Bagian 12
Kembali ke waktu sekarang.
Namaku Ra –sepertinya begitu.
Sampai di titik ini, usiaku masih 15 tahun dan menyadari bahwa kepalaku sedang bermasalah. Dia sibuk mencampurkan fakta dengan fiksi sedemikian rupa. Setelah hari itu, aku memutuskan menggurung diri hingga 14 hari. Terus mencoba keluar dari bingkai abstrak ini. Merenungi malam-malam gelap, bertanya pada kerlip bintang. Berusaha mati-matian untuk lari dari bayangan itu.
Namun mereka tetap saja hadir walau kuacuhkan.
Terkadang bisikan di kepalaku juga muncul untuk bertanya, "Antara nyaris mati karena kebenaran atau terus hidup dalam kebohongan yang penuh harapan, mana yang kau pilih?"
Aku tahu itu pertanyaan bodoh. Bahkan aku tak tahu bagaimana hakikat kebenaran itu. Apakah jika kebenaran itu justru datang memadamkan api harapan hidup kemudian orang itu mati karenanya, masih layak dia untuk sebutan itu? Bukankah lebih baik kita hidup dalam kepalsuan namun penuh harapan daripada sebaliknya?
Entahlah.
Dengan kondisi kulit pergelangan yang robek, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sangat ingin dilakukan pada detik-detik terakhir. Menempelkan wajah di lantai kamar mandi yang masih basah oleh darah dan air, juga sisa serpihan kaca yang masih terserak. Tidak peduli dengan semua rasa dingin yang menyergap kulit ini.
Tawa sinisku terdengar menggema.
Tidak buruk, bahkan entah mengapa ini sangat menggelikan. Aku benar-benar menikmati hal aneh seperti ini. Pipiku yang terasa dingin karena ubin yang lembap, mata yang menatap dunia menjadi datar, semua kebisingan di luar hanya terdengar dari sisi telinga yang lain. Suara rusuh kedua saudaraku masih terdengar di lantai bawah. Sesekali muncul sayup suara bunda. Tak ada suara ayah kecuali televisi yang biasa dinyalakannya. Aku memutuskan memejamkan mata, mengusir semua kebisingan itu.
Kemudian hening tetiba menyeruak membuat suara-suara itu menghilang.
Berbagai keping ingatan bermunculan. Seluruh kilas balik kehidupanku dua minggu terakhir. Aku yang sekedar ingin hidup tanpa tujuan, Aku yang terus saja lari bila mereka mengatakan soal apa yang sebenarnya terjadi, aku yang terbawa oleh si manusia burung dan ia malah menghancurkan isi kepalaku.
Aku yang...hanya bisa tertawa getir di kala putus asa.
Perlahan puluhan kelumit rasa asing mejalariku bagai parasit. Tubuh ini mulai kembali merasakan kehampaan, ketiadaan dan kehancuran. Seluruh perasaan itu terus menjalar, menggerogoti jemari hingga lengan bagian bawahku. Ingatan itu lantas kembali bertunas dalam kepalaku, Lalu aku menggigil menahan tangis.
Tidak, aku tidak boleh menangis. Ayah tidak suka anak yang cengeng dan bunda selalu mengatakan bahwa apa pun yang terjadi aku harus kuat. Tapi apakah masih tersisa rasa keberanianku untuk hidup demi detik berikutnya? Itu mustahil.
Aku ingin mati. Mati dan mati lagi tanpa merasakan lahir. Aku ingin menjadi tiada dari keinginan tanpa logika, juga dari hasrat untuk bersandar mencium harapan serta meremas imajinasi bodoh. Aku benci diriku. Aku benci diriku yang selalu membiarkan semuanya terjadi begitu saja.
Aku ingin terbebas semua belenggu ini. Tapi si manusia burung itu tak mengizinkanku mencurangi kehidupan. Dia takkan membiarkanku mati. Padahal dia juga yang menggiringku menuju ambang kematian.
Malam ini, semua akan selesai. Aku yang menciptakan mereka, maka aku juga yang harus mengakhirinya.
***
Setelah membebat pergelangan dengan perban seadanya, Aku mengenakan gaun putih selutut yang biasa kukenakan di setiap momen penting. Aku menyukai pakaian ini, terlihat kontras namun padu dengan rambut hitamku. Bunda selalu mengatakan itu. Kurasa sekarang adalah saat yang tepat untuk memakainya lagi –untuk kali terakhir.
Pukul sembilan malam.
"Malam ini, Ra yang menyiapkan makanan!" Aku berseru penuh semangat.
Detak jam besar tua di sudut berdentang nyaring. Basah air di rambut masih menetes saat kaki ini terayun riang menghampiri meja makan yang telah ramai. Ayah, Bunda, Kakak dan adikku takzim menanti. Tanganku lebih dari lincah untuk menata perangkat makan malam ini, termasuk piring dan apa yang disajikan di atasnya.
Hanya menu sederhana, sepiring tempe goreng serta tumisan sawi hambar tanpa rasa –kurang garam. Setidaknya inilah keahlian terbaikku. Aku nyaris lupa bagaimana rasa masakanku sendiri. Tidak masalah. Aku bahkan membuatnya dengan sepenuh hati.
Di luar sana, sang bulan sudah meninggi sepenggal di angkasa. Sinar purnamanya muram tertutup awan keabu-abuan. Suram. Persis seperti tubuh manusia yang membusuk kehabisan darah.
"Kau harus makan sawinya, ya! Bunda kan tidak suka melihatmu membuang-buang makanan." Aku tersenyum mengingatkan adikku yang benci benda lembek hijau itu, "Benar kan bunda?"
Bunda terdiam menatapku, melempar senyum hambar. Aku iseng menambah tumis sawi ke piring adikkku. Luar biasa, kali ini dia tidak protes sama sekali.
Aku gantian menoleh pada Kakak, "kakak, pokoknya Ra gak mau denger lagi pertengkaran sepele dengan anak tetangga hanya karena bola basket yang menghantam mobil ayahnya kemarin."
Kakak diam saja menatapku. Sendok di piringnya berkelontangan jatuh. Aku sigap mengambilkannya. Kakakku ini memang bisa jadi kikuk kalau sudah tersudutkan oleh rasa bersalah.
"Dan kuharap besok ayah bisa pulang cepat seperti sekarang agar kita bisa makan malam bersama lagi" Aku menyeringai, tepat setelah beberapa helaan nafas, "Ah ya, jangan lupa kopinya"
Jemariku mendorong secangkir kopi hitam kesukaannya lebih dekat. Ayah hanya menundukkan kepala, mungkin tak berselera. Meja makan terasa lengang. Tak seperti biasanya. Bohlam putih nampak bersinar malas-malasan membuat suasana menjadi redup. Astaga, jangan-jangan hidangan buatanku benar-benar tidak enak? Semua orang benar-benar terdiam kali ini. Hanya suara detak jam besar yang masih mengisi relung kosong di langit-langit. Sesekali senandung tokek terdengar dari ujung lorong menuju ruang keluarga.
Aku menumpukan tangan di atas meja, menghentikan aktivitas menyuap nasi, lantas menatap seluruh anggota keluargaku. Ayah, bunda, Kakak dan si kecil menatap balik ke arahku. Menantikan kalimat yang akan keluar.
"Ra teringat bahwa Ayah pernah bercerita tentang seorang gadis. Seorang putri. Saat itu aku masih kecil bukan? Menatap indahnya rembulan purnama di halaman depan. Ayah menceritakan bahwa sang putri dikutuk oleh jutaan masyarakat kerajaan. Hanya karena ia tak sengaja membunuh sang raja, ratu dan seluruh saudaranya yang tidak bersalah. Lantas dewa menghukumnya untuk menghabiskan sisa hidup di bulan selamanya, sendirian. Ra dulu selalu berteriak kesal saat mendengar kisah itu, mengapa kisah itu berakhir sedih? Mengapa tak ada keadilan untuk sang puteri? Mengapa ia harus menjemput takdir yang begitu menyesakkan?"
Aku menatap wajah ayah yang lelah, tersenyum penuh arti padanya.
"Setelah Ra mendengar kisah itu, setiap kali melihat bulan, wajah sang putri itu seolah tergambar jelas dalam benak. Bagaimana ayah menggambarkannya? Ah iya, dengan rambut panjang, kulit putih pucat dengan wajah yang cantik sepertiku. Bukankah begitu? Seolah ayah hendak menunjukkan bahwa sang putri itu adalah Ra. Aku hanya tertawa kala itu. Ra kan bukan pembunuh? Memegang pisau dapur saja sudah membuat gemetaran."
Aku tertawa getir. Tak ada sambut tawa dari mereka. Itu lelucon yang buruk. Memangnya sejak kapan aku pandai melucu?
"Tapi sekarang tidak ayah," Aku berhenti tertawa, menggenggam pinggiran meja, gemetar, "Malam ini aku sudah melihat bulan purnama itu, dan aku bersumpah bahwa mata sang putri itu tajam menatapku dari langit malam, mengejekku dari atas sana seolah berkata : kau hampir menjadi sepertiku! Dasar pembunuh!"
Sebulir air mata akhirnya merekah, menggelayut-membayang di pelupuk mataku. Kristal bening itu merembes jatuh, menggurat parit di pipi, mengalir lembut menuju dagu. Menumpuk. Membesar. Kemudian dalam gerakan lambat yang memesona terlepas. Perlahan...menghujam lantai.
"Aku tak pernah berharap untuk menjadi dirinya. Menjadi putri sialan itu –yang dengan bodoh pasrah akan takdirnya. Namun, aku justru merasa sedang di posisi yang sama sepertinya. Dikutuk atas dosa yang tak pernah kulakukan oleh semua penduduk kota ini! Rasanya aku hanya terkungkung di tempat yang terlalu gelap dan penuh. Menyesakkan!"
"Tiap kali mata ini membuka di pagi berikutnya, aku merasa berada di tempat yang salah. Semuanya terasa salah. Tiap detik waktu berjalan adalah salah. Hela nafas yang keluar dari mulut adalah salah. Bahkan bersama kalian saat ini pun aku merasa salah! Aku kehilangan tempatku. Aku bahkan tak tahu dimana ini sebenarnya?!"
Aku mencengkeram kepala. Mencabik rambut panjangku. Meringgis menahan pilu.
"Kalian berdua pernah berpikir bahwa aku mirip dengan tokoh utama di serial fantasi itu bukan?" Pandanganku liar mengejar Kakak dan si kecil, keduanya hanya terdiam tanpa kata menatapku. "Omong kosong, aku bukan gadis yang seperti di tayangan fiksi itu. Dia punya segalanya dalam petualangannya. Teman, keluarga, nasehat bijak, harapan bahkan kebahagiaan. Sedangkan aku? Hanya gadis yang nyaris kehilangan akal sehat!"
Aku terkekeh pelan menyadari kalimat barusan. Mungkin aku memang sakit jiwa.
Perhatianku teralihkan menuju Bunda, menatapnya, "Hei, bunda pernah mengatakan bahwa pergi terlalu jauh, membuat Ra akan kehilangan banyak hal bukan? Ra tidak pernah pergi jauh bunda. Tapi justru kalianlah yang pergi dari Ra! Menjauh! Meninggalkanku sendirian! Kalian adalah segalanya bagiku dan kalian pula yang menghilangkannya!"
Tanganku menghantam meja makan dengan kasar, menghempaskan apa yang berada di atasnya. Piring-piring itu berjatuhan, demikian lauk pauk hasil ciptaanku. Semuanya tumpah ruah berceceran di lantai kotor. Dadaku naik turun tak beraturan. Sial! Semua ini konyol! Jika memang semua hanya khayalan, kenapa mereka semua masih di sini?! Jika mereka semua telah pergi, kenapa mereka masih saja hadir dalam tragisnya kehidupanku? Mengapa? Mengapa?! mengapa mereka tidak pergi dan meninggalkanku sendiri? Tiap detik bayang-bayang mereka justru menyiksa. Melukai jiwa. Memberi derita. Menyakitkan. Kenapa aku harus menanggung rasa sesak ini?
Bayangan mereka semua kembali lenyap begitu mataku terbuka. Tak ada satupun yang tersisa. Semuanya menghilang. Hanya aku sendirian di ruang makan dengan semua kegilaan tadi.
"Aku menyayangi kalian, tapi kalian pergi..." Detik berikutnya aku kembali tergugu, mengembalikan kesadaran itu ke masa kini, tubuhku luruh jatuh bersimpuh di atas lantai, "...Aku hanya berharap semua senantiasa sama seperti dulu, saat kita semua bahagia..."
Rumah kami kembali lengang, menyisakan suara isak tangis menyedihkan dari penghuninya. Semua sudah berakhir.
"Kau sudah selesai?"
Aku menoleh ke ujung lorong tepat setelah pikiranku menjalar tak tentu arah. Sosok manusia burung itu mendadak muncul. Dengan tenang ia melangkah menyusuri lorong gelap menuju ke arahku. Aku tak beringsut mundur, hanya melempar seringai polos.
"Bagaimana rasanya?"
"Luar biasa. Kupikir, aku sedang berada di hari yang sangat indah!" Aku mengatakannya dengan nada seperti orang mengatakan : Dunia sangat brengsek dan aku terjebak di hari yang paling keparat!
"Bagus. Sekarang, coba kita lihat apakah dunia memang seindah itu." Dia melepas tawa pelan dari balik topeng itu. Menertawakanku.
Aku ikut tertawa pelan dengan menyedihkan, "Apa kau puas sekarang? setelah mengaturku agar mau melihat seluruh masalah hidupku dan kemudian harus mencari sisi baiknya?"
Dia menggeleng, "Aku tak pernah mengatur siapapun. Aku hanya menunjukkan jalan dan kau sendiri yang memutuskan."
"Dan, kau pasti tahu kalau tidak semua masalah memiliki sisi baiknya, kan?" tanganku mengepal gemetar. Berusaha menahan seluruh gejolak emosi yang hadir.
Dia tidak menjawab. Hening menguasai kami. Hanya terdengar hela napasku dan miliknya, juga suara gemuruh mendung yang terdengar riuh di luar sana. Hujan –sekali lagi akan turun.
"Terkadang, sisi baik dari sebuah masalah hanyalah bahwa ia pernah hadir dalam kehidupan kita."
Aku mengangkat wajah, bersiap membalas kata-kata miliknya tetapi mulutku tak mau terbuka. Tenggorokanku mendadak bagai terbakar. Kepalaku kemudian terserang migrain di detik berikutnya. Lantas Kulit tanganku mulai terasa mendidih dari ujung jemari hingga pangkal lengan. Butiran debu berputar-putar di depan mataku. Abu bisa melihat bahwa retakan di tanganku mulai membesar, mengelupas dan perlahan hancur menjadi butiran debu. Aku tak bisa merasakan lagi dimana tanganku.
Tapi retakan itu seolah tak berhenti disana. Ia mulai merambat menuju dadaku. Gelayar rasa sakit kemudian menyelimuti sekujur tubuh.
Tidak, jangan!
Aku menjerit kesakitan dalam senyap, berusaha meraih udara namun tak mampu. Si manusia burung hanya diam saja melihatku menggeliat seperti cacing yang di kuliti hidup-hidup. Tanganku menggapai-gapai kearahnya, berusaha memohon pertolongan, berusaha tak kehilangan kesadaran.
Aku berusaha untuk hidup.
"Dekomposisi akan berbanding lurus dengan lonjakan emosi dan tingkat stres dari subjek penderita." si manusia burung itu menghela napas pelan, hanya berdiri dari kejauhan, "Simtom penyertanya berupa kesulitan bernapas, detak jantung tak terkontrol, dan juga kerusakan jaringan internal."
Kurasakan retakan itu sudah mencapai pipi kananku. Kulitku seperti terkelupas, berikut dengan susunan otot, daging juga tulang di baliknya. Aroma hangus mulai memenuhi hidungku.
"Aku penasaran, apa kau bisa melalui masa kritisnya, atau tidak?"
Seluruh pemandangan rumah terasa mengambang. Dunia seperti jungkir balik. Realitas terasa memadat, menggelap, dan memenuhiku.
Bukankah ini yang seharusnya kuinginkan?
"Selamat tidur, Ra."
***
Act 1 : HOLLOWNESS
~ Selesai ~
Bersambung menuju Act 2 : EVANESCENT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top