Bab 17
Langit Kerak Terusi masih kelabu.
Namun, pagi ini, warnanya seperti bercampur hamburan abu dan jelaga. Entah itu nyata atau hanya imaji kacauku belaka. Kupikir, ada sesuatu yang ganjil tentang cara udara berbau di sekitaran – terasa berat, mampat bahkan tumpat. Rasanya seperti membenamkan paru-paru ke dalam lumpur yang busuk dan pekat pada tiap tarikan napas.
"Lihat! Itu si pembawa sial!"
Wajahku terdongak, menatapi stasiun lembah selatan dari kejauhan.
"Anak terkutuk! Membusuk sana di jahanam!"
Sementara itu, kudapati lautan manusia yang tengah membarikade diri ini darinya. Ratusan, mungkin ribuan. Kerumunan massa itu bergerak, bergemuruh, berteriak, dan bergaunglantang. Aku menelan ludah, menapakkan kaki dengan gentar.
"Pergi! Bawa penyakitmu itu jauh-jauh dari kota kami!"
Namun, bila dipikirkan kembali, rasanya ironis. Stasiun yang harusnya menjadi pintu keluarku rupanya tengah menjelma menjadi panggung sirkus dimana aku dihakimi sebelum angkat kaki.
"Kami kehilangan segalanya! Rumah, keluarga, pekerjaan... dan semua itu karena keluargamu, karena KAU!"
Sepasang petugas keamanan yang menuntunku sedari turun dari kendaraan kembali mendorongku kasar dengan tidak sabaran. Sesaat tersuruk beberapa langkah pada jalanan basah, netra ini masih kembali berakhir pada wajah mereka. Wajah para pengunjuk rasa. Wajah-wajah yang membengkak, merah oleh amarah. Wajah-wajah yang dulunya mungkin pernah tersenyum padaku di jalanan. Tetangga, kenalan, orang-orang yang pernah aku kenal.
"Aku melihat ibuku pecah di depan mataku! Apa kau tahu rasanya itu?!"
Ada anak-anak di sana, wajah mereka setengah penasaran setengah jijik, seperti aku ini hewan liar yang tak mereka mengerti. Orang-orang dewasa, lebih kejam, jemari teracung, juga tangan yang terkepal, pun lisan yang menbuncahkan umpat bak pisau berkarat, mengirisi daksa ini tanpa belas kasih.
"Kenapa–"
Seorang wanita paruh baya tetiba memecah keributan lewat isaknya. Dengan tubuh ringkih yang menerobosi himpitan kerumpulan, dirinya hanya terpisah sekian langkah dariku yang tertegun pada ambang pagar betis.
"Kenapa kau masih hidup? Kenapa harus anakku yang mati?" Tangis wanita itu pecah saat kami saling bersitatap. Parau nadanya selayaknya cambuk, menampar udara nan dingin, "Kenapa cuma kau yang masih di sini?!"
kalimat itu menyembilu ulu hati. Jantungku berdebar pelan, hampir malas untuk memproses rasa sakit itu lagi. Aku mencoba mengalihkan pandangan ke bawah, ke jemariku yang terbungkus oleh sarung tangan. Sebuah pengingat bahwa aku ini rusak, retak, cacat. Mereka tidak salah. Akan tetapi aku hanya berdiri di sini, tubuhku terlalu penakut untuk melawan atau sekedar balas berteriak.
Lalu abu itu datang.
Sesuatu yang dingin dan kasar menghantam hidungku. Rasa sakit meledak, darah seketika mengalir, dan aku jatuh terduduk ke belakang. Dalam sekali lirikan, ternampak sebuah guci kecil pecah di jalanan. Serbuk abu yang bertebaran di udara, menyatu degan debu dan mencipta kabut tipis di sekelilingku. Orang-orang bersorak, tawa mereka menyeruak seperti burung gagak yang berkerumun di atas bangkai.
"Itu abu anakku!" wanita paruh baya itu berteriak dalam suara serak, "Dia yang mati di Ceruk Barat! Itu semua salahmu!"
Sisa abu itu mencoreng wajahku, melekat di rambutku, masuk ke hidungku. Rasanya seperti menelan dosa orang lain, dosa yang tak pernah aku inginkan tapi entah bagaimana jadi milikku.
"Rasakan! Dasar monster! Kau harusnya mati, bukan dia! Kau harusnya—"
Terlihat beberapa petugas berseragam taktis mengamankan wanita itu menjauh sebelum bisa menyelesaikan kalimatnya, tapi suara itu tetap bergaung di telingaku, memantul-mantul hingga memenuhi kepala.
Anaknya mati karenaku? Atau mati karena penyakit yang sama denganku?
Kepala ini kembali tertunduk, menatapi abu yang berserakan di aspal gelap. Sebagian sudah menempel di mantelku, sepatuku, di kulitku. Bau hangus itu kembali menusuk, aroma yang sama persis kutemukan di makam Bunda. Perutku sontak bergejolak, aku ingin muntah.
Tidak. Mereka tidak peduli pada apa yang sebenarnya terjadi.
Mereka hanya ingin memuaskan amarah mereka, dan aku adalah wadah yang sempurna.
Aku berharap... tidak, aku ingin...maksudku, kenapa tidak mereka rasakan sendiri retakan ini? Bukankah lebih baik jika retakan ini menjalar ke tubuh mereka, merambat ke kulit mereka, menghancurkan mereka dari dalam seperti yang dilakukan padaku?
Mungkin dengan begitu, mereka akan mengerti.
"Jalan." Petugas keamanan menyeret tubuh ini bangkit, membuyarkan lamunan.
Para Petugas lainnya mencoba membuka jalan. Mereka mendorong kerumunan massa, tapi orang-orang melawan, mengumpat, meludahi seragam mereka. Aku terombang-ambing di tengah-tengah lautan kekacauan. Langkah ini berhasil membawaku ke pintu stasiun, tetapi suara-suara itu tetap mengikuti, menggema, memantul-mantul pada seronggsok daksa berongga ini.
Mati. Mati. Mati saja!
***
"Harusnya kita melakukan ini enam bulan lalu, sejak kasus pertama – kasus keluargamu."
Ruang tunggu stasiun seperti tempat isolasi untuk binatang sakit. Sekat kaca memisahkanku dari pria paruh baya di seberang sana, kepala distrik Kerak Terusi – begitulah dia diperkenalkan, dan seorang pria berseragam yang kupikir adalah komisaris kepolisian. Di belakangku, dua aparat berdiri kaku, bayangan mereka menghantam dinding, seperti menunggu waktuku habis.
"Tapi," kepala distrik itu melanjutkan, menatapku dengan sorot yang entah iba atau benci, aku tidak bisa membedakannya. "Kita semua tahu pemerintah pusat juga terlambat bertindak. Saat perintah karantina nasional keluar, Kerak Terusi sudah... seperti ini."
Pria itu menghela napas panjang, seolah percakapan kami ialah beban tambahan di pundaknya yang sudah renta. Dia mengangkat tangannya, menunjuk tanpa arah, seperti mengacu pada histeria di luar sana.
"Kerak Terusi sebenarnya tidak seburuk yang dipikirkan. Bandingkan dengan distrik-distrik lainnya—Distrik Turangga, misalnya, yang hampir hancur total oleh retakan dalam empat minggu pertama. Atau Distrik Kapisa, yang sekarang sepenuhnya berada di bawah pengawasan langsung pemerintah pusat karena ketidakmampuannya menjaga stabilitas. Setidaknya, kami masih berdiri. Kami masih punya otonomi, meski terancam dicabut kapan saja."
Ia berhenti sejenak, mungkin menunggu respons dariku. Namun, aku tetap bisu. Hanya tangan yang mencengkeram lutut semakin erat. Kalimatnya bukan untukku. Itu hanya retorika yang diucapkan untuk dirinya sendiri, agar merasa benar.
"Kami telah bekerja keras untuk menjaga distrik ini tetap berdaulat. Namun, aturan baru dari Kapital Barat tidak memberi kami banyak pilihan. Tahu apa yang tertulis dalam surat putusan mereka?" Dia menujukkan peranti layar tipis pada mejanya, "Setiap distrik diwajibkan menyerahkan semua penyintas ke sanatorium di ibu kota. Tidak ada pengecualian. Jika tidak, seluruh distrik akan dikenakan sanksi—pemotongan anggaran, pengurangan suplai medis, bahkan embargo total."
"Kami tidak bisa mengambil risiko, Ra," lanjutnya, suaranya semakin dingin. "Kerak Terusi sudah cukup buruk di mata Kapital. Angka kematian kita akibat retakan adalah yang tertinggi kedua di wilayah ini. Pertumbuhan ekonomi terjun bebas. Dan kau—" ia menunjuk ke arahku dengan gerakan pelan tapi penuh tekanan, "—adalah simbol kegagalan itu. Kau dan keluargamu, sebenarnya."
Aku mengerjap, tapi tidak mengatakan apa-apa. Kepalaku terasa kosong, seperti balon yang kehabisan udara.
Simbol? Kegagalan? Apakah itu semua yang tersisa dariku?
"Kita ini hanya bidak dalam skenario besar," katanya, nadanya berubah seperti seorang guru yang menjelaskan pelajaran kewarganegaraan kepada murid yang bebal. "Para kanselir tinggi di kapital ini tidak peduli pada kehidupan individu. Mereka itu pebisnis. Bukan teknokrat di Kapital Utara atau moralis di Kapital Timur. Mereka peduli pada angka, pada statistik, pada citra. Dan kau adalah angka buruk dalam statistik kami."
Aku menunduk, menatap tangan yang gemetar di pangkuanku. Kata-katanya mengambang di udara, bercampur dengan bau antiseptik yang menyengat.
Komisaris kepolisian itu menyahut, "Sanatorium itu inisiatif terakhir. Pusat karantina terbesar, satu-satunya yang dirancang untuk menangani kasus seperti ini. Kau akan dirawat di sana, dipantau, mungkin diperbaiki."
"Diperbaiki?" gumamku, nyaris tidak sadar tengah bicara. Kata itu terasa aneh, seperti mencoba menempelkan potongan kaca pada cermin yang sudah hancur.
"Itu harapannya," kepala distrik menjawab, "Tapi kami tidak tahu pasti. Kau dan yang lainnya hanyalah uji coba untuk kebijakan ini. Jika berhasil, mungkin akan ada harapan untuk mereka yang terjangkit di tempat lain."
Aku menelan ludah. Terpikir bahwa diri ini bisa berakhir sebagai objek yang mungkin bisa dibuang kapan saja bila gagal menjadi 'bahan uji coba' yang baik.
"Sudah waktunya, Pak." sela komisaris, "Pemberangkatan sudah siap."
Kepala distrik mengangguk, lalu menatapiku lagi. "Kau mengerti apa yang harus dilakukan, bukan? Jadilah anak baik. Setahun silam, kau memang sudah gagal menjadi anak yang baik bagi kami. Terkhusus lagi bagiku."
Gelayar sakit tetiba merayap pada belakang kepala. Setahun silam? Apa maksudnya?
"Aku tahu, sanatorium bukan tempat untuk anak baik-baik, tetapi setidaknya kau akan jauh dari sini. Jauh dari...semua yang sudah terjadi." Tutupnya.
Aku mengangkat kepala, mengabaikan pusing yang mendera, menatapnya langsung untuk pertama kalinya, "Aku mengerti."
Tidak, aku tidak mengerti. Yang kumengerti hanyalah aku hanyalah beban yang ingin mereka buang. Kebetulannya, aku juga ingin dibuang.
Pintu di belakangku terbuka. Dua petugas berseragam taktis di belakangku memberi isyarat agar aku berdiri. Aku melirik kaca sekali lagi sebelum pergi. Pantulanku terlihat lebih retak daripada sebelumnya, seperti cermin yang baru saja dilempari batu.
Aku telah berdiri di atas peron, menatap kereta yang membentang seperti ular logam raksasa. Badannya mulus, hitam pekat dengan lampu-lampu biru yang berkedip seperti nadi elektronik. Gerbong-gerbongnya melayang beberapa sentimeter di atas rel magnetik, mengeluarkan dengungan rendah yang tidak pernah berhenti.
"Naiklah." Suara seorang petugas berseragam hitam memecahkan lamunan. Aku mengangguk kecil, meyeret kaki yang terasa berat.
Gerbong ketiga yang kumasuki diterangi lampu putih steril. Jajaran tempat duduknya empuk, dengan sandaran kepala yang membungkus seperti pelukan hampa. Aku duduk di tepi jendela, menatap keluar.
Kereta mulai bergerak perlahan. Getarannya seperti denyut nadi yang tidak sehat, lemah tapi tidak mau berhenti. Stasiun perlahan memudar ke dalam pandanganku. Barisan orang-orang yang tadi mengutuk dan meludahi namaku masih berkumpul, meskipun suara mereka teredam oleh kaca kedap suara. Kerumunan itu bergerak seperti ombak gelap, tetapi aku tidak bisa lagi mendengar teriakan mereka.
Aku mengigit ujung bibir, mencoba fokus pada apa pun kecuali perasaan di dalam dadaku.
Hebat, aku melakukannya. Aku terbebas dari jeratan kota ini.
Entah apa sebabnya, tetapi aku mengulang-ulang pemikiran itu. Mungkin, karena aku sangat lelah – atau, karena aku tidak peduli – aku berusaha tidak menanggapinya penting. Toh, kepalaku tetiba aktif belakangan ini. Dia kerap memberikan gambaran dan pikiran yang entah dari mana dan untuk apa.
Yang penting, aku sudah bebas.
Dari balik jendela gerbong, aku kembali menatapi Kerak Terusi yang telah mengabur pada sebalik kabut. Kota tempatku lahir dan tumbuh sampai jadi seperti ini. Kala kelajuan kereta kian dipercepat saat melintasi jurang perbatasan distrik, aku tersadarkan bahwa banyak sekali yang terjadi di sini. Ada hutan. Ada danau artifisial. Lereng-lereng gunung. Aliran sungai. Ada tempat yang kutemukan. Ada tempat-tempat yang sebenarnya ingin kudatangi.
Aku selantasnya teringat, rupanya Kerak Terusi juga menyimpan orang-orang yang kusayangi : ayah, ibu, Kak Pasha, Sele, bahkan juga kakek dan nenek. Semua jasad mereka tengah mengendap di bawah tanah ini, menunggu untuk ditemani. Mungkin, aku sepantasnya ikut menyatu dengan tanah ini juga.
Namun, aku ingin meninggalkannya. Aku ingin pergi sejauh mungkin dan memulai hidup baru di tempat asing bersama manusia-manusia asing. Gejolak pemikiran itu membuatku tidak tahu harus berbuat apa, seolah yang kurasakan sekarang hanyalah kegamangan yang serta merta meluap-luap.
Apa aku sudah membuat keputusan yang salah?
Lantas? Kota sialan itu sudah jauh tertinggal ke belakang dan kau sudah terkurung di benda ini, di jalan ini. Celetuk suara imajiner dalam kepala, Tidak perlu lari, kau justru sudah berlari sekarang.
Bagaimana jika Hida benar?
Kalau kau pikir dia bisa benar, maka dia bisa juga salah.
Untuk kali kesekian, aku setuju dengannya.
Jika sudah tidak ada lagi yang bisa diharapi, bukankah kau berhak untuk berlari pergi?
Benar, sudah tidak perlu jalan kembali.
Mataku terpejam, meyakinkan diri bahwa telah meninggalkan jejakan langkah yang tepat. Jejak yang tidak mungkin kuhapus atau kusesali sebagaimana jejak-jejak lainnya sebelum ini. Dulu aku takut mengakuinya, tetapi sekarang kupikir seperti inilah yang seharusnya.
Inilah yang benar kuinginkan. Ini adalah pilihan yang tepat.
Pilihan yang sangat tepat.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top