Tujuh

○Selamat Membaca○

Semua murid Pelita Surya sudah berkumpul di ruang aula. Tepuk tangan terdengar sangat riuh setelah penampilan tarian adat sebagai pembuka acara. Setelah ini, Gilar dan Kezia akan tampil berdua. Sani merasa risau sendiri, rasa gugupnya semakin menyelimuti karena setelah Gilar tampil, cewek itu akan naik ke atas panggung bersama Dwi.

Sani tidak bisa diam. Sejak tadi kaki jenjangnya berjalan ke sana kemari guna mengurangi kegugupannya. Namun sayang, cara itu tak berhasil. Bibir ranumnya bahkan tak henti-henti merapalkan lirik yang harus ia ucapkan nanti.

“Mari kita panggil peserta pertama musikalisasi puisi. Gilar dan Kezia … tepuk tangannya, dong!” Suara pembaca acara terdengar dari belakang panggung.

Sani memejamkan mata. Rasa gugup semakin menjadi setelah mendengar nama Gilar disebutkan. Artinya waktu penampilan Sani hanya menunggu hitungan menit. Cewek itu menarik napas, mencoba menenangkan diri sebelum suara berat itu mampu membuat kegugupan Sani sirna seketika.

“Rasa gugup lo hanya akan membunuh diri lo sendiri!”

Sani segera membuka mata. Ia membalikkan badan mengikuti arah Gilar yang baru saja melewatinya. Bibir Sani tertarik membentuk senyuman. Hatinya tenang hanya dengan sepotong kalimat yang cowok itu ucapkan.

“Ngeliatin siapa?”

Sani tersentak kaget melihat Melan berada di sampingnya. Ia tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala.

“Gilar?” Melan bertanya setengah berbisik.

“Kenapa Gilar, kenapa?” Lala dan Kiran menghampiri Sani. “Lo suka Gilar? Tuh, kan, Sani!”

Sani segera membekap bibir lebar Lala dan menatapnya tajam. Telinga Lala memang bahaya, suara sekecil apa pun ia akan mendengar. “Ulah kitu, atuh! Siapa yang bilang aku suka Gilar? Melan tadi cuman nanya!”

Lala mendorong Sani, lalu tersenyum menggoda. “Kirain beneran.”

Sani memutar bola matanya malas. Jantung cewek itu tiba-tiba berdetak lebih cepat saat suara petikan gitar yang dimainkan oleh Gilar mulai terdengar. Suara merdu itu mampu membuat hati Sani menghangat hingga pipinya terlihat memerah.

Alunan gitar yang dipetik oleh Gilar sangat indah beriringan dengan suara lembut Kezia yang menyanyikan puisi Hampa karya Chairil Anwar. Tepuk tangan semakin terdengar riuh saat pasangan itu selesai dan turun dari panggung. Ada rasa aneh yang mulai hinggap pada diri Sani ketika melihat Gilar yang tersenyum tipis membalas senyuman Kezia.

Sani tak mengerti perasaan ini. Apakah ia mulai berotasi pada Neptunus? Bisakah Sani menjadi Matahari untuk menghangatkan sang planet? Hati cewek itu bimbang. Segala prasangka dan pertanyaan membuat dirinya resah.

“Sani! Itu bagian kamu!”

Sani terlonjak. Kesadaran cewek itu belum sepenuhnya kembali. Namun, tangan Sani sudah ditarik oleh Dwi. Gugup itu kembali terasa saat Sani sudah berada di atas panggung.

Tampil di depan banyak orang bukanlah hal yang mudah. Kemarin mungkin Sani berhasil mengusir rasa gugup karena kerumunan tidak sebanyak ini.

Sani gelisah. Ia menelaah sekitar hingga mata hitamnya bertubrukan dengan mata cokelat dingin itu. Sani terpaku beberapa saat.

“San, ayo mulai! Jangan ngelamun!” Dwi menyentuh pundak Sani.

Sani mengangguk tanpa mengalihkan pandangan. Bibirnya mulai bergerak mengeluarkan suara beriringan dengan note keyboard yang dimainkan oleh Dwi.

Gilar, lagi-lagi berhasil membuat Sani merasa tenang. Cowok itu berdiri di depan panggung paling belakang. Tersenyum tipis seolah menyemangati Sani dari kejauhan. Ia mengalihkan pandangan. Ke mana pun, asalkan bukan ke arah Gilar. Cewek itu bisa gila jika terus-terusan melihat senyum Gilar yang menyengat hatinya.

Sani kembali mengedarkan pandangannya setelah selesai tampil. Gilar sudah tidak terlihat, cowok itu pergi entah ke mana. Sani merasa Gilar merupakan tipe cowok yang benci keramaian. Banyak pertanyaan yang hinggap dalam pikiran Sani tentang Gilar. Pesona Gilar seolah membuat Sani tertarik secara paksa untuk lebih mengetahui tentang kehidupan cowok itu.

○○○

Acara festival sekolah tahun ini sedikit berbeda. Biasanya acara diadakan di luar sekolah. Namun, tahun ini tidak, tetap di sekolah dengan tema yang lebih eksis. Ada beberapa lomba dan stan yang berdiri kokoh di lapangan utama. Seperti stan ekstrakurikuler, stan kelas IPA dan IPS bahkan ada pula stan dewan guru. Stan-stan tersebut menyediakan berbagai macam, seperti makanan, minuman, kerajinan tangan dan baju-baju unik yang dibuat khusus setiap tahunnya.

Dengan riang, Sani melangkah menyusuri satu per satu stan. Cewek itu menarik-narik tangan Melan agar menemaninya memburu makanan. Sani tidak bisa melewatkan kesempatan ini.

“Makan pelan-pelan dong, San!” Melan memberikan tisu pada Sani saat sahabatnya memakan dengan belepotan. “Jadi cewek, tuh, harus jaga sikap. Apalagi kalau lagi makan.”

Sani meminum air mineralnya, lalu membalas tatapan Melan. “Jangan ganggu aku kalau lagi makan. Nanti makanannya ngambek terus rasanya berubah jadi nggak enak!”

Melan menggelengkan kepala. “Ngaco!”

Sani tersenyum lebar. Matanya kembali menilik sekitar. Tepat pada stan kerajinan tangan, mata Sani berhenti. Ia tersenyum gemas ketika melihat Gilar tersenyum canggung saat disapa oleh penjaga stan.

“Ke sana, yuk!”

Belum sempat Melan menjawab, Sani lebih dulu menarik tangan Melan.

“Gilar!” Sani tersenyum manis. “Aku kira kamu pulang. Soalnya tadi kamu tiba-tiba hilang.”

Gilar hanya menoleh sebentar, lalu kembali melihat-lihat gelang karet.

“Penampilan kamu tadi bagus. Petikan gitarnya, aku suka.” Sani meraih sebuah gelang unik di atas meja. “Orang pendiem kaya kamu ternyata nggak gugup tampil di depan orang, ya?”

“Gugup, tapi biasa aja.”

Sani tertawa renyah. Entah mengapa ia selalu merasa bahagia jika di dekat Gilar. Walau cowok itu jarang sekali berbicara.

“Lo juga.”

Sani menghentikan kegiatannya saat akan memakai gelang ke tangan. Cewek itu Menatap Gilar dengan heran. “Aku, kenapa?”

“Penampilan lo juga bagus. Suara lo bagus.”

Sani menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Pujian Gilar membuat jantung Sani meletup-letup. Bahkan mungkin kini pipinya sudah memerah. “Itu pujian?”

Gilar meraih gelang yang ia suka, lalu menatap Sani tepat di mata hitam milik cewek itu. Perasaan hangat menjalar pada diri Gilar. Mata Sani selalu berhasil membuat Gilar selalu ingin menatap cewek itu. “Kalau bukan pujian apa lagi? Hinaan secara tidak langsung?”

Sani tertawa sambil mengalihkan pandangannya. Ia tak pernah bisa bertahan membalas tatapan Gilar. “Tinggal jawab iya aja padahal.”

Gilar tak lagi membalas ucapan Sani. Cowok itu merasa tidak nyaman karena para murid mulai berdatangan ke stand ini. Ia melirik Sani, hatinya tidak rela jika harus berpisah dengan Sani secepat ini. Ada apa dengan dirinya? Gilar tidak tahu mengapa dirinya seperti ini. Bahkan kini, perasaan aneh itu muncul kembali ketika melihat Akbar yang tiba-tiba datang merangkul bahu Sani.
“San … aku cari kamu dari tadi. Ternyata ada di sini,” ucap Akbar dengan lembut.

Sani segera menepis tangan Akbar. Sedikit menghindar dan berlindung pada Melan. “Ulah pegang-pegang!”

Akbar tersenyum tanpa dosa. “Iya, maaf.” Cowok itu beralih menatap Gilar, lalu kembali memandang Sani. “Kamu ngapain di sini?”

“Bukan urusan kamu, atuh!” Rasa kenal Sani selalu muncul jika berada di hadapan Akbar. “Harusnya aku yang tanya, kamu teh ngapain nyari aku?”

“Mau ajak pulang bareng, dong.”

Sani memutar bola matanya malas. “Pergi sana!”

“Nggak mau. Aku mau sama kamu, San.”

Sani mengentak kaki dengan kesal. Wajahnya merah padam menahan amarah. Ia harus segera pergi dari sini agar Akbar tidak semakin membuat mood-nya menjadi buruk. Padahal, Sani masih ingin berlama-lama berbincang dengan Gilar. Ah, Akbar memang pengganggu, pikir Sani.

“Ayo, Mel. Kita pergi aja kalau Akbar masih di sini,” ucap Sani. Ia menatap Gilar yang juga sedang menatapnya. “Gilar, aku pergi dulu.”

Sani meletakkan gelang unik yang sempat ia penggang tadi ke meja tepat di hadapan Gilar. Gelang yang terbuat dari kayu mahoni. Walau Gilar merasa heran, ia tetap menerima gelang itu. “Kalau mau beli gelang yang itu aja. Cocok buat kamu,” kata Sani sebelum pergi meninggalkan Gilar dengan senyuman manis yang akan selalu Gilar ingat.

Akbar menatap Gilar penuh benci. “Sok kegantengan!” Cowok itu meludah ke samping Gilar. “Jangan pernah deketin Sani!”

“Nggak pernah. Dia selalu dateng sendiri.” Ucapan Gilar benar adanya. Gilar tidak pernah mendekati Sani karena kelemahannya.

Akbar tersenyum sinis. “Gue bakal terus merhatiin lo. Kalau sampe lo makin deket sama Sani. Bakalan gue habisin lo pake tangan gue sendiri!”

Gilar sama sekali tak membalas ucapan Akbar hingga cowok nakal itu pergi. Ia tidak terbawa emosi, karena ingatan Gilar sudah sepenuhnya dicuci oleh senyuman Sani. Senyuman yang mampu membuka hati Gilar secara perlahan.

○○○

Gilar memutar-mutar gelang dengan jari telunjuk sambil berbaring di sofa ruang tengah. Bibirnya tidak berhenti untuk terus tersenyum. Sesekali dengkusan geli keluar begitu saja saat bayangan cewek itu muncul.

Cowok itu memasangkan gelang ke tangan kirinya. Sangat pas dan cocok dikenakan oleh Gilar. Pilihan Sani benar-benar bagus.

Berbicara soal Sani, Gilar teringat saat mengantarkan cewek itu pulang ke rumah. Wajah polos dan senyuman riangnya membuat hati Gilar tenang. Untuk sekejap, Gilar bisa mengendalikan kelemahannya kala ia bersama Sani.

“Kenapa senyum-senyum?”

Gilar langsung bangkit, lalu tersenyum kikuk ke arah Rima. “E-enggak, Tan.”

Rima tersenyum menggoda. “Kamu punya pacar?”

Dengan cepat Gilar menggelengkan kepala. Bagaimana bisa ia mendapatkan kekasih jika kelemahannya menjadi faktor utama Gilar menghindar dari kerumunan? Gilar menghela napas. Jika benar dirinya menyukai Sani, maka hanya akan membuat Sani tersiksa.

“Terus kenapa senyum-senyum gitu?” Rima menatap keponakannya itu dengan lembut. Berharap jika Gilar sedikit terbuka kepadanya. “Kamu punya temen? Ajak ke sini temennya ....”

“Nggak punya, Tante.”

Rima duduk sofa sebelah Gilar. Ingin sekali rasanya ia mengelus kepala atau bahu keponakannya. Namun sayang, tembok kokoh yang Gilar buat susah untuk Rima hancurkan.

Ia tersenyum maklum pada Gilar. “Kalau kamu punya temen langsung bawa ke sini. Oke?”

Gilar tersenyum tipis. “Oke, Tan.”

Rima berdiri, saat hendak melangkah ia kembali membalikkan badan menghadap Gilar. “Oh, iya. Tante sampe lupa, kan!” Rima menggaruk kepalanya. “Boleh tante minta tolong?”

Gilar mengangguk.

“Tolong taruh kipas angin itu ke gudang.” Rima menunjuk kipas angin di dekat televisi. “Kipasnya rusak.”

Gilar mengangguk. Cowok itu segera melaksanakan perintah tantenya. Gilar merasa gundah saat ia tidak sengaja melihat pergelangan tangan kiri yang kini tersemat sebuah gelang berwarna cokelat. Gilar harus mengontrol hatinya agar tidak menyukai Sani. Cowok itu tidak boleh menarik Sani mendekat. Cukup menjadikan Sani sebagai Matahari dalam hidupnya saja. Jauh tetapi terasa hangat bagi Gilar.

Cowok berambut pendek itu menggeleng. Ia tidak boleh seperti ini. Jatuh cinta hanya akan membuat cewek yang ia sayangi tersiksa.

Perlahan Gilar membuka pintu gudang. Meletakkan kipas di dekat lemari besar yang sudah tua dan dibalut sarang laba-laba. Saat cowok itu akan keluar gudang, tangannya dengan tidak sengaja menabrak pintu lemari tua itu yang sedikit terbuka. Beberapa kotak kecil yang di dalam lemari berjatuhan.

Gilar berdecak. Ia memungut satu persatu kotak tersebut hingga tanganya berhenti bergerak. Hati Gilar mulai bergemuruh. Kilasan memori menyakitkan kembali datang.

○Terima Kasih○

Maaf jika sering telat update huhu
Semoga suka.

Part ini ditulis oleh Maulidaagst dan dicopy ke akun @rifapoy19 dan hydrasa_.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top