Bagian 13

Hanya satu jiwa tersisa.

Namun seonggok tubuh yang mengandung jiwa tersebut masih bernapas dan menjadikannya bagai angin segar bagi pihak kepolisian. Benar-benar memberikan harapan bagi kumpulan manusia berseragam cokelat yang reputasinya begitu kering hingga nyaris mati itu. Mereka mungkin berpikir bahwa setidaknya kasus hilangnya orang-orang di Kerak Terusi mulai memasuki titik terang.

Orang-orang itu terlihat senang bukan main, bahkan sampai repot mengisolasi sang pemilik tubuh di instalasi terbaik di kota ini. Hanya agar gadis yang selamat bisa tetap tersambung pada kehidupan.

"Laporan pemeriksaan menunjukkan indikasi kerusakan fatal sistem jaringan lunak pada tubuhnya. Sejenis dekomposisi, penghancuran seluruh sel dan organ karena hilangnya sistem pertahanan tubuh. Terutama di lapisan dermis kedua tangannya hingga menciptakan retakan kemerahan. Diagnosa serupa dengan korban yang ditemukan sebulan silam."

Tapi orang-orang itu tak pernah sadar. Mereka terlalu sibuk mencari penjelasan hingga abai bahwa mata hijau milik si gadis telah redup. Tidak lagi memancarkan kehidupan.

"Tapi berdasarkan hasil laboratorium, tetap tidak ditemukan kandungan enzim intraseluler maupun peran mikroba yang membantu proses dekomposisi. Nihil. Namun bisa dipastikan terdapat sesuatu yang memicu prosesnya sampai secepat ini. Sejenis patogen atau virus ganas yang masih belum diidentifikasi lebih lanjut."

Hanya kosong dan hampa. Seperti mayat.

"Yang lebih mengherankan, nyatanya tubuh anak ini lebih resisten daripada yang lain. Dia mungkin mengalami komplikasi sejak lama –imunnya sedang berperang melawan patogen itu. Ada harapan dia bisa bertahan sedikit lebih lama."

Itulah aku, gadis yang masih (harus) hidup.

Hari-hari berikutnya berjalan begitu lambat. Waktu kosong yang begitu melimpah kubuang percuma dengan menatap datar keseluruhan ruang isolasi yang berdinding putih. Entah ini berada di mana, yang jelas aku sering kali melihat orang-orang berjas putih terus membesukku, dan alih-alih membawa bunga, mereka justru menyodorkan berbagai foto atau pertanyaan yang tak kesemuanya terjawab. Lain waktu, mereka hanya datang untuk memeriksa kadar oksigen atau mengatur berbagai cairan yang masuk ke tubuh melalui syring pump. Mereka melakukannya dengan dingin, tanpa sapaan ramah.

Seolah aku bukanlah seseorang.

Persis seperti setengah tahun yang lalu.

Kabar baiknya, masih ada segelintir orang yang bersikap sedikit normal di dekatku. Bukan perawat, dokter, apalagi sanak kerabat. Tapi si Konselor.

Konselor itu sebenarnya tak tersenyum sedikitpun padaku. Dia mengenggam gelas plastik bermotif hati dan duduk di samping ranjang tidurku. Pria itu terus mengulang pergerakan yang sama, meneguk air putih, lalu menghela napas sambil membenahi anak rambut di dahi dan posisi duduk yang kian merosot di sandaran kursi lipat. Sesekali pola pergerakannya terganti rutinitas membaca buku yang ia letakkan di atas nakas dekat kepalaku. Ada 2 volume buku yang tergeletak di atasnya, judulnya Manual diagnostik dan statistik gangguan mental.

Nyaris sepanjang hari dalam seminggu terakhir, dia seperti tak punya kehidupan lain selain berada di dekatku, tanpa banyak bercakap. Kadang kala ia bertanya satu dua hal semisal, "Bagaimana kondisimu?". Setiap kali itu terjadi, tangannya masuk kedalam saku jaketnya, seolah di dalamnya terdapat alat kejut yang siap ditekan sewaktu-waktu ke leherku sampai ia siap melakukannya.

Kurasa itu tindakan sangat wajar kepada orang yang membuatnya kecewa berat.

Sedangkan aku tanpa berusaha peduli hanya berbaring lemas, menatap langit-langit putih dengan iringan suara monitor hemodinamik yang kabel elektrodanya tertempel di dadaku. Berusaha tak memikirkan apa pun lagi. Terakhir kali aku berpikir, berbagai bisikan jahat itu kembali merusakku. Dia berusaha mencungkil kembali timbunan memori buruk di sudut kepalaku, kemudian menyulutnya agar meledak. Setiap kali itu terjadi, aku segera berpegangan pada pinggiran ranjang. Berharap agar retakan itu tetap kukendalikan tanpa harus berteriak.

Mungkin sebaiknya aku berhenti menggunakan akal sehat. Toh, semua sudah berakhir sejak malam penghabisan. Tak ada lagi yang bisa dilakukan karena aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Ra?" Pagi di hari ke delapan. Akhirnya dia mulai menanyakan hal lain, memecah keheningan. Tapi aku tidak mau keheningan ini sirna, jadi kuputuskan untuk bungkam –karena harusnya tak ada yang perlu dibicarakan.

"Kenapa diam saja? katakanlah sesuatu."

Seperti yang diminta, bibirku terbuka untuk sekedar berbisik, "Kenapa kau sangat ingin tahu?"

Maksudnya, jangan biarkan aku mengingat apapun lagi.

"Aku hanya ingin membantu." Konselor itu mengusap rambutnya, berusaha tersenyu,. "Kukira kita sudah berteman?"

"Aku kan hanya anggota kelompokmu."

Pria itu mengangguk pelan. Matanya menunjukkan kekecewaan yang amat dalam. Kami terkungkung oleh kebisuan selama beberapa menit, sampai akhirnya aku merasa muak dan berkata, "Maaf."

Konselor itu mendongak. Dia masih terlihat marah karena tanggapannya cuma anggukan. Kemudian pria itu beranjak dari kursi lipat, bilang akan mengurus beberapa hal dan pergi dari ruang isolasi. Hanya tersisa aku sendiri –lagi.

Pada akhirnya semua orang telah pergi.

Itu semua karena aku.

Tidak tahu diri, dia berusaha baik padamu, tapi kau mengacuhkannya. bisikan di kepalaku tertawa, mengejek. Perbuatan baik tak boleh diabaikan.

Aku ingin sekali tidak menanggapi semua suara itu. Walau mulut ini memilih bungkam untuk membalas, namun semua yang mereka teriakkan benar. Mungkin aku yang salah karena tak pernah bisa bersikap baik, menolak semua perhatian dari orang-orang yang masih peduli padaku. Tapi pada dasarnya, aku memang tak menginginkannya. Semuanya tak sesuai dengan apa yang kuinginkan dan pikiranku terus menyuarakan hal yang ambigu.

Aku lelah. Sama lelahnya dengan terus menimbun kenangan buruk untuk diri sendiri, kemudian berharap akan ada memori baru yang menggesernya. Kurasa itulah cara kerja otakku untuk melakukan mekanisme perlindungan diri dari trauma. Tapi nyatanya itu tidak bekerja. Momen buruk itu tetap berada di sana, menunggu untuk meledak setiap saat dan aku tak pernah siap untuk itu.

Momen buruk tak pernah meninggalkanku, dia akan mengakar, menempel dan menggumpal. Tapi momen bahagia selalu lenyap saat aku mengira akan bahagia selamanya.

Sudut mataku menghangat dan basah. Semua rasa telah menguap dari dalam diriku, meninggalkan kekosongan, putus asa dan rasa muak yang membumbung penuh pada rongga dada. Aku merasa benci untuk terus hidup. Bayangan kematian kian menghantui kepalaku. Rasanya aku tak sanggup lagi menahan gejolak ini.

Aku gemas ingin berteriak, menggeliat, dan mencakar kulitku sendiri. Kemudian melepaskan seluruh beban pikiran.

Kenapa aku tidak mati saja? kenapa?

Aku mau bebas dari simpul kehidupan. Aku muak terpasung di ruang isolasi, lantas menunggu orang-orang dengan jas itu menentukan nasibku.

Aku ingin lupa akan segalanya.

Aku berharap isi pikiranku musnah seketika.

Aku ingin menghilang.

Aku harus mati.

Pasti rasanya menyenangkan bila tidak terbebani untuk memikirkan hari esok. Aku tidak perlu berpikir bagaimana caranya menjalani sisa hidup dengan perasaan tak keruan, juga tak lagi sibuk menahan air mata untuk semua rasa sakit. Benar kan?

Benar sekali. Bisikan itu kembali datang menyemangatiku.

Walau jemari ini masih mati rasa untuk bergerak, aku terus saja memaksanya menyentuh selang infus yang tertanam dalam kulit. Pertama, cabut infusnya, lalu enyahkan selang oksigen. Setelah itu, jarakku dengan kematian pasti semakin pendek.

Ayo, cepat tarik jarum itu!

Ya, aku harus melakukannya!

Sentakan awal berakhir kegagalan dan hanya menambah gelayar rasa perih yang menyentuh ubun-ubun. Aku menjerit tertahan, membenamkan gigi pada permukaan bibir bagian bawah kuat-kuat. Jarum itu masih menancap cukup dalam hingga membuatku kesulitan menariknya. Napasku kian menderu.

Lebih keras lagi!

"Kau serius?"

Gerakanku terhenti. Mataku menatap sumber suara berat itu. Kali ini tak ada reaksi terkejut. Aku tahu dia pasti kemari. Si manusia burung mendadak telah berada di atas kursi lipat milik si konselor. Duduk dengan takzim, menatapku.

"Seminggu tidak bertemu, Kau semakin mirip dengan sekuntum bunga, Ra."

Lagi-lagi dia menghalangiku.

"Iya, sekuntum bunga. Bunga yang layu tapi," Ia terdengar menahan tawa, "Lengkap dengan tambahan darah dan daging –juga sepotong nyawa serta sedikit akal sehat yang nyaris hilang. Andaikan sedikit kegilaan di kepalamu bisa mereka lenyapkan, mungkin kesan mayatnya akan berkurang."

Aku menutup mulut. Tidak peduli dengan pemilihan diksi yang barusan terlontar. Itu jelas pembukaan kalimat yang buruk.

"Jadi, ini terhitung percobaan bunuh diri kelima?"

Enam, mungkin.

Si manusia burung itu mengangkat bahu, "Iya terserah berapapun kau coba, tapi aku takkan pernah membiarkannya terjadi."

"Kenapa?"

"Karena bunuh diri adalah tindakan tolol, Ra. Mereka yang bunuh diri hanyalah sekumpulan manusia putus asa yang tak mau melihat harapan disekitarnya hanya karena merasa tak ada yang bisa menolongnya. Termasuk kau. Padahal aku di sini," Jarinya terangkat dan menujuk wajahku, "Dan berhentilah menatap seolah aku ini gila."

Aku tetap tidak mengubah ekspresi. Karena itulah yang kurasakan.

Hela napas terdengar dari balik topengnya, "Dengar, aku tidak gila. Kau tahu apa yang gila? itu adalah kondisimu sendiri! kondisi yang tak bisa kau lihat dengan benar. Tapi aku bisa, bahkan sepuluh kali lebih baik darimu!"

Hening sempurna mengungkung kami berdua.

"Aku ini berada dipihakmu karena musuh yang sebenarnya ada di dalam kepalamu, juga seluruh orang di kerak terusi."

"Lalu kenapa kau membiarkanku kemari?" Sengitku.

"Tak pernah ada niatanku untuk membawamu ke tangan pemerintah, Ra. Tapi pria itu yang melakukannya. Aku tidak bisa berbuat banyak saat kau sekarat karena retakan itu, jadi aku terpaksa menelpon si konselor –satu-satunya nomor yang kau simpan dalam ponsel." Jemari si manusia burung itu memijat topengnya sendiri, "Dia mungkin pria baik, tapi bodoh."

Aku tak berusaha membela konselor itu sekarang, karena kurasa itulah bagian yang paling menyebalkan darinya. Suka ikut campur masalah orang lain.

"Namanya Hida, kan?"

Aku bahkan baru ingat kalau itu namanya.

"Kurasa dia menyukaimu."

Aku buru-buru mengelak. Itu pasti tidak mungkin. Kujelaskan pada sosok itu bahwa relasiku dan Hida hanyalah rekan satu kelompok. Tidak lebih. Dia sudah pernah menikah dan punya anak walau berakhir tragis. Apalagi usia kami berdua terpaut jauh.

"Dia pasti kesepian."

Seringai tipis terbit di ujung bibirku, "Kau cemburu?"

"Meskipun kita ini teman lama, tapi kau bukanlah tipeku, Ra. Aku tidak suka gadis yang punya wajah seperti orang mati." Sosok itu mengangkat bahunya. Sindirannya tepat melukai harga diriku. Lantas dia tertawa pelan melihatku yang memasang wajah masam.

"Seperti apa di luar sana?" tanyaku, mencoba mengalihkan topik.

"Rumah?"

"Dunia."

"Masih ramai seperti biasa..." Dia menanggapi balasan asal dariku dengan semangat. Dia bercerita tentang hujan, jalanan yang sibuk, dan danau yang masih biru. Kemudian dia berdiri untuk menjelaskan dengan eskpresif melalui gerak tubuh –seolah semua itu penting. Dia menuturkan tentang rumahku yang disegel polisi, sampai reaksi masyarakat tentang berita penahananku.

"Dibanding senang, orang-orang ketakutan. Mereka takut dengan apa yang ada dalam dirimu. Kau ibarat bom waktu."

Aku terhenyak, menatap retakan di jemariku. Retakan itu makin terlihat menyedihkan. Tak hanya ada pola garis kemerahan, namun sekujur kulit yang berada di sana bersemu keunguan. Sosok manusia burung kembali meneruskan, bilang bahwa suara-suara publik makin terdengar sumbang. Mereka menuntut agar aku dijauhkan dari distrik ini. Dia yang mengidap kutukan tidak boleh ada satu tanah mereka –begitu yang dibilang.

"Baguslah," Aku menghela napas, Si manusia burung menutup kisahnya dengan menangkupkan kedua telapak tangan. "Aku juga tak senang berada disini."

Bisa kurasakan bahwa mata yang tersembunyi dari dalam lubang topeng itu menatapku lekat-lekat. Sejenak, tubuhnya ia condongkan ke depan, "Lalu kau mau bagaimana, Ra?"

Mau mati.

"Begitukah?" Seolah paham isi kepalaku, nada suara si manusia burung itu terdengar mengejek, "Bahkan jika kau mati, kurasa mereka takkan mau menerima jasadmu dikebumikan di puncak manapun."

Lalu aku harus bagaimana, sialan? Yang ada dalam pikiranku hanyalah keinginan agar bisa bebas dari semua tekanan yang entah bagaimana datang berubi-tubi.

"Ayo pergi jauh dari sini, Ra. Menuruti apa yang mereka mau." Sosok itu menjentikan jari, lantas tertawa ganjil, "Ada tiga kapital besar di negeri ini, juga puluhan distrik besar di dalamnya. Duniamu tak akan sesempit itu. Ada tempat dimana kau bisa melupakan semua rasa sakit, mengubur semua puing kenangan buruk, dan merengkuh janji-janji masa depan yang lebih baik."

Aku balas menatapnya tidak mengerti.

"Mari pergi ke Sanatorium."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top