Bagian 15
Dengan sekali sentakan, sepotong lapisan ari yang tipis berwarna pucat kekuningan telah bertengger lemah pada ujung jemari telunjuk. Bersama dengan seberkas liur kemerahan. Aku menyeringai, berusaha mengekspresikan sensasi ganjil yang sulit terdefinisi. Terdapat kepuasan yang berbayang takut setelah mengelupasinya.
Pada detik berikutnya, letupan sensasi perih menguar dari kulit bibirku yang baru saja dicerabut paksa. Seberkas luka berbentuk kawah kecil mungkin tercetak pada permukaannya. Segera kuminta lidah untuk membasahi lukanya dengan saliva agar sakit ini berkurang. Namun, malah kudapati rekahan kering pada permukaan bibir lain yang memohon supaya dikoyak pula.
"Jangan dikelupas, Ra!"
Aneh. Aku merasa tindakan ini salah, tapi dorongan penasaran untuk mencapai ekstase rasa serupa sebelumnya kian tak terbendung.
Aku ingin melakukannya lagi.
Jemariku yang terbungkus perban menyentuh rekahan kulit kering yang tengah mencuat pada bibir bawah. Ujung ibu jari dan telunjukku saling temu demi segera mencatutnya, lantas perlahan lapisan tipis itu mulai terceraikan dari akarnya. Perih seketika menyergap begitu tarikan itu malah tertahan dan menyakiti lapisan kulit lain hingga tertoreh sobekan panjang yang menganga. Aku mengerang panik sampai membuat kruk lengan oleng. Seberkas darah mengalir darinya, memasuki rongga mulut dan tercecap pada ujung lidahku.
Rasanya masam bercampur manis.
Ringisan pelan segera tumpah dari mulut ketika perih kembali mendera. Sisa cuilan kulit itu masih bergelantungan, enggan melepaskan diri.
"Hei, berhenti atau rona merah pada bibirmu semakin rusak!" genggaman itu merenggut tanganku dengan kasar hingga memaksa kepala ini terdongak, balas menatap, "Apalah arti seorang gadis kalau ia kehilangan pesona bibirnya?"
Ah, rupanya ada Hida di hadapanku.
Lama tiada berjumpa, pria itu terlihat makin menyedihkan dari dekat. Semirip anjing liar yang melangutkan kasih di tengah lara. Mulutnya mengatup, tapi kutebak ia tengah mengigit bagian dalam mulutnya. Matanya sedikit bengak dengan kerjapan aneh dan setiap kerjap diselingi kilau basah yang tertimpa pijar lampu. Seolah ada badai yang belum kunjung reda mengguncang bagian dalam kepalanya, sedangkan ia bersikeras itu bukanlah masalah.
"Seharusnya para perawat tidak membiarkanmu berkeliaran sendirian," gerutunya sambil menuntunku paksa agar menjauhi koridor menuju arah taman, "Kalau orang-orang itu sungguhan peduli dengan pemulihanmu sebelum pengiriman besok, kau semestinya diperlakukan lebih baik."
Apa yang bisa diharapkan dari mayat berjalan seperti mereka?
"Dimana kerabatmu?"
Aku lupa. Mungkin mereka juga.
"Tidakkah mereka menjengukmu sebelum pergi?"
"Berisik," bisikku kesal.
Langkah Hida memelan, sengaja menyejajariku yang masih kepayahan dalam berjalan. Aku yakin dia pasti mendengar keluhan barusan, tetapi memilih abai. Tangannya yang semula hanya memegang pergelangan, sekarang seluruhnya menggenggam telapak tanganku dengan erat. Walau risih, kelegaanku terbit demi mendapati mulutnya tidak menuturkan apa-apa selain kebisuan.
Begitu kaki menginjak teras bangunan, hal pertama yang kulakukan adalah berteriak.
Bungkam seketika buyar saat sinar tipis mentari begitu kasar menampar wajahku. Mulut ini menjeritkan pekik pelan, tubuh seketika terhuyung mundur dengan mata terpejam. Hida panik memapah tubuhku sembari menanyakan perihalnya.
Gelengan balas menjawab. Aku merasa pening, terkejut melihat betapa gebyarnya pemandangan, terutama langit pagi.
Berapa lama aku tidak keluar? Seminggu? Beberapa pekan?
Entahlah.
Semestinya aku merindukan langit sampai nyaris lupa cara melukiskan wujudnya dalam benak. Mungkin dia seharusnya masih berwarna biru, jingga, atau mungkin ungu, tetapi lebih sering kelabu. Selama terisolasi, aku berusaha menangkap warna-warna yang kuingat agar mereka tidak hilang dari ingatan. Namun, warna putih yang justru mendominasi tiap jengkal ruangan berusaha melakukan sebaliknya. Dinding, dipan, piring, makanan, selimut, sinar lampu, peralatan medis, sampai sekelompok petugas berpakaian hazmat dengan warna senada terus menjajaki penglihatanku saban saat. Mereka terlihat sengaja bersekongkol supaya puluhan warna di kepalaku tergerus tanpa bekas.
Dan itu berhasil.
Kosong yang tercipta dari putih itu bahkan ratusan kali menyeretku pada kehampaan. Serpihan memori tentang paduan warna di luar sana perlahan pudar sampai pada titik dimana aku membenak bahwa pelangi mungkin berwarna hitam dan putih. Lantas tiba saatnya warna-warna itu kembali menyeruak, netraku tidak siap. Segalanya yang berada di luar ruangan nampak mengancam.
Selayaknya saat kini mataku menatap langit pucat keperakan bersama kelumit tipis awan kelabu. Langit itu seperti menggeram murka, siap runtuh guna menerkam kapan saja. Karena gelisah, arah pandangku segera turun menimpa jemari yang saling genggam di atas paha. Namun, suara di kepala malah memberikan terkaan bahwa diriku takkan bertahan lebih dari lima menit.
Kandangmu lebih nyaman ketimbang di luar, kan?
"Kau tidak terlihat baik."
Daguku terangkat, tercenung mendapati Hida sedang menyodorkan segelas teh panas. Pias pada wajahnya belum padam, tetapi terdapat segurat senyum lega padanya. Perlahan kujelingkan pandangan pada sekitaran, tersadar bahwa kami tengah menduduki bangku pada sepetak taman sepi. Terdapat pohon-pohon tinggi beranting botak, serasi bersama belukar hijau yang terpangkas rapi dan ceceran bebatuan koral.
"Beberapa pekan lalu, protokoler keamanan melarangku berkunjung kemari tanpa rasionalisasi. Aku khawatir, jejakmu seperti sengaja dihilangkan sampai terbetik kabar pemindahanmu ke pusat."
Tunggu, sejak kapan kami berada di sini?
"Sebenarnya apa yang sudah mereka lakukan?"
Aku kembali merasa melompati beberapa momen, tetapi tidak berhasil diingat.
"Ra!" Hida melantangkan suara sembari mengetuk meja kayu yang membatasi kami. Sontak aku terperajat, mendapati sorot mata itu menuntutku agar tertuju padanya, "Kau ini kenapa?"
Aku? Tidak banyak yang terjadi padaku.
Jika Hida mirip anjing liar kedinginan, maka kuumpamakan diri ini selayaknya anjing peliharaan sekarat yang tersuntik vaksin rabies.
Menarik linimasa mundur, ingatanku mengarah pada momen kala diri ini meringkuk takut setelah terperangkap mimpi buruk malam itu. Dari sebalik pintu yang mendadak terbuka, sekumpulan dokter bersama petugas berseragam memasuki kamar. Mereka menyibak paksa selimut yang membungkus tubuhku dan menjalankan prosedur standar sebelum menyampaikan alasan kedatangan.
"Kau akan dikirim ke Ibukota, nak. Dua puluh dua hari lagi."
Salah seorang dari mereka kemudian menjelaskan hasil putusan pemerintah Kapital Barat. Dimulai dari pertimbangan akan eskalasi persebaran kasus retakan, histeria massal, dan ditemukannya penyintas dari distrik-distrik lain. Juga tentang hipotesa tentang benda asing yang mungkin saja menggerogoti tubuh ini.
Apa yang kumengerti hanyalah keadaan memburuk.
Lantas tersebutlah pernyataan otoritatif dengan terbentuknya gugus darurat penanganan khusus terhadap anomali berskala luas ini, beserta penerapan karantina terpusat pada fasilitas bernama serupa dengan penuturan si manusia burung sebelumnya.
Sanatorium.
Peperangan segera meletus dalam kepalaku. Sebisik suara menyerukan kepuasan bahwa diriku akan bebas meski tidak sesuai apa yang terbayang. Dalam imajinasi, aku menduga si manusia burung akan datang dan menembaki semua petugas, lantas kami akan kabur sebagai buronan pemerintah seperti di film-film aksi.
Namun, bisikan suara lain justru memperingatkanku akan kebetulan yang janggal ini lewat serangkaian pertanyaan. Tentang siapa identitas di balik topeng berparuh panjang itu, juga sejauh mana ia terlibat.
"Ra?"
Suara jentikan jemari memecah lamunan. Berulang kali mataku mengerjap, sadar akan tatapan keheranan dari Hida. Linglung berubah canggung kala diri ini terkesiap bahwa belum ada satupun kata yang kugumamkan sedari tadi.
Terdengar semburan olokan dari dalam kepalaku.
"Aku bertemu psikiater," Ujarku –sebelum Hida kembali mengoceh, sembari menerjunkan tatapan pada teh dalam gelas plastik, "Dia bilang isi kepalaku sinting, jadi aku diberi obat-obatan..."
Juga suntikan.
Para dokter menginginkanku dalam kondisi sedikit normal, jadi mereka menyekatku dalam ruang isolasi, mendatangkan seseorang untuk berceramah, juga menginjeksikan beragam dosis cairan yang tak kukenali. Mungkin saja itu vitamin, antipsikotik atau sejenis sedatif.
Tahuku hanya sebatas pandangan yang seringkali memburam setelahnya. Tersusul dengan tubuh bagai melayang, mengigil bersama dentum pada seisi kepala. Kupikir diri ini ibarat gelas retak yang dipaksa menampung beragam cairan. Hanya soal waktu akan tumpah. Berceceran.
Namun begitu terbebas dari isolasi, aku masih tidak mendapati diriku layak disebut normal. Bukannya semakin tenang, isi kepalaku semakin tak karuan dan bertindak semaunya.
Bahkan, aku bisa melupakan banyak hal dalam sehari. Aku sering lupa bagaimana bisa berada di dalam toilet, menyendok makanan atau justru berakhir dengan mengigit lengan sendiri. Otakku seperti terlalu sibuk sampai kehilangan sebagian besar kontrol atas tubuh ini. Seolah keduanya telah terbelah dan bukan lagi satu kesatuan.
"... Supaya berhenti melihat yang tidak semestinya terlihat dan mengatakan bahwa yang bisa kulakukan sekarang hanyalah terus melangkah."
Aku merasa tidak mengenali diri ini lagi. Aku terisolir sebagai diriku, kemudian keluar sebagai mahluk yang berbeda. Asing.
Atau memang beginilah aku sedari awal.
"Psikiatermu benar, sudah seharusnya kau berdamai dengan keadaan," Hida menghela napas berat, "Jika kau terus kabur menghindarinya, selamanya pelarianmu takkan berujung. Jiwamu tak kunjung tenang, terbelenggu oleh was-was bilamana trauma itu kembali merisak."
Dilemanya ialah aku sendiri merasa terjebak dalam kerancuan nalar.
"Meski tidak ingin, kau tak bisa memaksa bayang-bayang keluargamu agar selalu muncul dan mendelusikannya seolah nyata. Yang berada disini itu kau, bukan mereka. Berhentilah membohongi diri sendiri."
Aku tidak berbohong bahwa diri ini juga ingin berhenti bersebab lelah. Akan tetapi, aku tidak benar-benar yakin ingin usai menemukan sosok ayah, ibu, Kak Pasha dan Sele yang kadang menampakkan diri pada sudut ruangan. Sebab alih-alih menganggu, hadir mereka hanya serupa menyapa, berkabar atau mengucap selamat tidur.
"Jika kau mau mengabaikan halusinasi itu dan terus melanjutkan hidup, sosok-sosok imajiner itu akan pindah kemari, dalam dada."
Dadaku sejenak dipenuhi kehangatan berkatnya hingga kenyataan melumat bahagia semu itu tanpa belas kasih kala mata ini terbuka.
"Juga di sini." Jemari telunjuk yang dingin menempel pada dahiku.
Wajahku mendongak, menantang Hida. Mata kami saling mengunci kala bersitatap.
"Kamu mendengarkanku, Ra?"
Aku mengangguk.
"Tahu kalimat ayahku soal kejujuran? Jujur diperoleh dari mata. Sedangkan barusan kulihat matamu itu..."
Berbohong?
"... Kosong."
Sial, tubuh ini merosot hingga nyaris duduk dengan pinggang.
Pasca jeda canggung, Hida segera mengalihkan topik dengan tatapan jengah, "Secara teknis, Kau akan diasingkan. Namun, raut antusias ada pada wajahmu."
Bibirku ingin menyuarakan gelak. Menjauh dari kota ini memang keinginanku.
"Itukah yang kau pikirkan? Mengira bahwa pergi sejauh mungkin akan menyelesaikan masalah? Juga luka-lukamu akan dipulihkan berkat lingkungan baru?"
Iya.
"Ingin kau salahkan kota ini hanya karena kehidupan menjahatimu?"
"Hidup memang jahat." Selaku pelan.
Hida menepuk dahi, "Sejak kapan kehidupan menjelma jadi mahluk yang melakukan sesuatu? Kita yang hidup. Mungkin kitalah yang salah, membuat keputusan yang salah atau memberi tafsir yang salah atas hidup."
"Menurutmu keputusanku salah?"
"Keputusan tidak harus diberi label salah atau benar, Ra. Kita hanya membuat pilihan yang diyakini paling baik berdasarkan fakta sekarang. Hanya karena menemukan penyesalan setelahnya, bukan berarti pilihan tersebut salah."
Aku berdecak sebal, "Jadi, kau mau protes?"
"Aku tidak berniat menghalangi kepergianmu. Lagipula ini keputusan resmi," Pria itu menatapku lekat-lekat, "Yang mau kukatakan ialah jaminan menjadi pulih bukan tentang harus dimana kau berada. Namun, justru dengan siapa dan bagaimana kau menjalani kehidupan pasca trauma."
Aku menghela napas, jadi seharusnya aku bersamamu saja?
"Pernah merenungkannya?" Jemari pria itu mengetuk meja, "Tentang bagaimana menghidupi kehidupanmu nantin?"
Gelengan bersambut. Aku tidak benar-benar memikirkannya, kecuali apa yang diinginkan orang-orang di sekitarku.
"Kalau begitu, coba mulailah dari sesuatu yang kau inginkan."
Aku ingin mati.
Mati bukan keinginan, tapi kepastian, bodoh! Suara di kepalaku ikut menyahut.
Berisik.
"Tidak apa-apa, katakan saja." Tetiba Hida sudah berada di sampingku, mengusap puncak kepalaku, menguatkan. "Atau, setidaknya, anggap saja kau tengah mengatakannya teruntuk dirimu sendiri."
Aku memikirkan tentang hidupku, tentang ingatan lampau yang samar dan masa kini yang kehilangan binar. Orang-orang disekitarku pasti berpikir bahwa diri ini manusia cacat. Rusak. Eksitensiku hanya sebatas anomali dan partisipasiku dalam hidup hanya sebatas stagnasi yang menanti diakhiri. Dengan keadaan seperti ini, kenapa aku masih harus menginginkan sesuatu?
"Jujurlah pada hatimu sendiri, Ra." Bisik Hida sekali lagi.
Ayo, bilang saja! Desak dari suara di kepala hingga memantik kekesalan dalam dadaku.
Berulang kali bimbang sembari meremas kedua paha, aku pun mengalah sambil menyeringai lemah, "Bagaimana jika keinginanku adalah lepas dari segala hal buruk yang terjadi? bagaimana kalau yang kuinginkan hanyalah melupakan segalanya dan kembali memulai hidup dari awal?"
"Itu bagus."
"Tapi tidakkah itu mustahil agar terwujud?"
"Bagaimana kau yakin?" dia membalikkan tanya.
Bukankah pada akhirnya tak ada kepastian atas harapan tersebut? Lantas, buat apa harap itu dihadirkan jika pada akhirnya bersua dengan kecewa?
"Jejak-jejak masa lalu, dosa-dosa dan trauma itu. Aku tak bisa menghapusnya," Desisku pelan, bersama setitik embun yang melebur di sudut mata, "Aku akan terpasung pada kubangan ini selamanya dan tak bisa berhenti untuk menjejakkan langkah meskipun enggan."
Hida mungkin benar. Sejauh apapun diri ini pergi dari Kerak Terusi, bila belenggu memoar buruk masih mengendap dalam kepala, tidak mungkin segalanya membaik. Aku barangkali akan tetap begini, membusuk dalam sepetak dunia senyap milikku sendiri.
"Kalian benar-benar mirip."
Seberkas tawa pelan sampai pada telinga. Aku terheran menatap Hida yang malah berusaha menahan ringis getir yang tumpah dari mulutnya. Bekas muram pada raut wajah itu perlahan mengendur, bergantikan kelegaan yang tak bisa dimengerti.
"Kau sungguh mengingatkanku dengan istriku dulu, Ra." Hida tersenyum sembari melayangkan tatapan ganjil, "Dulu aku hanya melihat sebagian dirinya ada padamu. Namun sekarang, kudapati dirinya mewujud seutuhnya di sini."
Aku mengigit bibir, bingung harus menanggapinya.
"Rupa kalian pun tak jauh berbeda. Dia memiliki rambut panjang dengan wajah sedikit pucat. Juga sama-sama keras kepala, menyebalkan, tetapi begitu rapuh dalam kesenduan sepertimu. Kalimat barusan benar-benar senada dengan ucapannya sebelum kami berpisah, tentang bekas dosa yang tak bisa ditinggalkan."
Hida melambungkan pandangan pada rerantingan pepohonan, kilau manik matanya memancarkan sorot penyesalan, "Andaikan kami tidak terlalu muda untuk menikah, barangkali semuanya akan baik-baik saja sekarang..."
Aku membuang muka, "Kamu tidak perlu menceritakannya. Itu urusanmu."
"Aku akan merindukanmu, Ra."
Berangkat dari keterkejutan, Kepalaku mendongak ke samping, menatap Hida. Pria itu ikut menatapku. Sedangkan suara di kepalaku masih bergumul dan menggumpal, "Kenapa?"
Hida tergelak, "Karena walau kita belum lama bersama, tidak akan ada seorang pun yang sepertimu lagi."
Omong kosong, akan ada banyak penggantiku di kota sialan ini.
Pria yang kukenal sebagai konselor itu menarik tanganku. Tarikan tersebut membuat tubuh ini tak seimbang sehingga wajahku menghantam dadanya. Samar-samar, aku bisa mendengar detak jantung, juga dadanya yang baik turun ketika bernapas. Pada momen berikutnya, kedua lengan Hida melingkar padaku. Ia memelukku, erat sekali.
"Tentang kejadian itu, kau tidak perlu merasa bersalah sampai harus merusak diri atas kematian orang tua dan kedua saudaramu. Semuanya terjadi di luar kuasamu." Ucapnya berbisik, "Kau terlalu berharga untuk terluka, jadi berhentilah merasa terbuang atau ditinggalkan."
Tubuhku membeku, sulit memberontak.
Lepaskan aku.
"Jangan menghindar lagi, Ra. Semakin kau berlari menjauh, segalanya akan rumit untuk dipahami. Kenali, dekati, rasakan, maka kau akan temukan sebuah jawaban atau paling tidak kelapangan."
Jemari Hida lembut menyibak anak rambutku yang berantakan. Kepalanya condong ke depan dan mendaratkan ciuman pada dahiku.
"Hiduplah sebagaimana kau ingin hidup. Percayakan pada diri dan mampumu, karena yang kau butuhkan terdapat di dalamnya."
Sembari merengkuh diam, aku menatap kepulangan Hida dengan kepala hingga kaki yang gemetaran.
***
Catatan :
Bab ini sengaja diunggah ulang bersebab adanya perbaikan terkait beberapa poin di dalam cerita kedepannya. Mohon maaf atas ketidaknyamanan tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top