Bagian 11
Semua orang terus menatap tubuhku yang kotor dan penuh luka dengan risih setelah menuruni trem otonom menuju Lereng Utara. Tapi aku tidak peduli, dan terus berjalan menembus hujan dengan langkah terseok-seok hingga mencapai pagar rumah kami yang lengang. Seperti tak ada satu pun hal yang barusan terjadi di sana.
Lidahku mendadak kelu saat ingin memanggil Bunda atau ayah. Sebuah keraguan terbit dalam hatiku, kemudian denging rasa sakit kembali memenuhi kepalaku hingga aku memaksakan diri untuk masuk.
Bunyi pintu berdebum keras tepat setelah aku membantingnya kasar.
Tubuhku yang kurus luruh jatuh bersandarkan pintu kayu jati. Nafasku putus-putus, bersamaan dengan dada yang naik turun dengan cepat menggapai oksigen. Rambut panjangku kini makin kusut masai, menutupi sebagian besar wajah. Kepala ini serasa berputar. Berdentum seolah ingin meledak. Jemariku yang penuh tanah perlahan menggurat lantai dengan lemah. Menekur. Menghubungkan semua penjelasan yang ada.
Kesunyian tiba-tiba menyergapku. Lebih menyeramkan dari biasanya. Keramaian seolah lenyap –tak seperti hari-hari sebelumnya. Rumah besar di lereng bukit kini lengang. Senyap sempurna bagai televisi yang mendadak dimatikan.
Ada yang salah. Ada yang hilang dari rumah ini.
Tidak ada bunda, ayah, kakak atau adikku.
Aku memejamkan mata. Duduk menekuk lutut, tertunduk di atas lantai. Ucapan terakhir si manusia burung kembali terngiang. Kututup kedua telinga dengan telapak tangan. Berteriak keras, menggelengkan kepala, mencoba mengusir rangkaian kalimat yang seakan merobek gendang telinga. Kalimat yang cukup untuk melemparku kembali ke masa lalu itu. Masa lalu yang menyakitkan.
"Ra, kecelakaan itu! Ingatlah keluargamu sudah meninggal!" Suara itu menggema di ruang kosong kepalaku. Bagai batu yang dilempar ke sumur gelap. "Semua sudah tiada!"
"Tidak, tidak, tidak!" Aku terus merapalkan kata itu berulang kali bagai mantra. "Tidak mungkin! Itu semua bohong! Semua hanya mimpi buruk belaka!"
Ujung-ujung jariku bergetar hebat. Napasku menderu. Sebutir keringat sebesar jagung merekah di dahi, menetes jatuh tak hanya sekali. Mimpi buruk itu terlihat nyata. Menyakitkan! Bagaimana tidak? aku menyadari bahwa itu semua sungguh sempurna, bagai menengok kembali siaran masa lalu yang menyesakkan untuk dikenang. Aku menyumpahinya. Berusaha lari sekencang mungkin. Celakanya, kaki ini justru sudah seperti roda kereta yang bergerak menjejak bantalan besi, namun badan tak kunjung bergerak. Sempurna jalan di tempat. Menyaksikan reka ulang tayangan kenangan.
Enam bulan yang lalu.
Hujan badai di malam itu, saat abu jasad yang sudah tak terbentuk mengambang di seluruh penjuru ruangan. Bertebaran dengan wujud debu yang berpendar remang. Tubuh-tubuh tak bersalah, mereka semua...retak...remuk...terurai gugur untuk kemudian hancur menyisakan seonggok potongan tubuh dan genangan darah tepat di hadapanku.
Partikel putih berhamburan di udara.
Petir dahsyat menyambar terang saat tanganku berusaha menggapai, namun tak sampai. Aku menangis meraup sisa abu, meremas gumpalan darah. Orang-orang berdatangan. Mereka semua ikut histeris menatapku dan sisa kekacauan di ruang tamu. Polisi segera hadir untuk menangkapku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Semua tekanan ini mengguncang jiwaku. Kenapa ini semua terjadi?
"Ayolah Ra, kau hanya perlu mengatakan apa dan siapa yang melakukan hal itu pada keluargamu? setelah itu terserah kau dengan dokter manapun menghabiskan seumur hidup untuk memulihkan diri. Keadilan tidak bisa menunggu lama, nak." Seorang polisi bertanya tanpa senyum dari balik kumisnya.
Aku terbata-bata memberikan penjelasan saat interogasi. Tentang tubuh-tubuh yang terurai. Juga abu yang bertebaran serta teriakan minta tolong mereka.
Tak ada yang percaya pada penjelasanku atas cerita yang tak masuk akal. Namun mereka juga tak bisa mempersalahkan semuanya kepadaku. Kejadian ini sudah di luar nalar manusia. Aku mungkin tak bersalah, namun kasus ini sudah menjadi aib yang tak bisa ditutupi lagi.
"Bagian mana dalam penjelasan tadi yang tidak dapat kalian mengerti? Gadis itu syok. Peristiwa yang dialaminya bukan kejadian yang biasa kita lihat. Kapan kalian akan berhenti menganggunya? Dia butuh waktu untuk pulih. Bagaimana dia bisa memulihkan jiwanya jika kalian terus mengusiknya dengan foto-foto yang...Astaga, hanya potongan lengan ibu dan kepala adiknya yang tersisa. Dan kalian menunjukkanya tanpa iba. Apa yang sebenarnya kalian pikirkan?" Salah seorang dokter membelaku, menghentikan interogasi para polisi.
"Maaf dokter, kinerja kami sedang disorot atas kasus ini. Kami hanya ingin memberikan yang terbaik di mata publik."
"Dengan menyiksa jiwa gadis ini?"
Mereka memang tega sekali melakukannya.
Beberapa bulan berlalu. Demi menemui jalan buntu, Kasus akhirnya ditutup tanpa kejelasan. Kecuali fakta bahwa kabar itu menggegerkan seluruh negeri. Puluhan orang berdatangan bukan untuk bersimpati. Namun lancang hanya untuk sekedar merekam tempat kejadian, bertanya hal yang tidak berguna, mengabarkannya ke dunia maya kemudian pulang. Aku tak tahu berapa banyak dokumentasi wajah dan keluargaku yang terpampang di internet. Atau seberapa banyak orang-orang sok pintar membincangkan teori konspirasi tak masuk akal seperti Human Combustion, Glitch in the matrix atau apapun atas tragedi ini.
Aku tak diberikan kesempatan untuk pulih. Sama halnya yang dikatakan dokter itu. Mereka hanya memberiku resep obat anti depresan. Kemudian semua orang pergi tanpa peduli, menyisakanku sendirian.
Tak ada orang di Kerak Terusi yang mau mengerti tentangku. Tentang apa yang kurasakan. Tentang apa arti sakitnya sebuah kehilangan. Aku dan kehidupanku kini hanya seonggok objek ekploitasi orang lain.
Keparat! aku tetap tak bisa menerimanya. Mereka hanya orang-orang bodoh yang mencari sensasi tanpa hati.
Aku sekarang ingat, penduduk kota kini ikut mengucilkanku, menjadikanku tahanan rumah. Mulut kotor mereka tega sekali meghakimi semua tragedi ini adalah kutukan dan memanggilku gadis terkutuk. Pembawa bencana atau Ra –si pengantar kematian. Kemudian aku menyaksikan rumahku sudah dipenuhi lemparan telur busuk, lumpur bahkan batu oleh sekelompok remaja tanggung. Juga seruan-seruan kasar mengusir seolah diri ini adalah penyakit menular. Mereka semua menjauh. Meninggalkanku sendirian.
Memangnya apa salahku?
Tidak. Aku tidak melakukan apa-apa. Bukan salahku, semua ini hanya mimpi. Iya kan?
Semuanya begitu kabur, Kemudian isi kepalaku seolah bergerak cepat. Puluhan memori itu hadir kembali secara acak.
Aku berada di pemakaman. Aku terduduk di lantai kantor polisi. Aku menangis tanpa suara di belakang rumah. Aku menghajar pohon. Aku bersembunyi di balik selimut. Aku ragu menggoreskan pisau ke urat nadi. Aku berada di depan bunda, di atas ranjang, dan bunda tersenyum lebar berkata bahwa makan malam telah siap. Aku menatap ayah, kakak dan adikku yang muncul dari balik pintu sembari menyungging senyum. Aku mulai bisa tersenyum kembali dan menjalani kehidupan senormal mungkin.
Aku yang terbuai akan imajinasiku. Imajinasi yang membunuh realitasku sendiri. Segalanya menjadi buram. Tak ada lagi benar atau salah.
Gelap. Hitam.
Monokrom.
"Bangunlah, Ra. Ayo bangun!" Teriakan si manusia burung itu kembali menggema, mengembalikan kesadaranku. "Bangun dari mimpi itu. Inilah kenyataan!"
Perlahan, mataku terbuka. Ada embun membayang di pelupuk. Merembes jatuh, membentuk anak sungai, mengalir deras. Sosok itu benar. Selama ini aku hidup dalam delusi khayalan. Terus berlari menghindari masa lalu demi mencari sebuah pelampiasan. Mengingkari kenyataan takdir yang demikian getir. Menjalani hidup sendirian –sambil menanggung seluruh duka. Duka mendalam pasca kecelakaan tak masuk akal yang merenggut segalanya. Ayah, bunda, Kakak bahkan adikku.
Aku menghabiskan hari-hari yang lalu dengan membayangkan mereka masih tetap utuh. Menyangkal semua rasa sakit. Seolah kenyataannya baik-baik saja. Berharap tak pernah terjadi apa-apa. Padahal sejatinya tidak baik-baik saja. Semua kenyataan ini hanya terbingkai abstrak oleh angan-angan.
Aku mungkin memang sakit. Sakit karena berkubang luka.
Rumah terasa lebih dingin. Tak ada lagi pertengkaran kedua saudaraku yang selalu terdengar kapan pun, tak ada suara televisi ayah, ataupun omelan bunda yang menghiasi pagi-sore. Aku sempurna sendiri, dan mulai menyadari arti kesendirian itu. Dan semuanya...mengerikan.
"Ra, Kenapa kau masih di sini?"
Eh? Aku mendongak. Menatap sosok bunda yang tersenyum lembut dari arah muka. Tangan bunda terulur menyambutku berdiri. Aku mengusap sisa tangis di sudut mata, menerima uluran tangan itu. Meja makan itu kembali ramai, mereka semua sudah menanti. Ayah tengah siap khidmat berdo'a bersama Kakak dan Adikku yang masih sibuk berebut lauk paling besar. Semangkok besar gulai kepala kakap sudah mengepul harum di atas meja, bersama kerlip lilin yang harum. Harum semerbak aroma penuh kerinduan.
"Ayo, semuanya menunggumu untuk makan malam." Bunda tersenyum.
Momen kebersamaan saat makan malam memang tak boleh dilewatkan satu kali pun. Aku berdiri menghampiri angan. Melupakan semua kesadaran tadi.
"Baik bunda."
Aku sempurna terkurung dalam duniaku sendiri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top