Bagian 14
Bau darah berhasil mengusikku.
Baunya yang anyir dan pekat tidak hanya menggelitik hidung, namun seolah ikut menempel pada sekujur tubuh. Dia tetap tidak mau menghilang meski aku berusaha mengenyahkannya dari balik mata yang masih terpejam. Kepalaku membayangkan bahwa bau itu telah menjelma menjadi sosok aneh yang mengitari ranjang hanya untuk mengatakan bahwa dirinya bukanlah bagian dari mimpi.
Bangun!
Pergilah. Aku masih mau tidur.
Bangun, bodoh!
Sebuah tangan seketika berusaha mencekik leherku di momen berikutnya. Aku sontak berteriak dan menggelepar untuk kembali pada kesadaran. Namun, tiba-tiba tangan itu malah menghilang ketika aku masih berhasil membuka mata. Dengan napas menderu, kusibak rambut yang menutupi wajah sembari bangkit dari posisi rebah. Mataku berlarian mencari sang pemilik tangan yang berusaha memutus napasku.
Tapi dinding-dinding putih yang kutelusuri hanya menyajikan kekosongan dalam remang. Tidak ada sosok yang berdiri di salah satu sudut atau panik berusaha kabur melalui pintu. Hanya ada aku dengan suara statis dari monitor hemodinamik.
Sendirian.
Perasaan gelisah buncah dengan menyebalkan di dada. Melalui bibir, aku mencoba menghibur diri bahwa barusan hanya mimpi buruk. Tidak apa, aku hanya paranoid. Mungkin ini hanya perasaanku saja. Tidak ada orang yang berniat menyakitiku.
Aku terus saja menggumamkan kata itu sampai kulitku terjingkat mendapati cairan dingin yang merembes dari balik piyama tipis. Tanpa butuh waktu lama, aku seketika terperajat demi menyadari selimut yang membungkus tubuh telah basah dan mengeluarkan aroma anyir.
Tumpahan darah dalam jumlah tak sedikit telah berceceran di sana.
Aku berteriak tertahan sembari menyibak kain tebal berwarna putih itu dan melemparnya jauh-jauh. Lantas segera merapat pada tepian ranjang dekat dinding. Bintik-bintik kehitaman mulai bermunculan pada penglihatanku seiring debar jantungku yang kian tak tentu.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Jawaban yang kuharapkan datang saat setetes benda merah kental itu Kembali berguguran di atas paha. kesadaran baru menghantamku pada detik selanjutnya. Kudapati muasal darah itu muncul dengan cara yang membuatku makin dirisak oleh ketakutan.
Retakan di tiap ruas jari terlihat merekah, menunjukkan serat daging kemerahan yang berada dibaliknya. Aku menyaksikan sendiri bagaimana darahku merembes keluar dari celah kulit, membentuk anak sungai pada pergelangan, lantas meluncur turun menuju siku. Tapi imajinasiku tak mau berhenti. Aku melihat darah itu kembali menjelma menjadi sosok aneh dan berbicara padaku. Dia bilang retakan itu akan terus menggerogoti tubuh ini dan hanya akan berakhir bila kedua lenganku digergaji.
Dia benar, Kemudian berbagai suara dalam kepalaku melepaskan tawa yang begitu berisik, Kau akan mati kehabisan darah jika tidak segera memotongnya.
Mulutku menumpahkan jerit kengerian. Aku menggeliat, meracau dan berusaha menjauhkan tangan dari wajah agar tidak melihat darah. Darah yang tercecer itu membuatku mual. Aku sontak berhenti membuka mulut saat gejolak isi lambung bergerak naik ke kerongkongan. Perutku menggejang beberapa detik saat aku berusaha untuk bangkit. Cairan asam itu sudah menyentuh rongga mulut dan siap dimuntahkan.
Belum sempat aku mencondongkan kepala ke bawah ranjang, kepalaku bagai berputar dan dipelintir begitu keras hingga ambruk kembali ke bantal. Cairan bening berbau amis keburu tumpah ruah di atas ranjang. Hidungku yang terpaksa membaui aroma menjijikkan itu membuat lambungku Kembali bergolak. Namun kejang berikutnya bukan dari perut. Tapi dari kedua tanganku. kurasakan sengatan perih luar biasa dari rekahan luka itu. Juga pangkal hidungku ikut terasa sakit hingga cairan hangat lain ikut keluar.
Gejala yang bertubi-tubi membuat mataku kian basah. Aku reflek mengigit bibir, berusaha melawan balik rasa sakit itu. Tapi eranganku tetap saja melompat keluar. Aku mencengkram kedua lenganku sekuat mungkin.
Perih. Rasanya perih sekali. Kulitku seperti tercabik-cabik, teriris dari setiap ruasnya.
Kumohon, hentikan!
Mataku mulai berkunang-kunang.
Pada momen seterusnya, aku meringkuk lemah pada Kasur lembab yang basah akan air mata, darah dan muntahan. Tubuhku disergap hawa dingin hingga membuatnya menggigil. Ketika udara sekitar terasa makin tipis, aku mulai menyadari leherku basah akan sesuatu. Lantas diri ini seolah makin ringan, bak mengapung di batas kesadaran.
Telingaku menangkap suara-suara panik yang berhamburan dari arah pintu. Seharusnya aku melihat dokter dan petugas medis. Tapi aku justru melihat ayah dan bunda dengan wajah pias. Mereka meneriaki namaku dan meminta agar tetap sadar.
"Bertahanlah sayang!" Teriak bunda.
"Kondisinya kritis! Pembuluh darahnya pecah. Segera siapkan anestesi!"
Sesaat kurasakan tubuhku yang lemas berpindah menuju ranjang dorong. Ayah dan bunda masih berada di sisiku. Mereka dengan segera mendorong tubuhku meninggalkan ruangan isolasi, melewati lorong panjang berdinding putih. Dari atas ranjang, aku masih bisa membagi pandangan kepada sekitaran. Sekilas terlihat petugas medis berlalu lalang dengan jubah putih berkibar, juga beberapa pria berseragam taktis yang berjaga di beberapa sudut. Tapi dalam kondisi ini, semua orang terlihat gepeng dengan wujud yang aneh.
Jemari ayah menapar wajahku pelan, "Ra! Kamu masih bisa dengar?"
"Kamu masih di sana, nak?"
Mataku kemudian terpaku pada lampu yang berpijar putih di sepanjang langit-langit lorong. Bohlam itu seperti berlarian seiring aku melewatinya. Penglihatan itu membuat pandanganku berkunang-kunang hingga terpejam. Tapi sisa paparan cahaya mereka masih bermunculan. Berputar. Menyilaukan.
Ini tidak nyata.
Tapi sekeping ingatan dalam kepalaku berkata lain. Ini terasa nyata. Aku pernah mengalami situasi ini. Mungkin dulu sekali. Lorong-lorong putih yang kulewati terasa tidak asing. Tapi aku tak benar-benar bisa mengingatnya.
Apa ingatan itu benar terjadi?
Ping!
Suara deting pintu lift di ujung lorong terbuka mengalihkan perhatianku. Kami memasuki tabung lift berlapis kaca bening. Bersamaan dengan gaya gravitasi yang turun dengan kecepatan sedang, ayah dan bunda nampak sedang bersitegang. Nada suara bunda meninggi disertai jarinya yang teracung pada hidung ayah.
"Kau harusnya tak menerima pekerjaan ini. Kau tidak pernah menyukainya!"
Ayah balas membantah dengan nada serupa, bilang dia akan tetap menjalaninya walau suka atau tidak. "Ini semua demi Ra!"
Hening sesaat mengudara di dalam lift. Kemudian tangis bunda akhirnya pecah.
"Mereka tak pernah peduli tentang Ra. Tentang kita, juga Pasha dan Sele." Bunda tersedu diantara bulir air mata yang berguguran, "Kumohon, berhentilah! Aku tak ingin kondisinya lebih buruk lagi dari ini."
Aku hendak membuka mulut. Berniat menenangkan bunda agar berhenti menangis. Tapi suaraku tidak bisa keluar. Aku hanya bisa diam seperti sedang menonton televisi tanpa berada di dalamnya. Aku ibarat mahluk asing yang menyaksikan pertunjukan mereka. Sayangnya, aku tak memiliki remote untuk memegang kendali.
"Semua akan baik-baik saja, Ra. Ayah janji!" jemari ayah mengelus puncak rambutku. Tapi bunda dengan kasar mendorong tubuh ayah hingga terpelanting.
"Kita kehilangan dia! Detak jantungnya terus menurun." Suara statis elektrodiogram menginterupsi penglihatanku. Beberapa sentakan kejut membuat tubuhku terlonjak ke udara.
Aku mendesah lirih, merasakan bahwa isi kepalaku benar-benar kacau. Beberapa ingatan yang seharusnya tidak pernah ada, mendadak bermunculan.
"Menjauhlah darinya! Dia seharusnya memiliki kehidupan normal jika kau tidak melibatkannya dalam masalah." Bunda berteriak marah.
Tepat saat pintu lift kembali terbuka, suara derau dan glitch yang begitu mengusik segera menginterupsi seluruh penglihatanku. Gerakan perseteruan sosok ayah dan bunda berhenti secara mendadak.
"Terjadi penurunan aktivitas pada otak. Kita perlu tingkatkan kadar oksigennya!"
Belum sempat aku mencerna situasi, ranjang ini tiba-tiba meluncur menuju ruangan besar dengan lampu sorot besar dari atas. Aku hanya bisa terkulai lemas tak berdaya sembari menahan silau saat sekumpulan manusia dengan peralatan medis mengitariku. Sebuah panel detektor bergerak turun dari atas, menyorot tubuhku dengan kilatan sinar kehijauan.
"Pendarahannya tak mau berhenti." Teriak salah seorang dari mereka dengan nada panik. "Dia takkan bertahan lebih lama lagi."
"Perlambat dekomposisinya melalui pembekuan. Aktifkan protokol krionika, turunkan suhu hingga proses metabolisme selnya berhenti. Kita tak boleh kehilangan subjek." Seru Salah seorang dokter.
Aku tidak paham apa yang hendak mereka lakukan. Namun kurasakan cairan yang dinginnya kian menusuk membasuh seluruh tanganku dari siku hingga ujung jemari. Aku meringis tertahan. Proses itu terjadi cukup lama hingga tidak ada lagi yang kulit lenganku rasakan kecuali kebekuan. Rasa sakit karena retakan itu perlahan berangsur sirna.
Kulihat beberapa petugas berkerumum di sekitarku. Mereka mengucapkan sesuatu, tapi aku tak bisa mendengarnya. Duniaku perlahan memucat, lantas segalanya terlihat hitam putih.
"Jangan memutus simpul ikatan kita, Ra."
Gema suara itu berhasil membuat ujung mataku jatuh pada salah satu sudut. Di sana Kak Pasha dan Sele tengah mematung dengan saling bergandengan tangan.
"Tetaplah bersama kami, Kak" Sele menyorotku dengan senyum ganjil, "Pergi adalah tanda penghianatan."
Ingin sekali kuserukan kenapa atas kalimatnya. Tapi suaraku justru tercekat di pangkal kerongkongan.
"Tapi perannya di tempat ini sudah berakhir, anak-anak."
Mataku sontak membulat saat menyadari sosok manusia burung telah berdiri di belakang kedua saudaraku. Tangannya terangkat, mengusap kepala Sele dan Kak Pasha. Namun, dalam beberapa detik gerakan lembutnya berubah menjadi cengkeraman kasar. Aku menjerit, tepat saat kepala kedua saudaraku telah dipelintir hingga patah olehnya.
Bunyi patahan tulang leher mereka membuat atap ruangan seolah runtuh. Kemudian tubuh mereka ambruk di dekat kaki si manusia burung dengan wajah menghadap arah yang tidak seharusnya.
Aku berniat berontak, berteriak lantang.
Tapi hanya kebisuan yang bisa terlontar dari mulut. Lantas mata ini malah terpejam dengan pelupuk yang basah. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali berharap ini semua hanyalah mimpi buruk.
***
Aku tersentak bangun hingga tubuh ini sejenak mengudara dan kembali terhempas pada ranjang. Oksigen berhamburan memasuki rongga paru-paru tepat setelah aku menghirupnya dengan serakah sampai terbatuk-batuk. Masih dengan tubuh yang basah karena keringat, aku akhirnya larut dalam senyap sembari termenung menatap langit-langit.
Beberapa detik setelahnya, kepalaku samar-samar dipenuhi semua ingatan tadi. Dadaku Kembali dipenuhi gejolak rasa sesak hingga aku memutuskan untuk bangkit dan menilai situasi.
Tanganku tidak sedang dibekukan. Retakan itu juga masih berdenyut dalam rupa yang terakhir kuingat dan tidak sedang merekah penuh darah. Begitupun selimut yang masih terasa begitu lembut dan nyaman saat kuperiksa.
Arah pandangku lantas berlarian menyusuri dinding ruangan. Tidak berharap bahwa si manusia burung muncul dengan santainya untuk menyapaku, tapi aku juga tidak melihat apa-apa. Dia kembali raib tanpa jejak, menyisakan keheningan yang menggelisahkan.
Semuanya terlihat normal, kecuali diriku.
Kupikir aku sedang tidak normal. Aku bisa saja menyebutnya hanya mimpi, tapi kejadian barusan itu terasa sangat nyata. Senyata aku masih bisa merasakan lidah yang mengecap sisa pahitnya cairan asam lambung atau gelagat beku yang meremang pada sekujur lenganku.
Sial, ini semua benar-benar membuatku gila!
Tubuhku kemudian meringkuk, menarik selimut hingga seluruh badan tenggelam di dalamnya. Kurasa ini ialah momen yang tepat untuk mulai menangis. Lantas air mataku perlahan melesak turun membuat galur bening di pipi.
Aku hanya merasa aneh. Tidak, bukan hanya. Aku sekarang sedang gila dan itu tidak aneh. Itu gila.
Pikiranku kacau. Kacau sekali. Ini pasti karena karena imajiku kembali berusaha menembus batas realitas. Lagi. Mungkin terlalu lama terkurung di tempat ini membuat isi kepalaku makin tak terkendali. Kemudian aku kembali terjerumus pada pekatnya keputusasaan.
Aku tertawa pelan. Tertawa sambil terisak. Tubuhku perlahan diserang lelah tak berkesudahan. Kesepian yang berkompromi dengan frustasi mulai menggerogoti akal dan jiwaku. Kemudian kepalaku mulai mempertanyakan alasan untuk tetap bertahan. Mengapa orang-orang di sekitarku bersikeras supaya aku terus hidup? Kenapa aku tidak boleh mati?
Aku ini hanya pemilik seonggok jasad yang sekarat! Hilangnya eksistensiku tiada meninggalkan arti. Takkan ada air mata yang tumpah, kemudian waktu akan menghapus ingatan semua orang tentangku. Sosok Ra nantinya akan berakhir sebagai sebaris nama yang terlupakan.
Lantas untuk apa aku ada?
Jika menjadi ada artinya harus menanggung kenangan menyakitkan dan terbayang oleh khayalan liar, maka aku berharap diri ini tidak pernah dilahirkan. Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk terus bernyawa. Nyawa yang terkandung dalam raga ini tiada ada artinya lagi.
Jemari kiriku mencengkram seprai kuat-kuat, kemudian tangan lainnya memukul Kasur berulang-ulang. Mulutku terbuka, melepaskan teriakan tanpa suara. Kulampiaskan semua sesak yang terakumulasi dalam dada dengan mengacak seisi ranjang.
Sialan, sampai kapan aku akan terus seperti ini? Hingga titik mana aku bisa bertahan?
Pada ujung tanya, aku malah tersengal beberapa kali, merasakan paru-paru berusaha menghalau masuknya udara. Makian kembali buncah dari bibirku. Aku tak bisa bernapas di tempat seperti ini. Aku butuh udara segar. Aku perlu bernapas.
Aku harus keluar.
Tolong aku...
Di tengah kecamuk perasaan kalut, bayangan manusia burung mendadak bercokol dalam benak. Entah mengapa, aku kini rindu akan hadirnya. Aku ingin dia datang untuk memenuhi janjinya. Lantas membawaku pergi jauh menuju tempat dimana tumpukan derita akan berakhir.
Selama bisa pergi dari sini, aku tidak peduli lagi dengan siapa atau bagaimana caranya.
Dia harapanku satu-satunya.
Manusia burung, kapan kau akan datang?
Pintu ruangan isolasi mendadak terbuka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top