[4] Ketangkasan Menikmati Damai
Bentara tidak bisa mundur lagi.
Perangkap mata Bening yang sepintas lalu membuatnya sempat menyesal berlaku lancang dengan menegur Bening. Bodohnya lagi, ngapain juga dia masih berdiri gagap memayungi Bening sedangkan yang dipayungi saja sudah melengos dan mulai memainkan sekopnya menggali tanah.
Bentara tak habis pikir. Bahkan merasa perlu menanggapi perkataan Bentara pun tidak, lho.
Tapi kakinya juga menolak untuk digerakkan. Keabsurd-an ini semakin tidak dipahami Bentara ketika dia merasa ingin menyunggingkan senyum tipis lewat sudut bibirnya karena melihat Bening yang begitu serius menggali tanah. Sekop dipegang dengan kedua tangannya yang menunjukkan seberapa keras dia mencoba untuk membuat tanah itu semakin dalam. Bentara merasa lucu betapa nyatanya melihat Bening yang serampangan dan terlihat sangat amatir.
Akhirnya dengan masih harus memegangi payung yang untungnya besar itu, Bentara berjongkok di depan Bening. Bening langsung merasa terganggu karena Bentara semakin menghalangi bias lampu taman karena tubuhnya.
"Biar saya bantu...?" Bentara mengulurkan tangannya bermaksud mengambil alih sekop dari tangan Bening. Bening tidak menggubris. Dan lucunya, Bentara semakin mengulum senyum. Perangai Bening ini sungguh menjengkelkan, ditambah hujan semakin deras. Tapi bahkan Bentara tidak kuasa marah atas penawaran yang tidak diindahkan.
"Ini eucalyptus kan? Kalau ditanam di sini pertumbukannya bisa terganggu sama pohon rambutan lho, soalnya sinar mataharinya kehalang. Kamu salah pilih lokasi tanam." Bentara akhirnya mengoceh panjang karena semakin gemas melihat Bening yang masih saja menunduk dan menggali tanah. Coba saja kalau Bentara tidak memayunginya, bisa-bisa tanah yang sudah digali itu tertutup tanah lagi karena dibawa air hujan. Duh, Bening.
Selesai mendengar perkataan Bentara, Bening akhirnya bereaksi. Mungkin baru menyadari kalau omongan orang di depannya itu layak dipertimbangkan. Perlahan Bening mengangkat kepalanya dan memandang Bentara. Karena jarak yang tidak terlalu lebar itu akhirnya Bentara mendapat akses menikmati mata indah Bening dengan jarak kurang dari satu meter. Bentara nyaris gugup.
Dengan kewarasan yang coba dikumpulkannya lagi, Bentara berdeham dan berkata, "Saya bantu ya. Masih harus tanam monstera juga, kan?" Bentara melihat ada monstera yang dibawa serta dengan eucalyptus. "Kenapa nggak ditaruh di pot aja?" tanyanya lagi.
"Biar cepat lebat," Bening akhirnya mengeluarkan suaranya yang pelan. Nyaris kalah dengan suara hujan yang masih deras. Tapi, alangkah meruginya kalau Bentara tidak mendengar kejutan itu. Ya, Bentara mendengar. Dan hanya dengan melihat gadis itu bersuara, ada yang bergemuruh di dalam dirinya. Dan, adegan yang terlalu cheesy itu diputus dengan Bening yang menyerahkan sekop ke Bentara. Diterima Bentara dengan sigap.
"Kita geser nggak apa-apa ya? Biar kena sinar mataharinya maksimal." Di kegelapan dengan bias lampu taman yang tak terlalu berpengaruh itu, Bentara melihat Bening mengangguk. Ditambah dengan Bening yang tiba-tiba ganti memegang payung itu menggantikan Bentara.
"Di mana?" tanya Bening lagi.
Bentara menunjuk lokasi di dekat batu pijakan ke arah musala. "Biar cantik dilihatnya." Dan Bentara menyumpahi dirinya sendiri ketika dengan lancang suara hatinya bilang, seperti kamu.
Bening hanya mengangguk dan mulai berdiri. Diikuti Bentara yang membawa satu tanaman setinggi satu meter di dalam polybag. Dan meninggalkan satu tanaman di tempat yang disebutnya monstera tadi, dibiarkan itu terlindungi rimbun pohon rambutan.
Begitu tiba titik yang dibilang Bentara tadi, keduanya kompak duduk dengan Bening yang masih setia memegang payung. Lampu taman dibantu penerangan dari musala semakin mempertegas rupa-rupa manusia yang sedang menyembunyikan kecanggungan. Bening dengan menunduk melihat seberapa tangkas tangan Bentara bekerja dengan sekop, dan Bentara yang justru kehilangan fokus memandangi figur Bening dengan seleher yang klimis, juga poninya, tapi tak bisa menyembunyikan struktur wajahnya yang meminta untuk dipuja. Bentara langsung merasa berdosa sempat begitu intensnya menatap seseorang dengan hasrat yang tidak bisa dia jelaskan.
Bentara mulai fokus dengan apa yang seharusnya dia lakukan dengan berada di waktu dan tempat yang begitu random. Bersama orang yang lebih tidak dia duga. Subjek dari kekacauan pikirannya semalam.
Selang beberapa menit, mereka yang sudah berpidah lokasi untuk menanam monstera di dekat tembok taman dan bunga-bunga yang lain selesai dilakukan. Hujan juga seakan mengamini bahwa momen-momen menggemaskan, aneh dan canggung itu harus segera berakhir. Payung sudah diturunkan. Dan Bentara sudah berdiri dengan kedua tangan penuh dengan tanah.
"Pakai pupuk apa? Beberapa daun ada yang kuning. Kalau lagi mupuk jangan ke daunnya. Langsung ke media tanamnya ya." Bentara masih memindai satu per satu bunga-bunga yang rimbun. Sepertinya gadis ini yang begitu menyukai tanaman. Melihat bagaimana antusiasnya dia tadi.
"Kotoran kambing sama NPK," jawab Bening.
Bentara mengangguk-anggukkan kepalanya. "NPK-nya diganti sama pupuk cair organik aja. NPK bisa ngerusak media tanam lama-lama."
"Apa merk-nya?"
Mereka berdua berjalan bersama ke arah musala.
"Besok saya bawain ya dari kampus."
"Oke."
Bening kemudian diam dan fokus membersihkan sekop dari tanah-tanah. Juga membersihkan kaki dan tangannya. Pun Bentara melakukan hal yang sama. Keterdiaman yang sungguh ganjil dan ajaib rasanya.
Begitu selesai, Bentara ingin berbalik masuk ke dalam rumah, karena tanpa sepatah kata pun Bening juga beranjak meninggalkan dia membawa sekop itu. Seakan itu lebih berharga daripada melanjutkan obrolan apa pun bersama Bentara. Memangnya Bening nggak mau tahu apa tentang jenis-jenis eucalyptus yang lain? Atau cara merawatnya, mungkin?
Bentara tersenyum kecut.
Baru masuk ke dalam rumah yang terhubung dengan dapur, dari arah belakang Bening bersuara di sampingnya, "Terima kasih, Kak."
Dan Bentara tergugu untuk beberapa waktu. Ada damai yang dirasakan.
Bening kemudian berjalan terus tanpa menoleh lagi. Perlahan menaiki tangga dan hilang di belokan.
"Dedeekkkkk... jajannnnn yukkkkk...." Tak lama terdengar suara-suara ceria dari orang yang begitu kontradiktif dengan kecanggungan yang baru saja terjadi pada mereka. Suara yang begitu renyah.
"Ben, kok basah?" sang profesor berjalan menuju kulkas. Mengambil jus. "Minum jus, Ben."
"Iya, Prof." Bentara gagap seolah ketahuan melakukan hal yang salah.
***
"Bening sama kakaknya lagi nyari jajan tadi katanya. Makan malam di sini saja ya, temani saya."
"Iya, Prof." Bentara kembali menyibukkan diri dengan laptopnya.
Beberapa saat kemudian, sang profesor mengajaknya berdialog lagi, "Ben. Kamu beasiswa kan?"
Entah kenapa Profesornya ini menanyakan hal tersebut. Bentara mengangguk untuk menjawabnya. "Iya, Prof."
"Beasiswa daerah ya? Penghargaan atau bantuan?"
"Iya Prof, beasiswa daerah. Beasiswa penghargaan." Tapi sebenarnya Bentara juga tidak mengerti perbedaannya, karena beasiswa penghargaan untuk dia yang cukup pintar dan beasiswa daerah untuk dia yang kurang mampu tapi berprestasi. Bentara merasa keduanya tidak ada bedanya untuk dirinya. Jika hanya pandai, Bentara tidak akan sampai di sini. Nasib Bentara begitu bergantung pada beasiswa itu.
Profesornya menggangguk-angguk. "Diseriusi Ben kuliahnya. Nanti kalau mulai skripsi ajukan beasiswa penelitian, saya bantu kasih rekomendasi."
"Terima kasih, Prof."
"Dulu dapat mata kuliah eksakta dasar di semester satu kan Ben?"
Bentara semakin bingung dengan arah pembicaraan ini. "Dapat, Prof. Fisika, Matematika sama Kimia. Fisika masih dapat sampai semester 3, Prof."
"Masih ingat kan Ben dasar-dasarnya?"
Bentara kembali mengangguk. "Insyaallah, Prof."
"Nggak beda jauh kan dengan pelajaranmu waktu SMA?"
"Dasarnya sama, Prof. Lebih kompleks dan fokus kalau di kampus."
Gantian Professor-nya yang mengangguk-angguk. Beberapa detik kemudian Professor-nya menyampaikan hal yang lumayan mengagetkan dirinya.
"Kamu bantu Bening belajar ya, Ben?"
***
HAHAHAHAHA.... akhirnya aku nulissss lagi OMG feelsss sooooo gewddddd :"""")
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top