri itu memiliki segalanya. Kekayaan, pengetahuan, cinta dan kecantikan. Semuanya baik-baik saja sampai dia tertuduh melakukan dosa permulaan. Akar muasal kebengisan manusia di bumi. Oleh karenanya, orang-orang menghukumnya lewat pengucilan."
"Si serigala menyayangkan nasib sang putri dan bertanya, 'tidakkah dia berusaha membuktikan ketidakbersalahannya agar tak sendirian lagi?'. Namun, si domba hanya tertawa sambil mengatakan bahwa gadis itu punya solusi yang cemerlang."
Sosok di balik cermin itu terkikik, melayangkan tatapan tajam ke arahku, "Kau tahu apa yang dia lakukan?"
Bodohnya, aku balas menanggapi dengan gelengan.
Senyum aku yang lain memudar, bergantikan cemberut masam. Meski kuartikan sikapnya sebagai bentuk kekecewaan atas jawabanku, dia tetap melanjutkan cerita.
"Pada suatu malam, sang putri mengambil sebilah kapak besar. Di bawah rembulan, kapak itu diacungkannya tinggi-tinggi dengan tekad yang bulat. Bersiap untuk keputusan penghabisan, " aku yang lain tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, "Lantas, CRAK! kapak itu menebas kulitnya hingga tubuh itu terpotong menjadi dua. Tepat pada bagian tengah hingga masing-masing potongan menyisakan separuh badan. Kanan dan kiri."
Dahiku berkerut, tidak paham maksud cerita ini.
"Sejak saat itu, sang putri akhirnya punya teman dan bahagia selamanya!" Sosok aku berseru riang, mengangkat tangannya tinggi-tinggi, seolah hendak memamerkan sorak gembira pada wajahnya terhadap akhir kisah. Akan tetapi, diriku justru hanya bisa terperajat demi menyadari wajah sosok itu telah berganti rupa.
Dia kini mengenakan topeng burung.
Topeng burung berparuh panjang yang sama persis dikenakan oleh sosok pemuda yang selama ini menemuiku. Berwarna putih, bertekstur halus dan terdapat dua lubang besar pada bagian matanya. Hanya saja tanpa setelan rapi dan topi tinggi, selain nyaris tanpa busana dengan wajah berbalut topeng aneh.
Pada momen ini, tidak ada yang bisa kupikirkan selain, kenapa aku yang memakai topeng burung?
Sadar akan kegamanganku, sosok Ra dengan topeng itu mengetuk cermin dari dalam, "Lihat, kami sangat cocok menggunakan topeng ini, bukan?"
"Kami?" tanyaku balik.
Sosok itu terpingkal, mengolokku, "Dasar, tiruan! Andai dirimu adalah yang asli, dia pasti ingat semua perjanjiannya seperti kami. Tentang relik suci. Juru selamat. Eksodus. Juga pemberkatan putra-putri langit."
Aku menggeleng, "Apa maksudmu? Kau ini sebenarnya apa?"
"Kau penasaran?" sosok itu melambaikan tangannya, "kalau begitu, kemarilah!"
Aku menelan ludah, berhitung dengan situasi. Dia ada di dalam cermin, mustahil baginya menyakitiku. Dia juga tidak nyata, hanya bagian dari halusinasi semata.
Berbekal ragu, aku memberanikan diri untuk menapaki lantai menuju cermin. Dari dalam, sosok Ra yang lain menempelkan seluruh telapak tangan ke permukaan kaca, menyambutku. Begitu jarak kami cukup dekat, aku mengangkat tangan dan balas menempelkan tanganku tepat di atas pantulan tangan miliknya.
Mulanya aku hanya merasakan permukaan kaca yang dingin. Namun, perlahan beberapa titik hangat mulai terasa dan aku sadar bahwa jemari kami telah saling bersentuhan. Kulitnya terasa lembab, sekaligus lembut. Untuk sejenak, aku mulai berpikir kalau dia benar-benar nyata.
"Aku hanya seorang martir penghukum. Tumbal era baru. Selayaknya pemuda yang selalu kau lihat." Bisiknya.
Aku balas menatapnya, kebingungan. Namun belum sempat mulut ini membalas, sebuah sentakan keras menarik tubuhku hingga menghantam pinggiran wastafel. Mulutku mengerang demi mendapati nyeri yang menguar dari rusuk kanan. Mataku terangkat, menyaksikan bahwa tangan milik aku yang lain – entah bagaimana berhasil keluar dari kaca dan mencengkram kasar pergelanganku.
"Sedangkan dirimu seharusnya hanya anomali penganggu! Variabel rusak yang tidak semestinya eksis!" Sosok Ra itu tetiba menempelkan wajah bertopengnya pada permukaan cermin, seolah memelototiku, "Kembalikan dia yang sudah kau hapus di masa lalu!"
Kepanikan segera menyergapku. Aku berteriak, berusaha berontak.
"KEMBALIKAN! AYO KEMBALIKAN!" dia berteriak, menggedor-gedor kaca. Bagai ingin menerobos kaca seutuhnya.
Kala pekikanku kian membahana, seketika pergelangan tanganku dilepasnya. Tak butuh waktu lama hingga tubuhku jatuh terpelanting ke belakang, menghantam dinding. Bersama dengan mendadak rubuhnya cermin di hadapanku hingga membuatnya pecah berhamburan pada ubin.
Yang bisa kulakukan setelahnya hanyalah meringkuk gemetaran dalam senyap. Bersama ribuan keping kaca yang sebagian darinya menggores kulit ragaku. Terpenjara oleh ketakutan dan kebingungan.
"Lari dan sembunyilahlah sejauh yang kau bisa. Akan tetapi, Kau takkan bisa kabur dari dosa-dosamu. Aku akan senantiasa berada di sini..."
Telingaku menangkap derap riuh langkah para perawat yang mendobrak masuk ke dalam kamar.
"...jauh di dalam kepalamu."
Pintu kamar mandi terbuka. Aku mendengar orang-orang itu berteriak panik, segera mengambil tindakan. Dengan pandangan yang memburam karena embun di pelupuk, mataku mengintip telapak tanganku. Tidak ada sedikitpun bercak darah dari retakan pada perbanku, kecuali bekas cengkraman tangan yang memerah pada pergelangan.
Aku menyeringai lebar, lantas tertawa keras sampai bahuku terguncang. Para perawat yang memapahku tidak merespon, seperti mengaminkan apa yang terjadi padaku.
Hari baru, delusi baru, dan munculnya orang-orangan aneh yang baru.
Benar juga, semua pasti karena isolasi sialan kemarin. Semakin lama aku mendiami fasilitas kesehatan ini ataupun Kerak terusi, aku hanya akan semakin sinting. Aku mesti segera pergi. Cuma butuh sekian puluh jam lagi sebelum pemberangkatan.
Sampai lusa tiba, aku harus tetap waras.
***
Catatan :
Karena segala persiapan telah matang, perjalanan Ra akan memulai babak baru di bab berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top