[3] Perasaan Yang Terlalu Dini dan Naif

Bentara jelas salah. Terlalu naif apabila mengatakan dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia tertarik. Dia terusik. Itu yang benar menurutnya pada akhirnya. Juga benar menurut Jurnal Evolutionary Psychology dan Jurnal Social and Personal Relationship yang dia baca.

Bentara benar-benar dibuat resah seminggu ini mengingat dua pasang mata yang terlalu dalam dia tatap pada jumpa pertama. Bentang begitu resah sehingga perlu justifikasi untuk membawanya pada sebuah kesadaran tentang apa yang kini tengah singgah di dalam hatinya. Ketertarikan.

Keterusikan yang dirasakan Bentara pertama kali terhadap lawan jenis ini adalah sesuatu yang sangat ganjil. Tidak mungkin hanya karena alasan diminta untuk studi lanjutan mengenai kondisi pertanian di Maros, dia sesemangat ini mendatangi rumah profesornya. Di Sabtu siang yang seharusnya dia pakai untuk istirahat.

Bentara datang ke rumah profesor dan langsung dijamu makan siang. Pembicaraan ringan yang seolah tak ada sangkut pautnya dengan kejadian minggu lalu. Betapa pertanyaan ganjil yang ada di benak Bentara saat ini belum juga mendapatkan konfirmasi dari sang profesor. Mungkin tidak akan pernah.

Mengenai hubungan Bening dan ayahnya, itu adalah ranah yang sangat privat. Kendati Bentara diperlihatkan dengan sangat jelas betapa buruknya hubungan kedua orang yang harusnya sangat erat. Karena ya seperti orang bilang, anak perempuan biasanya dekat dengan ayahnya. Pun dengan Bentara, sebagai anak lelaki, dia sangat dekat dengan ibunya.

"Dulu waktu PKM ambil yang penerapan teknologi, Ben?"

(PKM= Program Kreativitas Mahasiswa)

Bentara yang sedang mengunyah makanannya buru-buru menelan, "Betul, Pak. Saya dan rekan-rekan membuat platform untuk pengawasan subsidi pupuk, Pak. Kami tawarkan kepada Kementerian Pertanian dan mereka menyambut positif."

Sang profesor manggut-manggut, "Oh yang platform itu punyamu. Dapat emas ya di PIMNAS?"

(PIMNAS= Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional)

Bentara mengangguk dengan senyum, "Alhamdulillah, Pak. Juara di kategori PKM-T."

Sang profesor yang ada di samping kirinya menatapnya bangga, "Kalau yang riset lempuyang untuk antituberkulosis itu kamu juga, Ben?"

"Saya sama anak Biokimia, Pak. Penelitian buat MITI, Pak. Waktu itu MITI KM sedang gencar mendorong untuk Riset Interdisipliner dan Pendayagunaan IPTEK."

(MITI KM= Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia Klaster Mahasiswa)

Sang profesor mulai tertarik dengan prestasi yang dipaparkan anak didiknya ini. Anak didik yang sungguh berhasil membawa nama harus bagi departemen dan fakultas yang diampunya. "Kok sama anak Biokimia? Oh dari Forces ya? Kamu ketua Forces ya kalau nggak salah?"

(Forces= Forum for Scientific Studies)

"Betul Pak dari Forces. Kebetulan dulu saya dapat amanah jadi wakil ketua, Pak."

Dan obrolan pun berlanjut. Pembicaraan yang sungguh sangat disukai Bentara karena sang profesor banyak menceritakan tentang generasi pendahulu-pendahulunya yang banyak melakukan inovasi di bidang pertanian.

Seolah-olah Bentara sedang mendapatkan kuliah umum tapi privat. Dan dia seolah bebas menanggapi dan menanyakan sebanyak apa pun yang dia mau. Bagaimana Bentara sangat bersyukur karena profesor yang merupakan guru besar di fakultasnya ini sungguh sangat berbaik hati untuk diskusi mendalam bagi dirinya yang bukan siapa-siapa, hanya mahasiswa biasa.

Selama berkuliah, Bentara belum pernah mengobrol secara personal dengan sang profesor. Mereka hanya bertemu di dalam forum, kelas kuliah umum atau ketika Bentara menjadi mahasiswa berprestasi tingkat universitas dan beliau sebagai wakil dekan saat itu mewakili fakultas untuk mengalungkan medali.

Bentara begitu bangga dan respek kepada profesornya yang ternyata sangat humoris tanpa menghilangkan kesan tegasnya ini. Sang profesor yang sejak awal kuliah sudah menjadi idola Bentara. Bahkan, di tahun pertama kuliah Bentara sudah khatam semua jurnal ilmiah, buku dan hasil-hasil penelitian yang diseminarkan oleh sang profesor. Dan sekarang, menjadi bagian dari tim peneliti untuk pusat studi fakultasnya bersama sang profesor adalah hadiah yang sangat istimewa di tingkat akhirnya berkuliah.

Bentara dan sang profesor yang sudah menempatkan posisi untuk mulai melanjutkan diskusi di ruang tamu tersebut kembali dikejutkan oleh seorang perempuan yang masuk rumah tanpa salam. Siapa lagi kalau bukan Bening. Sikap yang sangat mengusik Bentara sampai rasanya mau marah. Bukan hanya tidak beruluk salam, Bening juga tidak mengindahkan sapaan dari ayahnya. Dia lurus berjalan seolah-olah dua orang yang sedang menatapnya itu tak kasat mata. Sikap macam apa itu?! Bentara tidak pernah melihat ada perilaku anak yang keterlaluan seperti Bening ini.

"Dia anak saya yang kedua, Ben. Kakaknya di Bandung sudah berkeluarga. Hari ini mau ke sini katanya, udah di jalan tadi terakhir telepon. Mungkin nanti sore datangnya. Biasanya kesini setiap dua minggu di akhir pekan."

Bentara mengangguk dan tersenyum sopan tanda menyimak. Walaupun kepalanya sudah penuh dengan gadis yang baru saja melintas. Bening... Bening. Ada apa dengan segala sikap antipati itu?

"Ben, ikut makan malam bareng ya nanti. Kakaknya Bening biasanya suka ngajak keluar makan soto bogor."

Bentara lagi-lagi hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

***

Bentara mengalami keganjilan kedua yang lebih ganjil lagi.

"Teh Ingga...."

"Dedeekkkkkkk...."

Dua orang berteriak-teriak dari lantai dua. Figur dua orang yang sedang berpelukan dan tertawa-tawa itu bisa dilihat Bentara dari ruang tamu.

"Si Dedek langsung lari-lari nyariin si Ingga deh pasti."

Bentara yang masih dikejutkan oleh pemandangan di lantai dua kemudian menoleh ke arah pintu utama. Di sana ada sang profesor yang masuk rumah bersama seorang perempuan dewasa yang sedang menggendong bayinya dan seorang laki-laki yang sepertinya adalah suaminya.

"Iya itu udah ke atas," kata sang profesor. "Ini kenalin ada mahasiswa Ayah."

Bentara langsung berdiri dari posisi duduknya dan menyambut uluran tangan dari puteri sang profesor dan menantunya. "Bentara."

"Sana istirahat dulu ke atas. Kasihan itu bayimu, ditidurin dulu di kasur. Ayah selesaiin ini dulu ya." Sang anak mengangguk dan berlalu bersama suaminya ke lantai dua. Yang masih diisi suara-suara ramai dari anak perempuan berusia empat tahun yang tadi langsung lari masuk rumah begitu sampai dan... Bening.

Walaupun tidak secara langsung melihat, Bentara tahu jelas bahwa ekspresi yang ditunjukkan Bening adalah ekspresi manusia yang mendapatkan kebahagiaan mendadak. Sehingga dia perlu menangapi secara heboh. Dan rumah yang tadinya sunyi kemudian mendadak ramai.

"Kaaaaaaak... Dedek bayinya di kamar aku ajaaaaaa...."

Bentara tahu jelas suara siapa itu.

Bentara melirik sang profesor yang tengah menyunggingkan senyum yang terefleksi sampai ke matanya dari balik kacamata yang sedang dikenakannya.

***

Hujan lagi menjelang sore.

Seperti biasa, sudah sejak sejam yang lalu sang profesor meminta izin ke Bentara untuk istirahat. Setelah sebelumnya menggendong ke sana ke mari cucu keduanya yang masih bayi.

Bentara bersiap salat Asar sendirian. Dia menuju musala dan mempercepat langkah untuk menghalau basah.

Rintik hujan semakin deras. Dan musala yang terpisah dari rumah utama dengan celah-celah lebar itu membawa kedamaian yang luar biasa bagi Bentara.

Bentara berdiri dari balik jendela kayu yang memiliki celah-celah lebar. Menikmati rintik hujan yang semakin patuh membasuh bumi. Hujan bagi Bentara selalu mengingatkan pada kampung halamannya. Dingin menusuk kulit tapi damai menyentuh raganya.

Sedang asyik-asyiknya menikmati hujan, Bentara diperlihatkan makhluk Tuhan yang belakangan ini sering mengusik kepalanya. Kehadiran manusia yang Bentara anggap sebagai perwujudan cinta yang kemudian dia sangkal. Rasa ganjil yang akhirnya disepakati oleh hatinya bahwa itu adalah rasa ketertarikan. Masih dibatas ketertarikan.

Wajah perempuan yang hari ini menunjukkan kontradiksinya.

Bagaimana dia melenggang dengan penuh keangkuhan dan bagaimana tawanya menyebar ke seluruh penjuru rumah.

Bentara masih ingat dengan jelas tawa itu. Masih ingat dengan jelas ketika dia dan keponakannya berjalan ke arah dapur dan heboh membuat puding. Celetukan-celetukan menggoda dari perempuan itu untuk keponakan empat tahunnya.

Seolah-olah Bentara dibawa lagi ke dimensi lain ketika mendengar tawa itu. Seperti ketika kedua matanya bertatapan dengan mata perempuan itu minggu lalu.

Ada apa dengan perempuan itu dan segala sifat mengejutkannya?

Kini, perempuan itu masuk ke arah taman luas di belakang rumah yang diisi dengan gazebo, taman bunga dan bonsai, kolam ikan dan musala. Perempuan itu masuk ke area taman dengan membawa dua tanaman yang cukup tinggi di kanan dan kirinya. Sekilas Bentara dapat melihat dua jenis tanaman itu adalah Eucalyptus dan Monstera.

Bentara semakin intens mengamati perempuan itu. Bentara terusik dengan sikapnya yang terlihat terlalu bersemangat dengan kedua tanaman itu di tangannya. Entah dia sadar atau tidak bahwa sekarang sedang hujan. Dan baju serta tubuhnya sudah mulai basah. Apa yang membuat perempuan ini begitu berambisi membawa tanaman itu di bawah hujan?

Perempuan itu, Bening, meletakkan kedua tanaman itu di tanah kosong dekat kolam ikan. Dia beranjak ke dinding kayu di dekat kolam ikan yang menggantung alat-alat pertamanan. Diambilnya sekop dan Bening mulai menggali tanah.

Bentara hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan gadis itu. Senyumnya tersungging karena dibuat takjub dan heran. Hujan-hujan begini dan gadis itu dengan semangat yang terlihat sangat berlebih justru sedang menggali tanah.

Bentara semakin terusik. Tanpa disadari oleh dirinya sendiri, perlahan dia beranjak dari mushala. Mengambil payung yang tergantung di samping pintu musala.

Dibentangkannya payung lebar berwarna biru itu. Langkahnya semakin mantap menuju perempuan yang terlihat sangat ahli memegang sekop itu. Bentara hadir tanpa disadari gadis itu karena posisinya yang membelakangi arah kedatangan Bentara.

Bentara tidak tahu apa yang sedang dia lakukan ini. Kata hatinya yang menuntut.

Begitu persis tiba di belakang gadis yang sedang ada di posisi sedikit membungkuk itu, Bentara mengangkat payungnya lebih tinggi. Lalu, dengan kesadaran dia payunginya gadis itu dari hujan yang semakin menderas.

Gadis yang sudah basah kuyup itu kemudian menoleh ketika menyadari bahwa air hujan tak lagi membasuh tubuhnya. Air hujan yang rintiknya tertahan oleh payung biru di atasnya dan membuat air jatuh di ujung-ujung payung itu.

Kini Bentara dan Bening kembali ada di posisi yang saling berhadapan. Dengan latar belakang hujan, kedua mata itu kembali bertatapan. Hening keduanya seolah meredam sesaat hujan yang semakin deras.

"Apa nggak bisa nunggu besok atau nanti kalau hujannya sudah reda?"

***

Hobi banget sihhh si Bening main hujan-hujannya ucedh dehhhh. Sakit lho Mbak, nanti 😂

Oct 20, 2019 ~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top